Lika-liku sejarah kejatuhan pemerintah Orde Baru yang dituangkan dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, tak mengenal tenggat waktu, jadwal maupun pesanan. Tetapi, revisi sejarah yang diprogramkan pemerintah saat ini, dalam menyambut peringatan kemerdekaan RI yang ke-80, nampaknya telah dirancang oleh suatu tim, bagaikan proyek infrastruktur yang harus selesai dalam kurun waktu tertentu.
Padahal, sejarah hanya boleh tunduk pada kebenaran, dibuka seluas-luasnya, didengar setiap suara yang bicara, bahkan diakui semua luka-luka yang dialami di masa lalu. Sebagaimana setiap luka yang disampaikan dalam novel Pikiran Orang Indonesia (POI), bahwa bangsa besar bukanlah bangsa yang bersih dari kesalahan, tetapi yang berani mengakui kesalahan itu, hingga memberi hikmah dan pelajaran agar menjadi arif dan rendah-hati.
Digambarkan pula dalam novel Sekuntum Nozoma 3 (Marga T), bahwa sejak era penggulingan Presiden Soekarno (1965), hingga berganti-ganti presiden berikutnya setelah lengsernya penguasa Orde Baru (1998), republik ini tidak dibangun oleh satu rezim, tokoh maupun satu partai politik tertentu. Akan tetapi, tumbuh dari beragam konflik, silang pendapat, bahkan darah dan air mata. Untuk itu, apakah wajar sejarah ditulis ulang, tetapi diniatkan untuk sekadar glorifikasi.
Lalu, untuk siapa sejarah itu ditulis, kalau bukan untuk segenap rakyat yang meliputi kalangan sejarawan, ilmuwan, akademisi, budayawan, hingga semua cendekiawan negeri ini? Jika memang diakui, bahwa sejarah itu ditulis untuk generasi mendatang, bukankah yang harus diutamakan adalah kejujuran, keadilan, hingga sejarah bangsa ini dapat menjadi ilmu dan cahaya kebenaran?
Revisi sejarah
Bagaimana mungkin sejarah direvisi laiknya undang-undang yang disusun untuk memenuhi hasrat politik. Padahal, sejarah sejatinya adalah suara dari masa lalu, dan suara itu tidak boleh dibungkam. Tentu saja bangsa ini hanya butuh sejarah yang benar dan jujur, bukan sejarah baru yang direvisi ulang. Dan sejarah yang jujur hanya lahir dari keberanian perjuangan dan pengorbanan rakyatnya. Bukan dari orang-orang yang menginduk pada iklim politik kekuasaan tertentu.
Sebagaimana tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam novel POI, ia tidak membangun panggung sejarahnya sendiri. Meski menampilkan banyak pahlawan negerinya, tetapi sebagian pahlawan masih terus bergulir dan berproses menemukan jati dirinya. Ia mencerminkan tokoh pahlawan yang ditampilkan, membungkam suara para pengkhianat, namun esensi sejarah tetap valid dan layak dipertanggungjawabkan.
Tapi ironisnya, beberapa waktu lalu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon justru menyatakan akan menulis ulang sejarah nasional. Ia menampilkan ratusan sejarawan dan nama besar dalam daftar kurator, serta ingin menampilkan era SBY dan Jokowi ke dalam catatan sejarah. Seakan sejarah identik dengan kekuasaan yang dapat disusun ulang seperti pidato kampanye politik. Padahal, selama beberapa dekade lalu, pemikiran manusia Indonesia telah didominasi oleh sejarah versi militerisme Orde Baru.
Dalam catatan buku sejarah, perspektif tunggal itu disusupkan ke dalam pikiran dan imajinasi bangsa ini. Seakan sosok-sosok pahlawan adalah mereka yang setia pada negara, sementara lawannya adalah partai politik yang dihinakan (PKI). Tak ada ruang untuk wacana alternatif. Gerwani hanya muncul sebagai simbol kekejaman. Soekarno selaku bapak bangsa, dibingkai sebagai tokoh dengan akhir yang sunyi.
Sementara, Soeharto dianggap sebagai bapak pembangunan dan simbol kemakmuran dan kesejahteraan. Lalu, para kroni dan abdi-abdinya yang makmur dan sejahtera, tersenyum nyinyir sambil menempelkan stiker-stiker di mobil mewah mereka: “Piye, enak jamanku, toh?”
Kebenaran sejarah
Seiring berjalannya waktu, narasi-narasi bentukan penguasa itu dilawan oleh berbagai literatur yang membebaskan, termasuk novel-novel karya S. Mara Gd (Air Mata Saudaraku), Dyah Prameswarie (Dua Masa di Mata Fe), Naning Pranoto (Ketika Arwah Berkisah), hingga Hafis Azhari (Pikiran Orang Indonesia). Era reformasi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, telah melahirkan kebebasan berekspresi yang patut disyukuri. Buku-buku sejarah alternatif bermunculan. Nama-nama yang dulu dilarang tampil, mulai dibicarakan. Para pengkhianat bangsa, semakin lama semakin sulit mendapat pengakuan publik. Biarpun tidak secara frontal dihapus dan ditiadakan, namun pelan-pelan mereka meredup dan hilang dari memori dan percaturan sejarah.
Tetapi saat ini, ketika sejarah kita belum benar-benar plural, muncul lagi ingatan kelam masa lalu, seakan-akan sejarah masih tergantung pada siapa yang berkuasa, serta bagaimana kekuasaan terobsesi membangun ingatan kolektif tersendiri. Kini, di bawah slogan penulisan ulang, negara seakan hadir sebagai penentu narasi. Dengan alasan bahwa sejarah hendak dibingkai agar lebih lengkap dan mutakhir. Tetapi masalahnya, lengkap menurut siapa, dan mutakhir bagi siapa?
Dalam novel Pikiran Orang Indonesia digambarkan tentang peran kekuasaan yang terlalu besar dalam penyusunan sejarah. Sehingga, sejarah dapat menjelma sebagai legenda laiknya Malin Kundang atau Sangkuriang. Naskah-naskah penataran P4 dikemas sebagai kitab suci. Di tangan Orde Baru, sejarah ditulis ulang, hingga menyulap fiksi menjadi fakta, lalu dikemas lagi sebagai propaganda politik yang membenarkan kekuasaan.
Dengan perspektif tunggal yang menjadi doktrin sakral, sejarah juga dijadikan cerita angker yang menakutkan, bukan lagi menampilkan tokoh-tokoh pahlawan yang layak menjadi panutan keteladanan. Karena itu, jika saat ini kekuasaan tampil lagi menjadi pemilik pena sejarah, kita berisiko mengulangi siklus yang sama. Apalagi jika tokoh-tokoh kontemporer seperti presiden tidak lagi dikritisi, melainkan hanya dikultuskan dan dikanonisasi.
Padahal, sejarah yang sehat hanya dapat lahir dari jarak, baik jarak dari kekuasaan maupun jarak dari emosi dan kedengkian. Begitu pun narasi tokoh utama dalam novel Pikiran Orang Indonesia (hal. 12): “Begitu banyak pertanyaan yang kelak dunia filsafat membekali saya dengan jawaban yang pas dan jitu, paling sedikit meleburkan saya pada kenangan akan makna-makna kejadian hingga membuatnya jernih dan jelas, lantas mengkajinya dalam situasi di mana saya berupaya memberi jarak dari semuanya itu.”
Bagaimana pun, sejarah Indonesia harus lahir dari refleksi pikiran merdeka oleh figur-figur independen, dan bukan menjadi alat legitimasi kekuasaan. Para sejarawan dan budayawan yang baik harus sanggup menjaga diri dari euforia politik, dari tuntutan popularitas, bahkan dari tekanan negara. Mereka harus sanggup menulis bukan untuk menyenangkan para penguasa, tetapi untuk menjelaskan kebenaran. (*)
Ahmad Rafiuddin, pengasuh pondok pesantren Tebuireng 09, Lebak, Banten, juga penulis esai dan untuk Tribunnews.com, Islampos.com, Radar Jember, Tangsel Pos, Radar NTT, Kabar Banten dan lain-lain.












