Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Puisi · 20 Jul 2025 21:08 WIB ·

Puisi IRZI


 WikiArt.org Perbesar

WikiArt.org

ANATOMI KABAU SIRAH

Teman saya yang fanatik bola bilang tak ada
gunanya lagi menangis karena klub sepak bola—
kecuali air matamu mengalir bersama statistik,
dengan bonus tujuh ratus juta, dan klasemen
yang gemetar di ujung musim. Liga kita,
katanya, bukan cuma soal gol, tapi tentang
tubuh-tubuh yang lari tak dibayar penuh. Tentang
jersey basah yang lebih jujur dari pidato sponsor.
Hari ini, katanya, kemenangan adalah segalanya
yang bukan piala. Seperti Andre,
yang tubuhnya bukan pemain, tapi tetap
bergetar ketika Semen Padang
selamat dari jurang. Air matanya,
kata fans di tribun utara, adalah siaran langsung
dari dada yang belum dikalahkan. Karena kadang
politik dan sepak bola duduk satu meja
menonton highlight laga terakhir, menyeka mata
dengan suara komentator. Tangis, katanya,
adalah taktik bertahan terakhir—
yang bisa menunda degradasi tanpa menyentuh bola.
Saya ingat waktu kecil menyanyikan lagu
“Ayam den Lapeh” sambil mengejar bayangan sendiri
di lapangan merah. Hari ini, saya melihat
Kabau Sirah berdiri lagi, bukan karena kuat,
tapi karena tidak pernah diberi cukup alasan
untuk menyerah. Dan ketika Andre berdiri di pinggir lapangan,
dengan tangan gemetar di dada, saya tahu
ada hal yang tak bisa diatur VAR: semangat
yang menolak turun kasta. Saya mulai bertanya,
apakah seluruh pemain kita hanyalah statistik—
atau tubuh yang menghafal doa tiap malam
sambil memijat betis sendiri? Dan jika kemenangan
adalah sisa tenaga di menit ke-89, maka
saya percaya air mata adalah bentuk lain selebrasi.
Sesuatu yang tak tertulis di papan skor,
tapi hidup dalam dada siapa pun
yang pernah percaya bahwa selamat adalah bentuk
paling jujur dari cinta.

2025

HIJRAH
Sayangnya, palasik bukan lagi
mata melotot dalam kabut
melainkan perempuan dengan tangan tenang, memotong pola
seperti bulan membelah bayang kain.
Satu jarum, satu jarak, begitu rapi, begitu pelan ia
menusuk-nusuk ujung pagi. Itu bekas luncurannya.
Bekas lengking dari masa ia tak menyebut nama Tuhan.
Lebih dari cukup
untuk membuat kami berhenti bergunjing di warung,
ruang kelas kini tempat jarinya menyulam
sejarah lama yang dulu berdarah.

Ia tak membawa hantu, tapi membawa
satu-satu nyanyian tentang batas dan tanggung jawab.
Dan setelah Maghrib, ia duduk lagi, di saf paling ujung
di surau kecil kami, suara lirih memandu qasidahan
tentang Maryam, tentang sabar, tentang luka yang dibasuh zikir.
Apa yang tersisa dari makhluk malam itu?
Apa yang bisa berubah bentuk lalu pulang,
tanpa malu, tanpa lidah terjulur, hanya
jilbab panjang, dan sorot mata yang tak lagi mencari darah?
Bayangkan pintu kayu yang tak pernah ditutup rapat—
Apa yang lebih suci dari tangan yang dulu menyesatkan,
kini menuntun benang ke dalam lubang kecil
dengan sabar, dengan doa, dengan seribu gerakan halus?

2025

ALEGORI
Seperti semua pemimpin besar, Presiden Wakanda tahu bahwa untuk dikenang, seseorang harus membuat keputusan yang mengejutkan tapi tampak luhur. Maka ia tunjuk orang gila—atau yang hanya 90% waras, tergantung siapa yang menulis berita—sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. Orang-orang terkesiap, lalu tertawa, lalu—seperti biasa—beralih membicarakan gosip lain. Tapi sang Menteri membuat kebijakan: semua orang gila akan dijamin hidupnya oleh negara. Disubsidi. Dirawat. Disapa oleh petugas berpakaian oranye pastel yang dia sendiri rancang, katanya agar mengingatkan pada fajar. Di pidatonya yang pertama, ia bicara sambil menatap langit-langit: “Kita semua pernah dibatalkan oleh kenyataan.” Kamera menangkapnya seperti menangkap seekor burung di balik kaca: elegan tapi absurd. Dan saya, wartawan tanpa lencana, tertawa di toilet sekretariat, gigi saya menempel gula kopi instan, gigi palsu yang makin goyah. Palsu mengenali palsu. Ya, itu saya di CCTV koridor, senyum saya seperti spanduk lama, luntur tapi masih dipajang. Dulu saya juga pernah nyaris gila: kehilangan dompet, pacar, ibukota, urutan salat. Tapi tak pernah kehilangan hak pilih. Saya mencoblos wajahnya—Presiden itu—karena matanya seperti bingkai jendela yang tak jadi dipasang. Waktu kecil, saya sering berbicara sendiri di ruang tamu. Ibu memanggilnya “kreatif”, dokter memanggilnya “depresi ringan”. Ciuman pertama saya diberikan oleh sesama penghuni bangsal, bau alkohol, basah, dan jujur. Kami menertawakan grafik stabilitas nasional. Ketika saya keluar, dia tinggal. Ketika saya mulai menulis, ia menghilang. Kini ia jadi Menteri. Kini semua orang gila makan tiga kali sehari. Ada panti yang dicat biru langit. Ada konser pengantar tidur. Ada gaji untuk berbicara pada dinding, asal tidak menghasut. Betapa beruntungnya jadi gila di era yang tepat. Betapa Wakanda untuk dianggap rusak lalu dijadikan inspirasi global.

2025

IRZI ialah nom de plume Ikhsan Risfandi yang lahir di Jakarta 1985. IRZI sempat menjajal
peruntungan sebagai gitaris Jazz kemudian banting gitar untuk fokus menempuh kepenulisan
puisi Jess & Beatawi, sesekali cerpen. Buku puisi pertamanya Ruang Bicara terbit pada 2019.
Trivia Kampung Sawah terbit pada November 2024 ini di Velodrom sebagai bukunya yang
kedua.

Artikel ini telah dibaca 170 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Puisi Salman Alade

20 October 2025 - 00:31 WIB

Billy Apple, Portrait of The Artist in Drip Dry Suit, 1962 via WikiArt.org

Puisi Rio Fitra SY

27 September 2025 - 19:10 WIB

Edvard Munch, The Lonely Ones, 1935

Puisi Riska Widiana

24 August 2025 - 05:53 WIB

WikiArt.org

Puisi Bulan Maharani

10 August 2025 - 14:30 WIB

WikiArt.org

Puisi Maulidan Rahman Siregar

2 August 2025 - 02:33 WIB

WikiArt.org

Puisi Sindi Putri Oktafiana

7 July 2025 - 14:33 WIB

WikiArt.org
Trending di Puisi