Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Puisi · 25 May 2025 15:51 WIB ·

Puisi Adit Febrian


 Paul du Toit, Transparency, via WikiArt.org Perbesar

Paul du Toit, Transparency, via WikiArt.org

Belum Ada Judul

Pernah mikir gak sih?
Ada hal-hal yang berat,
momen-momen tertentu
yang bikin hampir mau mati,
terus bilang sama diri sendiri,
“Apaan sih ini, kenapa sih begini?”
gue udah berusaha keras jadi apa pun itu,
jadi pemain bola di usia sekolah dasar,
jadi musisi di usia menengah.

Semuanya gak mudah, dan yaudahlah.
Gue pikir emang kurang skill aja,
atau emang gak pernah ada momen
yang bikin gue jadi berhasil.
Untuk beberapa waktu,
gue cuma pengen jadi manusia
yang kerja, pulang, istirahat,
begitu-begitu terus.

Tapi di akhir tahun itu,
gue harus kehilangan pekerjaan,
nyisain tagihan yang numpuk,
kuliah 3 semester lagi,
penghasilan gue gak ada lagi.
semua itu bikin gue marah,
“Kenapa sih, kenapa begini?”
Tapi buat mati, nggak dulu deh,
gue takut.

Begitu banyak yang harus ditanggung
setelah gue masuk liang kubur.

Setelah waktu begitu berjalan,
apa pun itu, gue masih berharap.
mungkin gak begitu banyak,
trauma masih ngikutin gue.

Senggaknya gue masih bisa makan,
ngerokok, punya kelluarga yang support,
kekasih yang cantik, dan buku-buku.
Apa lagi yang gue mau dan harus gue sedihin?
Kadang, emang harus santai sih,
pelan-pelan, emangnya mau kemana?
Siapa tau mati lebih dekat daripada hari besok.

Karawang, 2024

Berharap?

Gue benci harus berharap
sama orang lain,
percaya sama orang lain.

Tapi pernah kepikiran,
kalau gak ada harapan—
kalau cuma ada
kecurigaan,
gimana jadinya?

Yaelah, gue tau
banyak orang bilang:
“Berharap kok sama manusia?”
“Berharapnya sama Tuhan!”

Terus harus gimana?
masa gak boleh berharap
sama sesama manusia?
gak boleh berharap,
sama manusia?

Tapi gue bersyukur kenal:
Bukowski, tukang parkir,
tukang nasi uduk,
ojol, tukang vermak,
banyak lagi—banyak.

Bersyukur bisa berharap,
percaya sama manusia lain,
lain lagi.

Sama burung, kucing, undur-undur,
setan, kelinci, kuda nil, monyet,
politisi, kampanye.

Kalau disebut semua
gak bakal habis.
gak ada habisnya.

Tapi akhirnya,
gue bersyukur
pernah kecewa.
pernah berharap,
pernah percaya.

Akhirnya,
jadi manusia
yang bisa percaya,
bisa berharap.

Yang akhirnya belajar
biar gak tolol,
dan fatalistik.

Karawang, 2024

Begitu Deh

Gue selalu mampir ke warung Kuningan langganan,
sekadar beli pomade atau rokok kretek murah,
tapi momen-nya gak murahan.

Yang jaga warung suka muter musik: metal,
hardcore, metalcore, grindcore,
kadang folk.
Gue ke situ bukan cuma beli,
atau karena harga jualannya murah,
tapi karena tertarik sama selera musiknya.

Gue ngobrol ngalor ngidul,
tentang musik, kehidupan, rokok.
Berasa di luar negeri dengan bar-nya,
tapi ini warung, gak jual alkohol.

Di tengah rutinitas gue yang ngebosenin,
momen-momen kecil kayak gitu bikin gue recharge.
Jadi lebih bersyukur, lebih semangat.
Walau cuma ngobrol sama orang sefrekuensi,
tapi sekarang jarang ada yang begitu sih.

Sekarang perbincangan sosial cuma ngomongin tren medsos,
isu selebritis, atau gosip temen sendiri.
padahal ngobrolin musik atau rokok kretek lebih asik.
hal-hal remeh yang bikin gue tertarik,
daripada obrolan orang kebanyakan.
Yahhh, gitu deh.

Karawang, 2024

Masalah Hubungan

Malam itu gue ke rumah Megi,
sekadar ketemu temen lama,
refreshing dari rutinitas kerja.
tapi malam itu jadi lebih dari sekedar nostalgia,
gue malah dihadapkan pertanyaan-pertanyaan
soal relationship saudaranya.

Yang ternyata mirip sama masalah gue,
relationship yang belum selesai.
Aneh, dari pertanyaan itu,
gue malah nemu jawaban buat masalah gue,
yang bahkan lebih rumit.

“Gimana kalo hubungan yang udah mau diseriusin,
tapi salah satu pihak berkhianat?”
gue jawab, “Perasaan gak bisa dijelasin secara logis.”
Banyak pilihan buat hubungan baru,
tapi percuma kalo perasaan masih main.
Masalah muncul dari rasa memiliki,
kalo perasaan masih kuat dan omongan bisa dipegang,
berjuang aja, sampe semesta jawab.
Kalo itu bukan jalannya,
perasaan bakal terurai sendiri, dengan tenang.

Yang seharusnya lepas itu rasa memiliki, bukan cinta.
Yang seharusnya lepas itu ilusi kontrol, bukan kedalaman hati.
Langit makin gelap, seakan bilang,
saatnya pulang, dan sloki terakhir gue tenggak.
Akhir dari segala kegundahan.

Karawang, 2025

 

Adit Febrian lahir di ujung pelosok kota Karawang, yang kini sedang menempuh pendidikan sarjana di suatu universitas swasta di kota Karawang. Selain bekerja dan kuliah, penulis juga suka menulis puisi, cerpen, dan nge-band

Artikel ini telah dibaca 183 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Puisi Salman Alade

20 October 2025 - 00:31 WIB

Billy Apple, Portrait of The Artist in Drip Dry Suit, 1962 via WikiArt.org

Puisi Rio Fitra SY

27 September 2025 - 19:10 WIB

Edvard Munch, The Lonely Ones, 1935

Puisi Riska Widiana

24 August 2025 - 05:53 WIB

WikiArt.org

Puisi Bulan Maharani

10 August 2025 - 14:30 WIB

WikiArt.org

Puisi Maulidan Rahman Siregar

2 August 2025 - 02:33 WIB

WikiArt.org

Puisi IRZI

20 July 2025 - 21:08 WIB

WikiArt.org
Trending di Puisi