Pidato Kebudayaan Abinaya Ghina Jamela
Balige Writers Festival 2025
Selamat Pagi, salam sejahtera untuk kita semua.
Perkenalkan,
Mungkin beberapa dari Bapak, Ibu, dan teman-teman yang hadir di sini sudah mengenal saya. Mungkin ada juga yang belum. Namun saya pikir, pada kesempatan kali ini, saya tidak perlu menyebutkan nama saya.
Mengapa demikian? Karena saya percaya, di mata banyak orang dewasa, anak-anak hanya statistik, hanya angka, bukan manusia yang pantas bicara soal cinta apalagi kebudayaan. Tidak perlu bantahan atau pembenaran, karena saya rasa memang demikian adanya.
Saya bukan tokoh masyarakat, juga bukan aktivis. Saya cuma satu dari jutaan remaja yang tumbuh di sekolah yang sering menyakitkan, di negeri yang sibuk menyuruh kami tumbuh, tapi jarang duduk mendengarkan apa yang kami rasakan.
Saya seorang anak perempuan. Umur saya 15 tahun. Sesekali suka makan mie instan sambil mengerjakan PR. Kadang menggambar, di lain waktu bermain gitar sambil bernyanyi dengan suara yang sama sekali tidak merdu. Tapi jangan salah—saya juga bisa berpikir, mengamati, merasa, dan kalau perlu, berteriak.
Banyak orang bilang, anak-anak itu masa depan bangsa. Tapi kalau begitu, kenapa kami tak pernah diajak bicara saat bangsa ini menentukan arah masa depannya? Beruntung saya memiliki ibu dan keluarga yang selalu berusaha memberi kehangatan meski di waktu-waktu tertentu juga terasa dingin. Beruntung saya memiliki ibu yang memberi saya keleluasaan untuk menjadi diri saya sendiri.
Kepada para orangtua yang kami cintai.
Kepada para guru yang setiap hari berdiri di depan kelas.
Kepada para pembuat kebijakan yang menentukan warna seragam kami, isi buku kami, dan jam tidur kami. Kami bukan semata kanak-kanak, siswa, atau warga negara paling muda yang paling sering diajak bersuara dan berparade saat Hari Anak Nasional, tapi paling cepat disuruh diam saat mulai mengajukan pertanyaan.
Katanya kami generasi penerus bangsa.
Tapi mengapa kami jarang sekali diajak bicara, diajak berdiskusi, didengarkan. Tidak jarang kami hanya diajak bicara saat perlu disuruh.
Dipuji karena menang lomba.
Didengarkan, mungkin sesekali.
Tapi hari ini, izinkan saya bicara tentang cinta, tentang holong, tentang dunia yang katanya
dirancang untuk masa depan kami. Tapi sayangnya tak memberi ruang yang cukup untuk
kami berbicara, bahkan bernapas.
Cinta, Holong.
Sering disebut oleh orang tua dan guru. Tapi saya bertanya-tanya: cinta yang bagaimana yang sedang mereka ajarkan? Karena cinta, dalam pengalaman banyak anak-anak sering kali lebih terasa seperti tekanan yang dibungkus perhatian.
Di lain hal, setiap kali saya mengucapkan kata ini kepada teman-teman seusia, biasanya mereka akan menganggap itu terlalu dramatis bahkan melankolis. Cinta seringkali dibatasi semata topik yang layak dibicarakan oleh orang dewasa. Bahwa cinta itu urusan pacaran, cerita sinetron, atau lirik lagu galau.
Tapi benarkah cinta sesempit itu?
Padahal, ada berbagai macam hal di dunia ini yang bisa kita cintai. Kepada Ibu, kepada Ayah, kepada teman, kepada kucing peliharaan, kepada kata yang kita definisikan sebagai rumah, kepada udara segar di kampung halaman, juga kepada bumi, tempat kita tinggal. Cinta adalah sebuah kehangatan.
Lebih luas lagi, seharusnya cinta adalah sesuatu yang membuat kita tidak saling menertawakan ketika yang lain menangis. Cinta adalah ketika kita berhenti mengejek teman yang gagap membaca. Cinta adalah ketika guru berhenti berkata “anak itu bodoh” dan mulai bertanya, “apa yang bisa kami bantu, Nak?”
Saya pernah ingin bertanya:
“Mengapa guru bisa marah, tapi murid tidak boleh lelah?”
Kami seringkali diajarkan bahwa perasaan harus disembunyikan, seperti kutu di rambut—kalau ketahuan, bisa jadi bahan tertawaan.
Kami diajari bahwa anak-anak harus kuat, harus pintar, harus santun, harus ini, harus
itu. Tapi jarang ada yang bertanya:
“Apa kamu bahagia jadi anak hari ini?”
Ya, belakangan cinta terasa seperti kata tua yang pelan-pelan kehilangan maknanya. Dunia terus berputar, tetapi cinta seakan tak ikut bergerak. Ia tertinggal di belakang, digantikan oleh ketergesaan, kompetisi, dan rasa takut akan kegagalan. Dan dunia seperti kehilangan kehangatannya.
Di tempat-tempat jauh seperti di Palestina, anak-anak seusia kami tidak mampu bicara soal impian, tapi soal bertahan hidup. Mereka tidak memikirkan esai lomba, tapi bagaimana cara melewati malam tanpa kehilangan rumah atau keluarga. Bagaimana menahan lapar dan bertahan hingga esok hari.
Di negeri kami sendiri, Indonesia, banyak anak-anak yang hidup dengan luka yang belum kering. Luka sejarah, luka sosial, luka budaya, luka akibat ketidakadilan yang diturunkan dari generasi ke generasi, dan dibiarkan begitu saja. Seakan semua yang menyakitkan itu hanyalah gangguan yang harus cepat-cepat dilupakan, bukan disembuhkan. Bahkan sekadar permintaan maaf saja tidak mampu diberikan.
Aku melihat anak-anak di sekitarku tumbuh dalam kehampaan. Bukan karena mereka tak
punya orang tua, tapi karena tak pernah tahu bagaimana rasanya dipeluk. Tak sedikit dari
kami yang tidak pernah mendengar kata “aku bangga padamu.”
Apakah ada yang menyadari jika sebagian besar dari kami berusaha keras mendapat ranking, nilai terbaik, menang lomba FL2SN, OSN, atau apapun namanya, bukan karena suka belajar, tapi sekadar agar kami diperhatikan, agar orang tua dan guru kami sadar jika kami ada.
Tahukah Bapak, Ibu, dan hadirin sekalian, teman-temanku banyak yang merasa terasing di rumahnya sendiri.
Mereka bilang, “aku capek diminta jadi orang lain.”
Mereka bilang, “aku lebih bebas saat sendiri.”
Mereka bilang, “kenapa aku selalu salah?”
Mereka bilang, “apa pernah mereka mencintaiku?”
Bukankah ini seharusnya jadi alarm bagi kita semua?
Bahwa jika rumah dan sekolah tak lagi menjadi tempat paling aman, lalu ke mana kami bisa pulang?
Kontrol sering kali didefinisikan sebagai cinta. Kami dibatasi untuk berbicara, dengan alasan, “ini demi kebaikanmu.”
Kami sering diminta diam saat kami sangat ingin untuk bercerita, dengan alasan, “Tahu apa kamu? Kamu itu masih kanak-kanak!”
Padahal cinta bukan berarti selalu tahu yang terbaik bagi yang lain.
Cinta adalah keberanian untuk mendengar, untuk bersabar. Cinta kebesaran untuk percaya bahwa anak-anak juga manusia, bukan proyek keluarga. Menurut Komnas Anak, lebih dari 70% kekerasan psikis pada anak dilakukan oleh orang terdekat. Dan sebagian besar dari mereka yang melakukannya tidak merasa bersalah, karena menganggap apa yang mereka lakukan sebagai bentuk perhatian, bentuk dari cinta.
Tapi bukankah cinta yang menyakiti tidak bisa kita sebut sebagai cinta?
Itu trauma yang diwariskan.
Anak-anak dan remaja tidak butuh diceramahi.
Kami butuh didengarkan.
Kami tidak butuh bimbingan yang mengatur semuanya.
Tapi bimbingan yang percaya bahwa kami bisa belajar dari jatuh.
Dalam budaya Batak, holong adalah kekuatan pengikat. Ia bukan kasih yang pasif, tapi kekuatan yang menyatukan keluarga, komunitas, bahkan peradaban.
Tapi sayangnya, banyak yang menjadikan holong semata simbol, bukan prinsip. Kita mengucapkannya dalam upacara adat, tapi gagal menghadirkannya dalam ruang keluarga. Kita membicarakannya di seminar dan pertemuan kebudayaan, tapi tidak memberikannya kepada anak yang terlihat berbeda dan dilabeli tidak normal.
Tapi sayangnya, hari ini holong kadang lebih sering jadi dekorasi seminar ketimbang prinsip hidup.
Kita bicara holong di mimbar, tapi gagal menerapkannya saat anak menangis.
Kita pasang poster “pendidikan inklusif”, tapi masih membiarkan anak berkebutuhan khusus duduk paling belakang—tanpa pendamping, tanpa teman.
Holong sejati tidak membedakan.
Ia tidak menuntut kesempurnaan.
Ia hadir bahkan untuk yang gagal, yang tertinggal, yang dianggap beban.
Justru di situlah cinta diuji.
Holong tidak seharusnya eksklusif.
Justru cinta itu paling dibutuhkan oleh mereka yang paling sering disingkirkan.
Bapak, Ibu, dan hadirin sekalian.
Budaya bukan hanya soal baju adat, upacara, dan tarian.
Budaya adalah cara suatu masyarakat memperlakukan anak-anaknya.
Kalau budaya masih membungkam kami, berarti budaya itu belum selesai berevolusi.
Di banyak negara, suara anak didengar.
Di Swedia, remaja ikut merancang kebijakan iklim.
Di India, gadis-gadis desa mendirikan klub literasi untuk memberantas pernikahan dini.
Bagaimana dengan Indonesia?
Anak-anak pintar diminta ikut lomba pidato, tapi tidak pernah diminta merancang keputusan untuk hidupnya sendiri.
Bukankah ironis sekali?
Anak-anak bukanlah tanah kosong yang bisa ditanami sesukanya.
Anak-anak bukanlah kertas kosong yang bisa ditulisi apa saja.
Kami punya suara. Kami punya rasa. Kami melihat apa yang terjadi dan kami ingin menjadi bagian dari perubahan.
Jangan hanya menjadikan kami tema Hari Anak.
Ajak kami bicara saat membuat keputusan.
Jangan hanya menyuruh kami membaca puisi.
Tolong beri kami ruang untuk menulisnya sendiri.
Kami tidak meminta orang dewasa berhenti mengajar.
Kami hanya minta mereka mulai mendengar.
Cinta atau holong adalah revolusi yang paling diam-diam tapi paling dalam.
Balige, hari ini lewat kata, lewat suara, lewat keberanian seorang anak perempuan 15 tahun, izinkan saya menyampaikan jika cinta adalah satu-satunya jalan pulang.
Cinta bukan kelemahan.
Cinta adalah alasan kita bertahan.
Cinta adalah energi untuk membuat dunia ini hangat kembali, untuk manusia, untuk alam, untuk kami, anak-anak yang belum tahu bagaimana cara melindungi dirinya.
Dan jika dunia ini ingin berubah, jangan memulainya dari konferensi, seminar, festival, atau FGD.
Mulailah dari pelukan, dari mendengarkan, dari pujian, dari memilih sabar daripada cepat. Sebab itulah cinta yang paling kami butuhkan. Itulah holong, itulah alasan kami untuk kelak selalu pulang.
Horas!
Catatan: Pidato Kebudayaan ini disampaikan Abinaya Ghina Jamela pada ajang Balige Writers Festival 20205
Abinaya Ghina Jamela, menulis sejak usia 5 tahun dan telah menerbitkan buku-buku: Resep Membuat Jagat Raya (2017), Aku Radio bagi Mamaku (2018), Mengapa Aku Harus Membaca? (2019), Rahasia Negeri Osi (2020) dan Kucing Lelaki Tua dan Penulis yang Keliru (2021). Aktif dalam berbagai kegiatan riset dan sosial. Mendirikian Komunitas Sahabat Gorga. Kini ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas dan tinggal di Yogyakarta.












