Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Budaya · 21 May 2025 00:12 WIB ·

Sastra dan Transformasi Spiritual


 Wikiart.org Perbesar

Wikiart.org

Cerpen atau puisi adalah bacaan sastra yang simpel dan mudah diambil hikmahnya dalam waktu singkat. Ia memiliki daya tarik tersendiri, seperti halnya cinta pada pandangan pertama. Sekali Anda menyukai suatu cerpen dan siapa penulisnya, maka hasil-hasil karya penulis itu akan dikejar dan ditelusuri keberadaannya. Karena bagaimana pun, cerita yang bagus, akan terkenang sepanjang masa, dan takkan mudah untuk dilupakan.

Secara pribadi, saya lebih cenderung menuangkan ide dalam bentuk cerpen, terkait dengan konflik psikologis yang kompleks dialami manusia modern Indonesia, seakan terjebak dalam arus zaman. Karena itu, karakter-karakter tokoh paling diutamakan, terutama para tokoh yang diilhami dari orang-orang sekitar maupun dari sumber-sumber bacaan dan film. Emosi yang dialami oleh orang lain, termasuk diri saya pribadi, adalah benang merah yang menjembatani pembaca dengan sebuah cerita.

Karena itu, tulisan yang sukses, ketika penulis sanggup menempatkan dirinya dalam imajinasi pembaca, hingga muncul rasa simpati maupun empati, baik kepada tokoh-tokoh yang ditampilkan, maupun kepada penulisnya. Bahkan, suatu empati yang memengaruhi pembaca, dapat menggoncangkan keseimbangan hingga pada akhirnya mengubah perspektif dan pandangan hidup. Banyak kritikan menyerang saya, terkait cerpen-cerpen yang menyoal militerisme, seperti “Jimat dari Mayor Gibran” (Koran Tempo), “Ramuan Misterius Nyi Hindun” (ruangsastra.com) dan “Misteri yang Tak Terpecahkan” (Radarntt.net). Tetapi uniknya, justru tak ada pihak militer yang mempersoalkan hal tersebut, karena dunia sastra bicara di wilayah metafora yang diungkapkan secara implisit, bukan secara eksplisit.

Di sisi lain, muncul gugatan dari kalangan tokoh agama. Mereka menyoal kapabilitas dakwah melalui karya sastra yang dinilai mampu mengubah perspektif dan peradaban. Lalu masalahnya, perubahan perspektif ke arah mana? Apakah pembaca menjadi semakin soleh dan beriman, ataukah mengantarkan mereka kepada ketersesatan? Jika pun bicara tentang keabadian karya tulis, ada baiknya mengutip pernyataan Tuhan dalam surah Ibrahim di dalam Alquran, bahwa kata-kata yang baik ibarat pohon kokoh yang akarnya menancap ke bumi, serta batangnya menjulang ke atas langit. Pohon itu akan memberi keberkahan dengan buah-buahnya yang matang, dan siap melayani sang penanam pada tiap-tiap musimnya.

Saya merasa sangat bahagia jika sanggup menyuguhkan karya tulis yang dibaca oleh ribuan bahkan jutaan pembaca, baik melalui media cetak maupun daring. Senang sekali rasanya bisa berbagi pikiran dan perasaan kepada para pembaca di seluruh dunia. Bahwa saya bisa menjembatani jarak yang terbentang antara ruang dan waktu yang berbeda, serta berbagi ide dengan manusia-manusia dari belahan dunia lain. Rasa bahagia itu tak ubahnya dengan kelapangan hati, ketika saya mampu bersedekah, membagi-bagikan beberapa bungkus kue atau buah-buahan kepada tetangga kiri dan kanan, disambut senyum dan tawa yang renyah terpancar dari wajah-wajah mereka.

Saya rasa, banyak penulis yang merasakan hal yang sama setelah mereka menyuguhkan karya terbaiknya, lalu menyambut pagi yang cerah setelah melihat karya kita ditayangkan oleh media cetak maupun daring, menerima email sambutan atau telepon dari pihak penerbit.

Ketika penulis muda bertanya tentang kategori atau bentuk tulisan, terus terang saya merasa kesulitan untuk menjawabnya. Bagi saya, adalah tugas pengamat atau kritikus sastra yang berhak menjawabnya, karena saya tidak punya kemahiran dalam menilai atau memberi kategori tertentu, apakah suatu karya sastra beraliran realisme, surrealisme, idealisme maupun ekspresionisme. Barangkali penulis terkenal seperti Eka Kurniawan, Ahmadun, Putu Fajar Arcana, Hafis Azhari, Dee Lestari, atau Ayu Utami memiliki kemahiran untuk memahami hal-hal tersebut secara rasional dan ilmiah. Jika ditanya tentang proses kreatif, jawaban saya pun sederhana saja, bahwa saya hanya mengingat dan mengolah pengamatan dan teori saya tentang bagaimana manusia berinteraksi, dan saya berusaha mengeksplorasi situasi tersebut di atas kertas.

Penulis Jepang, Haruki Murakami kadang menulis dengan format unik yang berbeda-beda. Kadang juga karyanya membuat kita tersenyum dan tertawa, namun di saat lain membuat kita serius dan berempati kepada tokoh-tokohnya. Pramoedya Ananta Toer yang sering mengalami masa-masa getir selaku tahanan politik Orde Baru, ditambah puluhan tahun tahanan kota di Jakarta, nampaknya sulit menuangkan karya yang kompleks seperti Murakami. Saya yakin, banyak penulis yang merasa nyaman untuk berkonsentrasi menulis dalam format tertentu, namun harus berjuang dengan format lainnya. Tetapi Murakami, sanggup menyeimbangkan keahliannya dalam menguasai kedua format dengan luwes dan indah.

Terlepas dari bentuk apapun gaya penulisan, pada prinsipnya sesuatu yang bagus menurut saya, belum tentu dinilai bagus bagi penulis lain. Begitu pun sebaliknya. Karena itu, saya tak perlu kecewa ketika tulisan saya ditolak oleh satu media dan penerbit, karena toh bagi penerbit lain boleh jadi dianggap pas dan bagus. Ini yang saya pelajari sebagai penulis, bahwa di sana tak ada konsensus, biar pun Anda menyatakan tulisan saya bagus, jelek, norak, atau dipersilakan bagi yang senangnya mengkritik, bahkan mencaci-maki sesuka hati. Tetapi konsekuensinya, jika Anda ingin menjadi penulis, tak ada salahnya untuk mencermati petuah dari Pramoedya, “Kalau Anda ingin menjadi penulis yang baik, jangan mau menjadi kritikus sastra.”

Saya sendiri tak punya otoritas untuk menyatakan seperti itu, karena saya tak pernah menulis kritik sastra yang serius seperti Pramoedya. Tapi secara pribadi, unsur yang membuat sebuah cerita dikatakan baik atau luar biasa bagus, tak lain adalah faktor insting di dalam cerita yang memiliki kapasitas untuk hidup di luar kertas. Sebuah cerita yang baik, sanggup untuk menyeret pembaca ke ranah dunianya. Tetapi, cerita yang luar biasa bagus, seumumnya sanggup mengubah perspektif, menggerakkan, serta memiliki kemampuan untuk hidup di dalam benak pembaca selama bertahun-tahun, bahkan seumur hidup.

Secara religius, tentu saja ukuran kebagusan karya sastra adalah kesanggupan penulis mengarahkan pembaca menjadi lebih baik dan bijaksana. Untuk itu, kepada para penulis muda yang bertandang ke rumah saya, kadang saya tegaskan bahwa tulisan yang baik harus menjadi sarana reflektif bagi para pembaca, serta pesan-pesan yang disampaikannya menjadi amal jariyah bagi kebaikan dan proses pendewasaan pembaca. Untuk itu, jangan hanya dijadikan koleksi pribadi yang tercatat di buku diary, tetapi kirimkan ke media agar dibaca oleh sebanyak-banyak pembaca.

Saya bersyukur, bahwa masih ada orang yang sanggup mengapresiasi seraya menyatakan “luar biasa” terhadap cerpen-cerpen saya di media daring. Tetapi, saya juga perlu mengucap terimakasih kepada yang mengkritik dan menjelek-jelekan karya saya, karena seringkali orang itu memberi solusi yang menjadi masukan, hingga terpacu untuk menulis karya terbaik dari sebelumnya. Bagaimana pun, insting setiap penulis yang memandang ceritanya pantas untuk disampaikan ke publik, sangat berhubungan dengan insting yang mengatakan bahwa cerita tersebut punya potensi untuk menjadi amal kebaikan, yang sangat berharga bagi kebangkitan peradaban umat.

Di era milenial ini, berpacu dengan melejitnya kecerdasan intelektual, semakin banyak bermunculan karya-karya anak muda Indonesia yang menyebut dirinya “prosaik milenial” atau “sastrawan milenial”. Memang tidak ada patokan usia tertentu bagi penulis untuk menghasilkan karya terbaiknya. Saya pikir, tak perlu menunggu patokan usia 40 agar dapat menulis secara baik dan bijaksana.

Kedewasaan seseorang tak memerlukan ketentuan umur, sebab tak jarang ditemukan orang-orang tua yang jiwanya tetap kekanak-kanakan, seperti tergambar dalam cerpen, “Kehormatan Seorang Sastrawan” (espos.id) atau “Pertemuan dengan Seorang Pujangga” (radarntt.net). Nampaknya, ada juga penulis paruh baya yang berusaha menengahi kedua antitesis itu, lalu membalasnya melalui tulisan tentang sastrawan tua yang memiliki karomah, dalam cerpen berjudul, “Kabar Kematian Seorang Pujangga” (litera.co.id).

Boleh jadi, untuk beberapa penulis, patokan umur masih dianggap penting, tetapi saat ini, betapa banyak anak muda milenial telah melahirkan karya-karya genuine, hingga membuat kita merasa takjub, geleng kepala, bahkan kadang membuat saya tak merasakan air mata tahu-tahu sudah berlinang dan menetes di kedua pipi saya. ***

Chudori Sukra, Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), penulis esai dan prosa di berbagai media nasional, di antaranya Kompas, Republika,KoranTempo, dan lain-lain.

Artikel ini telah dibaca 104 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Q&A: SitebaBerpuisi

23 October 2025 - 03:01 WIB

(Istimewa) Arsip SitebaBerpuisi

MGMP PAI SMK Padang Pariaman Gelar Pertemuan Perdana setelah Tengah Semester

8 October 2025 - 17:56 WIB

Dokumentasi: Agusrizal S.Ag, MA

Memantek Minangkabau (*)

5 October 2025 - 17:56 WIB

Basuki Abdullah, Coastel Scene in Sumatra via WikiArt.org

KOSMOLOGI CARUIK

13 September 2025 - 18:51 WIB

Frida Kahlo, The Wounded Deer, 1946 via Wikiart.org

Datang dan Pulang Sendirian

31 August 2025 - 03:55 WIB

(Sedih…) Hari Terakhir Pekan Nan Tumpah 2025

30 August 2025 - 15:33 WIB

Trending di Budaya