Ruangan berbentuk lingkaran itu adalah sebuah aula besar yang megah, putih, dan suci. Pilar-pilarnya dibentuk dari emas dan marmer yang berkilau, dengan ukiran-ukiran berbentuk aneka hewan darat maupun laut. Terdapat dua belas singgasana yang mengelilingi aula itu, dengan singgasana yang berada di tengah lebih tinggi dari singgasana yang lain. Masing-masing singgasana memiliki pahatan dan bentuk dan bahan yang berbeda. Ada yang terbentuk dari terumbu karang dan memiliki ukiran binatang lautan. Ada yang terbentuk dari tulang-belulang aneka hewan. Ada yang terbuat dari magma beku membara. Ada yang terbuat dari tumpukan pedang dan perisai. Ada yang terbentuk dari untaian mawar berduri. Dan seterusnya. Dan seterusnya.
Dari dua belas singgasana yang terdapat di aula itu, delapan singgasana terisi sedangkan empat kosong. Singgasana pertama diduduki Athena, singgasana kedua diduduki Apollo, singgasana ketiga diduduki Afrodit, dan seterusnya masing-masing singgasana diduduki Hefaistos, Ares, Poseidon, Hera, Zeus.
Para dewa-dewi Olympus terlihat sangat tidak senang di singgasana masing-masing. Mereka semua mengarahkan tatapan ke tengah aula, di mana berdiri seorang lelaki dari ras raksasa. Ia sendiri berdiri dengan tidak peduli sambil memandangi sekalian dewa-dewi yang hadir.
“Prometheus,” ucap Apollo membuka suara ke arah lelaki di tengah aula. “Apa kau tahu kenapa dipanggil menghadap kemari?”
“Tidak Apollo,” balas Prometheus.
Para dewa-dewi mendecakkan lidah mendengar jawabannya.
“Sebelum kami bertanya lebih lanjut, berada di mana kau selama ini?” tanya Athena.
“Aku berada di sungai Hepliades bermain-main dengan para nymph saat malam.”
“Lalu saat siang?” tanya dewa lain, Poseidon Sang Penguasa Lautan.
“Membuat anggur yang sangat nikmat dan memabukkan dengan para centaur.”
Prometheus kemudian berjalan-jalan kecil di sekitar sambil mengelus-ngelus dagu yang tak berjenggot. Afrodit dan Hefaistos yang dipaksa hadir, tetap diam, duduk dengan enggan. Mereka berdua sudah mengatakan hanya akan menjadi pengamat dan tidak mengemukakan pendapat apapun. Mereka sekadar saksi. Apapun keputusan yang bulat nanti, mereka ikut saja.
“Selain itu,” kali ini Ares yang bertanya. “Apalagi yang kau lakukan Prometheus?”
“Tak ada wahai Ares, Sang Dewa Perang.”
“Pembohong!” Teriak sekalian yang lain hampir bersamaan.
“Jujurlah, atau aku akan menebas lehermu Prometheus!” ucap Ares siap menarik pedang besarnya. Ibunya yang melihat niat membunuh putranya segera menegur. “Hentikan Ares, ini adalah area suci, tidak diijinkan tertumpah setetes darah pun di sini.”
Setelah situasi telah agak tenang, Zeus mulai bicara untuk pertama kali. “Wahai Prometheus, kami para dewa menyuruhmu datang, untuk bertanya perihal hal terlarang yang kau lakukan.”
“Apa itu wahai Zeus Pemimpin Olympus.”
“Kau dituduh telah memberikan Api Suci kepada kaum manusia,” ucap Zeus.
“Oh… mengenai hal itu. Ya, itu benar. Aku memang membaginya kepada kaum manusia.”
“Bedebah!”
“Lancang!”
“Dasar makhluk hina!”
“Durjana!”
“Tak tahu diri!”
Hardik para dewa-dewi pagan yang sering minta persembahan dan berselisih di antara sesamanya itu.
“Diam kalian semua. Tak aku ijinkan kalian mengucapkan sepatah-kata pun!” Bentak Zeus yang suaranya menggelegar bagai gelegar halilintar. Membuat ciut nyali yang lain. “Sekarang yang boleh bersuara di sini hanya aku dan Prometheus saja.”
Aula itu kini jadi sunyi. Tekanan udara terasa berat, panas, dan menyesakkan.
Setelah semua kembali tenang, Zeus mengamati Prometheus lekat-lekat. Dilihatnya sosok Prometheus yang tak gentar, kokoh sekokoh pilar istana dan tanpa perasaan takut itu.
“Wahai Prometheus, apa kau sudah tidak menghormatiku lagi?”
“Tidak, tidak, tentu saja aku sangat menghormatimu Zeus Yang Agung.”
“Lalu kenapa kau, memberikan Api Suci kepada para makhluk fana yang tak menyembahku itu?”
“Apakah itu sesuatu yang salah Zeus?”
“Tentu saja!” ucap Zeus tegas. “Kau memberikan pertolongan terhadap mereka yang mengingkariku. Para musuhku.”
“Jika memang kau anggap musuh, kenapa tidak kau musnahkan mereka?”
Mendengar jawaban itu, Zeus tambah berang. “Aku tidak memusnahkan mereka, agar mereka suatu saat—ketika mereka telah sadar—menyembah kepadaku. Berdoa kepadaku. Memberikan aku pengorbanan.”
“Tapi yang membangkang kepadamukan hanya sebagiannya saja, sementara yang sebagiannya masih tetap berdoa dan memberimu persembahan di kuil-kuil,” balasnya tenang. “Maka yang sebagian ini tak akan jadi masalah jika aku membagi sedikit pengetahuan tentang Api Suci.”
“Tetap tak kuijinkan.”
Mendengar balasan Zeus, Prometheus jadi tertawa terbahak-bahak hingga terbungkuk-bungkuk. Ia memegangi perut yang sakit akibat tertawa terlalu banyak. Melihat tingkah Prometheus, mengakibatkan dewa-dewi yang lain merasa sangat dilecehkan.
“Lancang, berani sekali kau tidak sopan di aula suci ini, apalagi di hadapan kami, para dewa-dewi tertinggi,” bentak Poseidon sambil mengentak trisula emasnya tiga kali ke lantai. Dang… Dang… Dang…
Melihat saudaranya yang naik pitam, Zeus segera buru-buru menenangkan. Ia tak ingin aturan lama dilanggar di aula itu jika suatu waktu saudaranya lepas kendali.
“Jelaskan maksud alasan perilaku tak sopanmu?” tuding Zeus ke Prometheus.
“Wahai Zeus Yang Agung, kau membenci para manusia karena sebagian dari mereka tak menyembahmu, tapi kau pun tak ingin memusnahkan mereka yang sebagian itu. Kau jadi membenci seluruh ras yang berumur pendek itu. Kau malah memilih menghukum mereka dengan menyembunyikan api. Menyembunyikan kehangatan dan penerangan. Menyembunyikan pengetahuan dan kebijaksanaan. Sungguh tindakan yang egois. Padahal kau tidak benar-benar membutuhkan pengorbanan mereka. Doa-doa mereka. Kau dan para dewa lain adalah orang-orang yang gila disembah. Kalian ingin para manusia, yang lebih lemah dan rentan untuk tunduk dan patuh, tapi kalian lupa, mereka memiliki kehendak. Kehendak Bebas. Kehendak untuk berpikir dan melawan dan memilih apa yang dirasa benar.”
Zeus menjadi berang mendengar ucapan Prometheus. Ia melotot hingga kedua bola matanya seluruhnya jadi putih mirip orang kehilangan akal dan hendak melesat terbang. Akibatnya banyak petir dan kilat bermunculan di gunung Olympus, membuat aula yang sejak semula tak tenang jadi dipenuhi suara-suara geledek menyambar-nyambar ingin menghanguskan apa pun.
Aldi Rijansah
Lahir di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat. Cerpen-cerpennya telah tayang di media cetak maupun digital. Anggota Komunitas Akarpohon Mataram. Bisa diajak berteman melalui Instagram: @aldi_saja04.