Kalau kau dengar suara klakson motor dua kali dari gang sempit jam sepuluh malam, itu bukan tukang sayur lagi nyasar, bukan juga ojek online salah alamat. Tapi itu dia: Tukang Seblak Malam, makhluk urban mitologi yang hanya muncul ketika lapar, hati, dan hidup sedang sama-sama kosong.
Namanya Ujang. Tapi dia lebih suka dipanggil Bang Jang karena katanya, “Ujang itu nama anak kecil, sedangkan aku udah trauma dua kali.”
Aku ketemu Bang Jang pertama kali ketika langit sedang menangis dan ditemani oleh malam. Aku berdiri di depan rumah dengan perasaan hampa, menunggu mantan yang katanya lagi otw padahal tiga minggu kemudian aku tahu dia udah punya yang baru di saat kami belum memutuskan hubungan. Di sanalah suara klakson itu muncul. Dua kali. Pelan, tapi penuh wibawa.
Aku berjalan menuju motor itu, dengan perasaan ragu. Siapa tau itu gerobak hantu.
“Seblak, Bang?” tanyaku, basa-basi.
“Bukan seblak. Ini terapi emosi yang bisa dimakan,” jawabnya.
Aku langsung terpesona dan jatuh cinta dengan jawabannya.
Dan di sinilah aku. Di samping motornya sambil melihat-lihat ke dalam gerobaknya yang berukuran tak besar, “Pedasnya level berapa, Bang?”
Bang Jang bukan tukang seblak biasa. Pertama, dia nggak punya banner. Kedua, dia bawa motor tua yang bunyinya mirip hubungan toxic: kadang nyala, kadang mogok, tapi tetap dijalani. Ketiga, dia hafal semua jenis patah hati.
“Kalau patahnya karena chat gak dibalas, level 1. Kalau karena mantan nikah duluan, level 3. Kalau karena diselingkuhi pas lagi menganggur, level 5. Dan kalau karena kamu yang salah tapi kamu pura-pura jadi korban … level spesial,” katanya, sambil ngaduk seblak pakai cara yang berbeda menurutku, seperti sedang menari di atas perihnya luka.
Aku pilih level 5.
Sambil nunggu seblak matang, Bang Jang cerita.
Dulu dia kerja di kantor percetakan, jadi tukang layout undangan nikah. Sampai suatu hari, dia disuruh layout undangan mantan sendiri. Katanya, waktu itu dia lagi potong kertas dan hampir potong jari sendiri. “Sejak hari itu, aku sadar bahwa luka batin lebih susah disembuhkan daripada luka fisik,” ucapnya sambil menabur kerupuk warna merah khas seblak pada umunya seperti sedang menabur serpihan kenangan.
Karena itulah dia resign, jual motor bebek, dan beli gerobak kecil yang dia pasang di atas motor. “Aku enggak lagi nyari cuan. Aku nyari penumpahan emosi,” katanya.
Malam-malam selanjutnya, aku mulai rutin menunggu Bang Jang. Bukan karena lapar, tapi karena nyaman. Di kota yang semua orang sibuk di segala kondisi serta sibuk mencari validasi, Bang Jang datang tanpa banyak tanya.
Kadang dia kasih bonus: telur ceplok dan wejangan spiritual.
“Jangan tunggu orang yang enggak nyari kamu, Le. Seblak aja tahu kapan harus dimasak, kapan harus ditinggal gosong.”
Kadang dia juga mendongeng.
“Dulu, ada cewek yang selalu beli seblak jam satu pagi. Katanya karena abis nangis. Lama-lama, dia nggak nangis lagi. Tapi tetap beli. Karena katanya, luka yang udah sembuh pun tetap pengen ditemani.”
Aku nggak tahu nama cewek itu. Tapi aku rasa, semua dari kita pernah jadi dia.
Suatu malam, Bang Jang enggak lewat.
Lalu malam berikutnya, dan berikutnya lagi.
Aku mulai gelisah. Rasanya kayak ditinggal seseorang yang tidak pernah benar-benar kau miliki.
Aku coba nanya-nanya. Kata tetangga gang sebelah, Bang Jang pindah kota. Katanya ikut kakaknya buka warung kecil di Jogja. Tapi ada juga yang bilang dia udah pulang kampung karena ibunya sakit. Dan ada satu ibu tetangga yang bilang, “mungkin dia emang cuma lewat. Seperti harapan, kadang mampir, tapi gak niat tinggal.”
Aku berdiri lama malam itu, di depan rumah. Ada suara motor lewat. Tapi bukan Bang Jang. Bukan suara klakson dua kali, dan juga bukan seblak.
Sejak itu, aku jadi tahu: tidak semua yang membuatmu nyaman akan tinggal. Terkadang mereka hanya singgah, bikin hangat sebentar, lalu hilang tanpa jejak, meninggalkan rasa pedas yang muncul belakangan.
Seperti seblak, seperti Bang Jang dan seperti hidup.(*)
Salsa Maulida, berdomisili di Kab. Lampung Timur. Instagram: salsamaulidaariesta