
Foto: Istimewa
Komunitas Seni Nan Tumpah menggelar Pekan Nan Tumpah (PNT) pada tahun ini yang digelar pada 24 – 30 Agustus 2025. Fyi, Pekan Nan Tumpah adalah festival seni yang diselenggarakan komunitas ini sejak tahun 2011. Tahun ini, PNT berlangsung di satu lokasi, yakni di Fabriek Padang.
PNT menjadi rangkaian puncak dari segala kegiatan Komunitas Nan Tumpah selama satu tahun ini, beberapa rangkaian kegiatan menjelang PNT telah dilaksanakan matang, seperti Diskusi Kelompok Terpumpun (DKT) selama tujuh sesi, dan Nan Tumpah Masuk Sekolah di berbagai sekolah di Sumatera Barat dan di luar negeri (secara daring).

Foto: Istimewa
Pada hari pertama pelaksanaan kegiatan, terdapat beberapa rangkaian kegiatan seperti dilansir di instagram @pekannantumpah. Saya datang agak siang, bertemu Mahatma Muhammad yang introvert, Alizar Tanjung (linibuku), Edy Utama (seniman), dan diri saya sendiri. Saya menemukan diri saya yang dahulu, saya yang haus pengetahuan dan miskin kasih sayang. Saya yang masih ingin terus belajar dan belajar. Belajar memang seru ketika kita ditraktir kopi. Ketiganya memesan kopi susu dingin, saya dan diri saya memesan kopi Americano panas. Beberapa saat setelahnya alarm berbunyi, Alizar dan saya menjemput pesanan.

Foto: Istimewa
Sebelum bertemu mereka yang tiga, saya bertemu dulu Ikhwanul Arif dan Irmansyah, sastrawan Pre-Boomer setingkat Uyung Hamdani, kalau kata Ganda Cipta. Keduanya saya temui saat tengah istirahat dari kelas menulis. Beliau berdua mengampu diskusi buku dan pelatihan menulis. Entah buku apa yang mereka diskusikan.
Fajry Chaniago, Tengku Raja juga saya temui dan kami babibu sebentar. Irvan Harley mengirimkan press release acara ke saya, namun press release-nya masih dalam kepalanya. Saya juga bertemu dengan Diah dan sama, babibu saja. Mereka berputar-putar sekehendak mereka dan kenapa pula saya harus mengikutinya.
Kepada Alizar saya bilang keluar sebentar, tapi tahu-tahu saya kembali setelah shalat Magrib. Alizar masih sibuk menamatkan novel Mandulang Cinto agar bisa dapat doorprize, dan saya tidak terlalu peduli dengan itu, makanya saya ke belakang dan bertemu Rori Aroka, istrinya, dan dua orang hasil kerja mereka. Setelahnya Adzwari Ridzki datang beserta partner. Setelahnya Ganda Cipta dan Fatris MF dan Icha. Setelahnya Arif P Putra dan Erik. Setelahnya Johan promotor dan Haris Leiden, serta beberapa rekan lain. Bukannya menyaksikan pertunjukan, malah nongkrong. Aneh, kenapa pada datang?

Foto: Istimewa
Arif meminta saya untuk melebur dan pergilah kami ke zona A atau zona C (tempat di mana sedang berlangsung pertunjukan tari. Di sini, hanya setan yang boleh merokok dan buang air, makanya saya di sana hanya sebentar. Saya tinggalkan Arif dan Erik yang masih khusyuk menyaksikan pertunjukan tari yang bagus itu.
Tau-tau, masyarakat pecinta seni geser ke tengah. Mc menyebut di tengah akan ada pertunjukan seni kolaborasi karya Siska Aprisia, Mahatma Muhammad dan Jumaidil Firdaus. Karya berjudul “Lidah yang Tersangkut di Kerongkongan Ibu” lebih dari sekitar setengah jam. Beberapa orang takjub dan terpukau pada Siska, tapi mohon maaf Mbak Siska, saya malah fokus ke musik yang dihadirkan Jumaidil Firdaus ketimbang pertunjukan Mbak. Musik yang dibawakan Jumaidil Firdaus enak untuk dibawa geleng-geleng, khas postrock mancanegara. Setelah pertunjukan saya bertanya pada Jumaidil Firdaus, di mana saya bisa mendengar musik ini lagi? Dia bilang, musik yang ia mainkan hanya untuk pertunjukan ini, tidak/belum ada rilisan resmi. Artinya, jika masih ingin mendengar musiknya lagi, berarti saya harus menyaksikan pertunjukan Siska Aprisia kedua kalinya. Itu pun, masih kata Jumaidil Firdaus, ada kemungkinan musik yang dimainkan akan berbeda dari apa yang sudah ia mainkan, mungkin ada perubahan. Saya lumayan menyesal karena tidak merekam audio Jumaidil Firdaus ini, sebab, kapan pula mereka kolaborasi lagi. Semoga ada yang merekam pertunjukan utuh mereka, dan saya bisa mendengarnya sambil terpejam.
Pertunjukan selanjutnya, pertunjukan dari Komunitas Nan Tumpah sendiri yang membawa pertunjukan berjudul “Indomi Rasa Rendang / Sambil Menyelam Minum Plastik” yang dibawakan pada jam rawan. Beberapa nama yang saya sebut di awal tulisan sudah lebih dulu pulang. Saya hadir di pertunjukan ini sekitar 20 menit dan kembali mengingat zaman di mana saya paba dulu di Teater Imam Bonjol, dan benar, membosankan. Otak saya penuh melihat pertunjukan ini. Meski aktor yang bermain pada pertunjukan ini bermain dengan cukup bagus, namun, saya merasai kalau panggung yang amat gadang, bikin audio yang keluar dari mulut aktor tidak tersampaikan dengan baik. Apa saya yang berdiri terlalu di belakang sehingga ini terjadi? Wallahu… Saya menangkap pesan di pertunjukan ini sesamar seorang bayi yang baru bisa mengeja.
Saya melihat Karta Kusumah sedikit berdiri ketika pertunjukan, dan sepertinya ia sedang sibuk, ingin saya sapa untuk pamit, namun tidak jadi. Saya membelakangi panggung. Membelakangi penonton, dan membelakangi Karta. Saya meninggalkan aktor yang masih bermain di panggung. Saya berjalan menuju tempat parkir, dan bertemu lagi dengan Adzwari Ridzki,
“Pulang, Cok?’ katanya.
“Iya,” saya bilang.

Foto: Istimewa
Benar adanya, kalau kamu paham semua ini, mungkin kamu salah paham. #PekanNantumpah2025
Maulidan Rahman Siregar, penulis. Buku terbarunya, Cara Kerja Tuhan (2025). Pacarnya tidak bisa mengikuti PNT karena tidak dapat izin keluar malam.












