Sebagian sastrawan yang menilai pentingnya fiksi-fiksi kapital dan liberal, dikarenakan fungsinya yang masih dianggap valid dalam menjaga stabilitas dan keamanan global. Terutama, jika mereka tengah menghadapi momentum yang tepat, ketika serangan fanatisme agama dinilai jauh lebih membahayakan ketimbang efek budaya liberal yang dipropagandakan.
Dengan kokohnya penjagaan sistem dan bertahannya rezim liberal, mereka berupaya untuk terus membelanya, tanpa merasa perlu menyensor diri, dengan dalih demi mengamankan kebebasan berpendapat. Untuk itu, sampai saat ini masih dalam kerangka perdebatan, apakah sastra kapital itu memberi keleluasaan bagi pemikiran kritis yang dianggap merongrong kewibawaan dan stabilitas negara?
Itulah yang membuat saya memilih untuk berdebat atau berdiksusi secara terbuka, khususnya perihal kemunculan novel “Pikiran Orang Indonesia” yang ditulis oleh seorang sarjana filsafat tersebut. Secara implisit, novel itu menyatakan adanya keuntungan dari iklim liberalisme ketimbang ideologi lainnya, karena sifatnya yang lentur dan fleksibel. Berbeda dengan fasisme maupun fanatisme agama apapun yang cenderung dogmatis.
Barangkali Prabowo sebagaimana Jokowi pendahulunya, akan terus berupaya memosisikan diri selaku “penengah”, meskipun ia tidak terang-terangan mengacu pada liberalisme. Namun setidaknya, ia dapat membanggakan diri sebagai penyelamat dari krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini, sejak fanatisme DI/TII, pemimpin PKI yang (menurut Soekarno) keblinger, juga otoritarianisme Orde Baru. Bagi Prabowo, orde yang liberal masih dimungkinkan berfungsi sebagai “orde demokrasi” yang mengizinkan orang-orang untuk mempertanyakan, bahkan kepada fondasinya sendiri dengan risiko apapun yang harus dihadapi.
Sastra Kapital
Dalam skala global, yang ditunjang oleh ribuan karya-karya sastra kapital di Eropa-Amerika pasca abad pertengahan, kemudian memasuki era perang dunia pertama, fasisme NAZI tahun 1930-an, lalu tantangan komunisme di era tahun 1950 hingga 1970-an. Itulah era di mana para penulis dan cendekiawan dunia dan Indonesia, masih menyandarkan diri pada ingatan kolektif, sebagaimana digambarkan oleh film dokumenter yang meraih Piala Citra (2024), kemudian menggabungkan peristiwanya dengan novel Pulang (Leila Chudori), terasa adanya kegentingan dan kepanikan bangsa Indonesia di era tahun 1965 dan beberapa tahun sesudahnya. Pertarungan ideologi yang sengit ketika republik baru seumur jagung, dan sedang sibuk mencari format ideal untuk identitas kebangsaan, tiba-tiba Amerika dan negeri-negeri industri justru mendukung ambisi penguasa lokal dari kalangan militer (Angkatan Darat).
Di tahun 1968, di tengah tarik-menariknya kekuatan politik dalam era perang dingin, demokrasi liberal terlihat seperti spesies yang terancam. Hal itu terlihat jelas melalui guncangan huru-hara politik, tarik-menariknya kekuatan ideologi dunia, hingga serangan kaum teroris di berbagai negeri. Ketika kerusuhan Washington berlangsung, kemudian menyusul terbunuhnya Martin Luther King, kondisi di negeri kita bukanlah dalam posisi baik-baik saja. Akan tetapi, bila kita mencermati film peraih nominasi Oscar, The Act of Killing (2012), akhirnya bisa kita sandingkan dengan kenyataan sejarah dalam 32 tahun kebisuan dan kesenyapan di negeri ini. Mereka yang hanya menjabat selaku tokoh hingga anggota partai, termasuk ormas kewanitaan telah difitnah secara masif, dan ribuan orang tewas dalam jeruji besi maupun pembuangan di Pulau Buru.
“Mereka adalah saudara-saudara kita, sebangsa dan setanah air, yang jasa-jasa besarnya sebagai bapak bangsa, telah ditenggelamkan dalam percaturan sejarah politik Indonesia,” demikian tegas Lola Amaria, sang sutradara film Eksil.
Sastra Biografis
Pada prinsipnya, liberalisme dibangun berdasarkan kepercayaan pada kebebasan manusia. Tapi bukan sepesies makhluk seperti tikus dan jangkrik yang diisyaratkan punya kehendak sebebas-bebasnya. Dalam sejarahnya, terlihat jelas bahwa kehendak bebas manusia bukanlah kenyataan ilmiah. Ia hanyalah jadi-jadian, laiknya mitos yang diwariskan dari teologi Kristiani, maupun akibat dari otoritarianisme raja-raja Hindu-Budha di wilayah Nusantara.
Karya sastra yang mendasarkan diri pada semangat monoteisme, akan mencapai ending di mana pembaca akan memahami rahasia keadilan Tuhan. Ia bukan merupakan anti-tesis dari konservatifitas agama, melainkan upaya pencarian jati-diri manusia, hingga mencapai tingkat spiritualitas yang tinggi. Misalnya, dalam karya-karya ketuhanan Leo Tolstoy, Solzhenitsyn, Elie Wiesel, hingga Taha Husein. Mereka mencari sintesis pada upaya pencarian kebenaran melalui jalur sastra yang dipadukan dengan religiositas (baik dari Islam, Kristen maupun Yahudi).
Dalam cerpen saya di Koran Tempo, “Jimat dari Mayor Gibran” (10 Maret 2024), seakan tergambar perihal kewenangan Tuhan dalam menghukum pendosa lantaran pilihan pada kebebasan kehendaknya. Pilihan untuk tunduk di jalan kesesatan, pada waktunya membuat sang tokoh terperosok ke dalam lubang yang semula telah ia gali sendiri. Di sisi lain, disampaikan pula dakwah universal bahwa Tuhan akan mengganjar dan memberi kebaikan bagi mereka yang memilih jalan hidup dalam kebaikan dan kesalehan.
Pada prinsipnya, efek dari perbuatan baik, tidak akan menyasar kepada tokoh-tokoh lain, melainkan pasti akan kembali kepada sang pelaku kebaikan itu sendiri. Nampak berbeda dengan genre sastra realisme gaya Iwan Simatupang, Sutan Takdir Alisjahbana hingga generasi Eka Kurniawan, A.S. Laksana dan Ayu Utami, yang masih tetap mengacu dari eksistensialisme Barat, seakan tak mau membebaskan pilihan pada tokoh-tokoh yang merefleksikan kehendak bebas dari jiwa abadi manusia yang dimerdekakan.
Dalam Pikiran Orang Indonesia, juga secara eksplisit digambarkan bahwa setiap manusia punya kehendak, meskipun tidak sepenuhnya bebas. Aris dan Arif adalah dua tipikal dari penokohan yang tidak dapat memutuskan hasrat yang harus mereka pilih sepenuhnya. Pada prinsipnya, mereka tak mampu menjatuhkan pilihan untuk menjadi pribadi yang introvert ataukah ekstrovert. Aris tak menghendaki adanya kecemasan, tetapi sistem memperjalankan dia dalam situasi kecemasan, hingga delusi paraonia dan skizofrenia (baca kompas.id: “Memahami Skizofrenia dari Karya Sastra”).
Manusia mampu membuat pilihan, tetapi pilihan itu toh tidak pernah independen. Setiap pilihan bergantung pada sekelumit kondisi biologis, sosial, dan personal, yang tidak dapat ia tentukan sendiri sepenuhnya.
Melaui tokoh Aris dan Arif, sang penulis seakan membiarkan para tokoh memilih apa yang harus mereka makan, pada jurusan apa melanjutkan pendidikan, bahkan siapa yang mereka nikahi. Akan tetapi, pilihan-pilihan itu tetap ditentukan oleh situasi kondisi yang tak lepas dari faktor genesis, keluarga, biokimia, jender hingga latar belakang kesukuan, kebangsaan dan keagamaan.
Dalam corak penulisan sastra di abad-abad pertengahan, banyak hal-hal tersebut dianggap abstrak, tetapi saat ini (terutama melalui perkembangan sains dan teknologi), fenomena tersebut dapat dengan mudah kita pahami. Coba saja Anda perhatikan, siapa itu penulis novel Pikiran Orang Indonesia? Dari mana asalnya? Kuliah di jurusan apa? Dan siapakah orang-orang yang pernah dia hubungi di masa lalunya? Semuanya itu, tak lepas dari cerminan karakteristik para tokoh yang ditampilkan, yang tiba-tiba keluar melalui alam bawah sadarnya.
Tentu saja perasaan dan pikiran independen Hafis Azhari, juga amat menentukan, tetapi ia hanya punya kendali kecil dari pergerakan alam bawah sadarnya. Ia takkan sanggup menulis karya sastra yang berkaitan dengan mitos-mitos orang Bali seperti Putu Fajar Arcana. Ia juga akan kesulitan untuk mengungkap relung-relung terdalam dari mitologi ajaran Kejawen, karena di masa lalunya, Hafis tergenangi oleh nafas monoteisme Islam yang berkembang di ranah Banten.
Bahkan, dikarenakan ia lahir di lingkungan keluarga saudagar NU, maka narasi-narasi yang disuguhkannya, juga karakter dan dialek yang dipakainya, tak lepas dari dialek Jakarta sebagai pusat ibukota, di mana jalur perdagangan, iklim politik, hingga kebudayaan liberal telah bercokol selama beberapa dekade di wilayah itu. [*]
Chudori Sukra, Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), penulis esai dan prosa di berbagai media nasional, di antaranya Kompas, Republika,KoranTempo, dan lain-lain.












