Ada relevansi antara novel George Orwell, “Nineteen Eighty Four” (1984) dengan novel Hafis Azhari, Pikiran Orang Indonesia (POI), bahwa di dunia ini, di bawah kendali penguasa adidaya seakan mereka sedang merancang agenda dan proyek besar obat-obatan untuk menjinakkan pikiran manusia. Bagi Orwell, hal tersebut akan menjadi problem serius bagi nilai-nilai kemanusiaan di masa depan. “Selama kita secara biologis adalah manusia, maka jiwa kita selalu menuntut agar hidup merdeka, dan akan menentang kediktatoran oleh pihak mana pun,” demikian tegas Orwell.
Lebih eksplisit lagi Orwell berpendapat, bahwa kediktatoran oleh penguasa adalah pola hidup yang tidak stabil, karena itu manusia akan terus berusaha mencari-cari celah untuk menemukan kemerdekaan bagi dirinya. Salah satu relevansi antara novel 1984 dengan POI, terkait dengan maraknya pemanfaatan obat-obatan yang dipakai untuk membuat manusia menjadi bingung, gampang diatur dan diperalat. Setelah itu, para elit penguasa adidaya akan berjuang mengendalikan pikiran-pikiran manusia di muka bumi ini. Demikian pula dengan language (bahasa) yang akan dirancang agar manusia menuruti pola bahasa yang dibentuk oleh mindset mereka, hingga dengan mudah dikendalikan untuk mencapai maksud dan tujuan yang telah mereka agendakan.
Dalam novel POI, kentara jelas ketika tokoh Haris dan Arif akan melanjutkan perguruan tinggi, seakan-akan mereka “dihipnotis” oleh seorang letkol tentara (Orde Baru) yang telah merancang skenario khusus bagi masa depan mereka. Meski menurut Orwell, merancang otak manusia melalui obat-obatan dianggap jauh lebih efektif ketimbang lewat pendidikan atau pola berbahasa, yang membutuhkan jenjang waktu antar generasi.
Baik Orwell maupun Hafis Azhari, melalui novelnya, sama-sama menyoal bahaya kediktatoran, serta mengamati titik kekuasaan sebagai titik kebrutalan. Ia tidak memiliki korelasi dengan kepemimpinan yang tulus untuk mencerdaskan dan mendewasakan rakyat, akan tetapi berusaha keras untuk menundukkan dan mengendalikannya. Manusia, bagi penguasa korup adalah terrae incognito, sebagai tanah-tanah tak bertuan yang berhak mereka peralat dan kendalikan sesuka hati mereka.
Tema sentral dalam penggarapan novel 1984, seperti yang dikemukakan Orwell dalam suatu wawancara khusus, bahwa mereka yang mengendalikan masa kini sehaluan dengan mereka yang mengendalikan masa lalu, dan mereka yang mengendalikan masa lalu sehaluan pula dengan yang mengendalikan masa depan. Ini semacam konspirasi global yang bersifat abadi, dan semakin menemukan habitatnya. Tak beda jauh dengan prediksi agama yang dikemukakan dalam cerpen Hafis Azhari di laman NU Online (Detik-detik Akhir Menjelang Kiamat), perihal maraknya dajjal-dajjal yang berkorelasi dengan kebohongan (hoaks), hingga kampanye disinformasi yang direstui dan disponsori langsung oleh kekuasaan negara.
Sang filsuf Inggris, Aldous Huxley menilai bahwa penggunaan obat-obatan secara massal adalah bentuk kediktatoran yang halus, hingga dianggap sebagai kebijakan negara yang dianggap merakyat dan manusiawi. Menurut Huxley, asal-usul kesadaran manusia kini semakin mudah diakses dan diretas oleh penemuan sains, teknologi hingga AI (artificial intelligence). Untuk menundukkan manusia Indonesia, tak diperlukan lagi sepatu tentara atau popor senjata untuk menghantam tengkuk Anda (seperti dalam POI), tetapi cukup dengan setetas suntikan obat, manipulasi genetik, dan bentuk-bentuk pengendalian pikiran lainnya.
Brutalisme Politik
Dalam novel Pikiran Orang Indonesia tampak jelas bahwa totalitarianisme telah menyamar sebagai “demokrasi” dan dikipasi oleh negeri-negeri imperialisme berikut hutang-hutang milyaran dollar yang ditawarkan mereka. Dalam novel garapan sarjana filsafat UIN Jakarta itu, kentara jelas bahwa para penindas dan pelaku kesewenangan boleh jadi menjelma sebagai diri kita sendiri, yakni tokoh “saya” selaku narator pertama, sampai akhirnya menyadari bahwa “saya” telah diperalat dan turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan kesewenang-wenangan yang dibiayai oleh negara.
Mungkin, dalam banyak hal, sebagian bangsa ini sudah sampai ke arah sana. Berita-berita palsu, propaganda elit politik, pembenaran kenyataan yang dimanipulasi sebagai “kebenaran tunggal”. Mereka tak kuasa membebaskan diri dari gelembung politik yang kadung diciptakan “sang penguasa”. Kita dipaksa menjadi konsumen yang menonton ulah dan kelakuan mereka, lalu mereka pun bersorak-sorai ketika kita saling berkubu-kubu, berpecah belah, dan saling gontok-gontokan. Lambat laun, mereka memberlakukan hukum yang semakin kejam untuk mencegah pihak lain (liyan) yang hendak memperjuangkan perolehan hak dalam kepemimpinan negeri.
“Mungkin persoalan masker dan vaksin adalah topik yang paling hangat akhir-akhir ini,” tegas Hafis Azhari, “tetapi bagaimana dengan makanan, pakaian, termasuk media daring yang Anda konsumsi, bahkan bahasa yang Anda gunakan sehari-hari? Bukankah semua itu bagian dari produk ciptaan mereka, apakah Anda akan berjuang untuk kemerdekaan jiwa, ataukah demi kepentingan elit partai politik sebagai abdi-abdi lokal dari kepentingan agenda adikuasa?”
Dalam cerpennya yang bertajuk, “Detik Terakhir Kematian Seorang Jenderal Tua” (Radar NTT), Hafis Azhari mengungkap tipikal purnawirawan tentara (ABRI) yang mengalami post-power syndrom, hingga ketika ia dirusak oleh kesehatannya, direnggut sang waktu yang membuatnya semakin tua renta, tampaknya tetap saja ia terobesesi pada keabadian, serta menggapai-gapai cara agar memperoleh ketenangan hidup di hari tua.
Dalam kaitan ini, Presiden Prabowo sebagaimana Presiden Trump, tidak bakal sanggup mengatasi terorisme dan problem ekologis yang semakin gawat ini, bila tetap masih menjalankan politik bermuka dua. Hal ini bisa dilanjutkan bahwa negeri-negeri industri maju, yang selalu mendendangkan universalisme dan kecintaan pada demokrasi, harus mau introspeksi dan bercermin diri, serta melepaskan kepentingan status-quo yang selama ini merugikan bangsa-bangsa di negeri-negeri berkembang.
Dapatkah mereka leluasa mendendangkan demokrasi dan universalisme, bila di sisi lain bersikeras menegakkan aturan dan batas-batas yang membelenggu? Apakah Amerika masih tetap mau memekarkan benih-benih baru bagi terorisme global, yang bagi bangsa-bangsa yang dirugikan adalah martir atas perjuangan mereka?
Ketenangan Palsu
Sekarang kita semua tahu, bahwa selama ini peranan Amerika yang mendorong kebudayaan yang dipancarkan lewat satelit, masih juga menyandarkan legitimasi kepada rezim-rezim otoriter lokal yang sanggup memainkan kartu fundamentalisme. Mereka bersikeras menghalangi emansipasi angkatan muda yang progresif dan menghendaki kemandirian ekonomi, kedaulatan politik dan kebudayaan. Apakah mereka tak sadar, atau pura-pura tak sadar, akan cita-citanya tentang satu dunia di mana semuanya bisa tumbuh subur berbarengan, sementara mereka tetap saja mendasarkan ekonominya pada industri militer dan ruang angkasa, yang pasar dan produksinya dipaksakan membanjiri negeri-negeri berkembang?
Bukankah budaya pengembangbiakan senjata telah menghempaskan bangsa-bangsa dunia dalam situasi kedunguan, menumpulkan daya nalar dengan mentalitas pergaulan hidup yang beku dan saling curiga antara yang satu dengan yang lainnya? Hal-hal semacam itulah yang membuat kita harus berani membalik logika bahwa pada hakikatnya kita memiliki banyak uang, energi dan intelektual, tetapi berhamburan dicurahkan untuk menyebabkan kerusakan dan kebinasaan, bukan demi kelestarian dan kemaslahatan bersama.
Sesungguhnya, sumber utama yang dianggap membahayakan bagi negara-negara industri maju, tak lain dari persoalan psikologis, delusi kejiwaan, yang disebabkan oleh ulah perbuatan mereka sendiri (baca: “Membangun Akal Sehat”, kompas.id). Ketegangan itu dengan sendirinya menimbulkan perasaan lelah, bosan, dan bahkan rasa takut yang membuat mereka bisa salah-kaprah dalam menentukan keputusan-keputusan vital bagi kepentingan keluarga maupun negara.
Orang-orang tua konservatif merasa perlu menjawab persoalan tersebut dengan segala-macam cara, hingga merancang berbagai strategi untuk memperoleh ketenangan hidup di hari tua. Tetapi, dapatkah terjamin “peredaan ketegangan” bila tetap bersandar pada budaya pengembangbiakan senjata yang bermuara pada arogansi militerisme yang tak ada habis-habisnya?
Mampukah manusia merancang ketenangan hidup di hari tua, dengan memenuhi segala fasilitas dan kebutuhan bagi kepentingan diri pribadi, sementara di sekelilingnya bergelimpangan orang-orang dina-lemah-miskin yang butuh perlindungan dan pertolongan? Bukankah keberadaan mereka adalah hal yang alami, sesuai sunatullah, dan jika diabaikan (bahkan dimusuhi) akan menebarkan benih-benih teror di sekeliling kita?
Dengan ini, biarlah saya memaparkan persoalan yang kurang enak dirasakan meskipun tetap harus diterima sebagai kenyataan faktual, seperti halnya banyak orang merasa berat menerima kenyataan bahwa novel Pikiran Orang Indonesia, yang “diserang” dari sana-sini, justru semakin mendapat pengakuan publik, karena kualitas kebenaan dan kesadaran tinggi yang diperjuangkan penulisnya.
Jauh-jauh hari, penulisnya telah menggagas akan adanya transformasi spiritual, bahwa akhir-akhir ini dunia sastra Indonesia semakin mengalami ketegangan dalam keseharian mereka. Tampaknya, hingga hari ini sebagian seniman nyaris memiliki ideologi yang sama dengan purnawirawan tantara di zaman Orde Baru, mereka berpendapat seolah hanya pundi-pundi materi yang dapat menjadi penolong untuk memenuhi kesenangan hidup yang melimpah bagi umur tua. Hal ini tentu akan menghasilkan suatu kebalikan dalam mengatasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar di dunia ini.
Arsitektur Ilahi
Melalui karya monumentalnya (Pikiran Orang Indonesia) Hafis Azhari mengajak para penulis milenial khususnya, agar turut berperan, menggugah kesadaran, dan dengan tegas mengungkap kenyataan-kenyataan riil sambil berusaha menolak menipu rakyat. Hal ini, boleh jadi kurang mendatangkan kepopuleran dalam waktu cepat, tetapi tetap kita harus memperjuangkannya.
Novel POI seakan menantang pembaca milenial untuk terjun ke medan perang spiritual. Ia sanggup mencipta bab baru dari kisah lama yang dibungkam oleh kekuasaan kosmopolit yang serba mendikte cita rasa. Novel itu memang tidak terpaku pada rumus penulisan konvensional, tetapi sanggup tampil dengan corak frekuensinya sendiri, hingga dapat membuka kedok-kedok topeng sosial yang gemar dikenakan oleh kekuatan status quo.
Ia telah mengaktivasi kesadaran banyak penulis muda, dari segala ketenangan palsu dan stagnasi spiritual, akibat terpedaya oleh warisan sistem yang mengandalkan narasi-narasi absurd, chaos, dan kekacauan. Ia menggugat loyalitas buta yang mengantarkan bangsa ini pada kemiskinan spiritual selama beberapa dekade terakhir.
Penulisnya seakan sanggup bergerak dengan kecepatan wahyu ilahi, bukan sekadar menggerakkan pion-pion di atas papan catur duniawi. Ia telah sanggup menciptakan lompatan rekayasa spiritual yang tak mudah terkontrol oleh narasi kekuasaan. Ia juga telah sanggup mematahkan pola, tersinkronisasi oleh keabadian, karena memang bersandar pada arsitektur yang bersumber dari wahyu Ilahi.
Sebagai penulis dan intelektual, kita harus terus bergandeng tangan, bekerjasama, dan jangan hanya berlindung di balik kata-kata. Ketahuilah, bahwa dalam penolakan terhadap “perbudakan” yang terkandung dalam zaman ini, maka kita akan menemukan suatu harapan yang baik di masa yang akan datang. Mulailah dari diri sendiri, dan saat ini juga! (*)
Indah Noviariesta, Pegiat organisasi Gerakan Membangun Nurani Bangsa, alumnus perguruan tinggi Untrita Banten, juga menulis prosa dan esai di berbagai media nasional, serta meraih nominasi pemenang cerpen terbaik di Litera pada 2021 lalu.












