Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Budaya · 20 May 2025 23:35 WIB ·

Tantangan yang Dihadapi Penulis Milenial


 Woman writing - Edouard Manet, Woman writing via Wikiart.org
Perbesar

Woman writing - Edouard Manet, Woman writing via Wikiart.org

Kadang saya dikunjungi penulis-penulis muda yang minta karya-karyanya dikoreksi, baik pelajar SMU maupun mahasiswa. Mereka meminta saya agar mengkritisi atau mengapresiasi karya-karya mereka. Saya nyatakan pada mereka, walaupun saya kadang menulis kritik sastra untuk media cetak maupun online, tetapi bagi saya, pekerjaan mengkritik sastra (seni) adalah suatu apresiasi yang bersifat dangkal dan instan. Sebab, karya sastra adalah cermin atau tafsir sang penulis tentang kehidupan, sementara memaknai kehidupan itu sendiri kompleks dan bukan perkara mudah.

Sebagaimana sulitnya menjelaskan hal-hal esensial dalam kehidupan kita yang memiliki keragaman dan keunikan tersendiri, memaknai karya sastra pun sama sulitnya. Secara pribadi, saya sering menjumpai karya-karya sastra milenial yang misterius, sulit terjamah oleh akal pikiran, karena merupakan pengalaman hidup yang dialami orang lain, berikut term-term yang dikuasai penulisnya, hingga perlu beberapa kali membuka literatur untuk memaknai berbagai istilah yang tertuang di dalamnya.

Sebagian muda-mudi itu bertanya, apakah karya-karya mereka bagus? Tentu pertanyaan serupa pernah mereka lontarkan kepada teman sejawat, atau yang memiliki kekerabatan dalam soal kesukaan mereka di bidang sastra. Di antara mereka ada yang merasa jengkel, karena berkali-kali membandingkan kualitas cerpennya dengan karya para penulis yang tayang di media cetak maupun online, lalu merasa bahwa karya miliknya jauh lebih bagus ketimbang puisi atau cerpen yang telah ditayangkan.

Saya kira, kejengkelan itu tak perlu berlarut-larut, karena akan mengganggu kinerja dan keikhlasan dalam berkreasi. Untuk itu, perlu melihat ke dalam diri, apa motif utamanya menjadi penulis, karena memang tidak ada kriteria wejangan atau nasehat yang memadai hingga seseorang layak menjadi penulis yang baik. Saya hanya menyarankan agar mereka berani bertanya pada diri sendiri, buat apa menulis? Apakah sudah tertanam kesungguhan dalam diri Anda, lebih baik saya mati daripada dipaksa untuk berhenti menulis?

Dibutuhkan kedalaman dan kedewasaan bagi seorang penulis untuk menguasai sebuah tulisan dengan baik. Betapa banyak penulis yang karya-karya besarnya telah lahir dari jeruji sel yang luasnya hanya 3×4 meter saja. Mereka dikekang oleh empat tembok tebal, tetapi mereka punya banyak kenangan tentang masa kecil, berikut lika-liku memori yang indah dan menarik. Untuk itu, melihat ke dalam diri, menyerap semua sensor yang ada di masa lalu, maka kenangan-kenangan itu akan hadir dengan sendirinya.

Tak usah menuntut saya untuk menyatakan apakah karya Anda bagus atau tidak, juga tak perlu memusingkan pekerjaan editor media cetak maupun daring, yang masing-masing memiliki kriteria dan ukuran dalam soal baik dan buruknya suatu karya tulis. Karena yang terpenting, Anda dapat menemukan jati diri, sebuah fragmen, atau suara dari kedalaman hati dan pikiran tentang hakikat diri Anda. Para editor akan menganggap bagus tulisan Anda berdasarkan kebutuhan pribadinya atau perusahaan tempatnya mengabdi. Sebagus apapun tulisan Anda, tetap mereka akan berusaha menghakimi karya-karya Anda.

Karena itu, merasa sulit bagi saya untuk menasehati para muda-mudi yang bertandang di kediaman saya, karena karya-karya mereka memiliki keunikan dan kekhasannya tersendiri. Tetapi, yang terpenting dari semuanya itu adalah upaya pengembangan bakat secara independen, tanpa banyak campur tangan dari pihak lain.

Jangan terlalu banyak berharap dari mentor atau penulis terkenal, termasuk kritikan dari saya. Carilah momentum yang tepat, yang sunyi, di mana Anda bisa berpikir lapang dan jernih. Secara pribadi, saya merasa senang ketika mereka banyak mengulik kebesaran karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Dan saya merasa bersyukur karena pernah diberi kepercayaan oleh Pramoedya untuk menuliskan buah pikirannya berdasarkan oral history, terutama untuk penulisan buku Liber Amicorum 100 Tahun Bung Karno. Saya bersyukur telah ditakdirkan Tuhan untuk banyak mengenal beliau dalam fase kehidupan saya, sebagaimana saya juga sering menjenguk sastrawan H.B. Jassin maupun Y.B. Mangunwijaya di masa-masa senjanya.

Seandainya mereka masih hidup, saya akan menyarankan para penulis muda itu untuk mengunjungi mereka ketimbang belajar dari saya yang masih bau kencur. Saya memandangi raut-raut wajah mereka di usia pasca 70-an yang merasa kesepian dalam kesendirian. Selalu saja mereka menampakkan rasa senangnya jika saya bertandang dan menanyakan perihal perkembangan sastra. Ketika pertama kali saya menemui Romo Mangun di era Orde Baru, lalu saya nyatakan kesukaan saya pada buku dan tulisan-tulisannya di harian Kompas, justru dia menjawab dengan rendah-hati: “Untung masih ada yang mau baca.” Pengalaman yang sama ketika saya mengunjungi Pramoedya di tempat tetirahnya di Bojong Gede, Bogor, beliau pun menatap saya seakan terheran-heran, “Tumben saya didatangi penulis muda dari dalam negeri,” selorohnya.

“Kok tumben, Pak Pram?” tanya saya heran.

“Karena, yang sering berkunjung ke rumah saya, biasanya tamu-tamu dari NGO, akademisi, sejarawan maupun peneliti sastra dari luar negeri.”

“Kenapa bisa begitu?” pancing saya lagi.

“Karena mereka mengompori anak-anak muda Indonesia, seakan-akan rumah saya adalah rumah hantu.”

Dan saya paham, apa yang dimaksud dengan “mereka” itu tak lain adalah para elit politik dan penguasa militerisme Orde Baru.

Namun demikian, untuk menghargai para penulis muda saat ini, saya berusaha membaca dan mencermati karya-karya mereka dengan hati-hati. Kadang saya menyarankan agar mereka pandai menempatkan diri dalam imajinasi pembaca Indonesia yang super kompleks. Bukan hanya beragam suku, bahasa, agama dan kepercayaan, tetapi juga lintas generasi. Oleh karena itu, jangan fokus hanya pada hal-hal kecil yang menyentuh hatimu, karena dengan begitu tak ada aset yang akan dijual kecuali rasa dengki dan dendam kesumat pribadimu.

Untuk menjadi penulis yang baik, diperlukan pengorbanan dan sikap rendah-hati. Profesi ini mengharuskan pelakunya untuk bekerja keras, sebagaimana Ernest Hemingway membandingkannya dengan bertempur di medan perang. Memang tak banyak yang perlu dijabarkan untuk menyampaikan saran atau nasehat kepada para penulis muda, kecuali saya sangat menghargai usaha dan keberanian mereka telah berani memutuskan sebagai penulis di suatu negeri di mana kaum intelektual sangat minim penghargaan, baik dari masyarakat maupun pemerintahnya. Bagi saya, kesanggupan dan kegigihan mereka untuk mencari alamat dan mengunjungi saya adalah bagian dari anugerah Tuhan yang patut disyukuri.

Secara pribadi, saya tak punya kriteria khusus mengenai karya sastra yang layak dipublikasikan. Dalam novel Perasaan Orang Banten, banyak kejadian yang dialami tokoh-tokohnya, berdasarkan pilihan-pilihan hidup berikut konsekuensi logis mengenai baik dan buruknya perbuatan yang telah mereka lakukan. Pada setiap cerita, terkandung dialog-dialog jenaka dengan khas dialek ibukota (Jakarta), yang dulu dikenal sebagai bahasa “Melayu Pasar”. Sementara, kaum intelektual kota, termasuk para bapak bangsa (Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan lain-lain) lebih mengacu pada bahasa “Melayu Tinggi”.

Mereka telah memberi teladan berliterasi, baik berupa ucapan maupun tulisan, dan telah berhasil menyuguhkan mekanisme penuturan yang kuat, serta penggunaan bahasa figuratif yang menolak kedangkalan, hingga sanggup menghadirkan daya seni tinggi.

Akhir-akhir ini, banyak penulis muda yang lebih fokus untuk menulis cerita pendek ketimbang novel. Tidak sedikit yang mengacu pada karya Chekhov, Maupassant, hingga Tolstoy. Barangkali karena berkejaran atau tuntutan percepatan waktu, membaca novel dianggap memerlukan tempo yang panjang. Meskipun, ada beberapa penulis hebat Amerika telah mengawali karirnya dengan menulis cerpen, seperti Jhumpa Lahiri atau Junot Diaz. Sastrawan besar lainnya yang terus menggeluti karirnya di dunia cerpen adalah Mavis Gallant dan Raymond Carver. Bahkan, Alice Munro berhasil meraih nobel di bidang kesusastraan, walaupun hanya berkiprah di dunia cerpen. Adakalanya cerpen dianggap sebagai format yang sangat menantang dan menuntut penulisnya agar mengerjakan karya-karyanya secara sempurna.

Cukup banyak waktu dan tenaga untuk mengamati dan mencermati karya-karya sastra milenial dari para penulis muda. Namun, saya senang telah banyak menemukan bakat-bakat luar biasa dari nama-nama yang sebelumnya tak pernah kita dengar. Inilah konsekuensi dari melejitnya daya pikir anak-anak milenial, yang tak boleh dianggap remeh oleh para generasi tua yang cenderung moderat.

Karena itu, kuatkan kesabaran kalian dalam berkreasi. Hadapilah kritikan dengan hati lapang dan legawa. Tak usah diambil hati. Kalian harus ingat bahwa media cetak maupun online telah menerima banyak karya tulis setiap hari (baik esai, puisi, maupun prosa) hingga membuat para editornya merasa kewalahan. Banyak karya-karya bagus yang memenuhi kriteria untuk dipublikasikan, tetapi terpaksa ditolak karena mereka tak punya ruang cukup untuk menampilkannya. Selamat berkarya. (*)

 

Hafiz Azhari, Peneliti historical memory Indonesia, pengarang novel Pikiran Orang Indonesia dan Jenderal Tua dan Kucing Belang.

 

Artikel ini telah dibaca 72 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Q&A: SitebaBerpuisi

23 October 2025 - 03:01 WIB

(Istimewa) Arsip SitebaBerpuisi

MGMP PAI SMK Padang Pariaman Gelar Pertemuan Perdana setelah Tengah Semester

8 October 2025 - 17:56 WIB

Dokumentasi: Agusrizal S.Ag, MA

Memantek Minangkabau (*)

5 October 2025 - 17:56 WIB

Basuki Abdullah, Coastel Scene in Sumatra via WikiArt.org

KOSMOLOGI CARUIK

13 September 2025 - 18:51 WIB

Frida Kahlo, The Wounded Deer, 1946 via Wikiart.org

Datang dan Pulang Sendirian

31 August 2025 - 03:55 WIB

(Sedih…) Hari Terakhir Pekan Nan Tumpah 2025

30 August 2025 - 15:33 WIB

Trending di Budaya