DI RUMAH SAKIT
Setiap hari
Bunga terus berguguran di dalam hati
Waktu berdetak, semakin sakit
Seakan menikam
Mengantar pada keberangkatan
Kita seakan dipaksa pergi
Setiap pagi terlahir
Semakin dekat menuju ketakutan sesungguhnya
Aku tak ingin ibu pulang
Aku tak ingin di sini
Dalam ruangan membekap
Sedangkan waktu demi waktu
Berguguran di tanganku
Di ruangan ini
Suatu hari, aku lihat langit biru
Suasana cerah begitu bening
Bagai mata ibu di kala itu
Aku bergumam dari jendela
Yang basah oleh hujan semalam
Bertanya-tanya dengan menatap cakrawala
Betapa bahagianya orang-orang di luar sana
Menikmati cuaca sesegar apel merah
Lalu, aku tersedu diam
Aku rindu rumah, rindu segala suasana
Dalam tiga malam
Seperti bernapas di dalam air
Lalu dipaksa hidup dengan sesak
Waktu berguguran dari wajah jam yang bundar
Dinding putih gading itu menyiksa sadar
Aku tak bisa terus menangis
Juga tak bisa lagi tersenyum setipis garis
Mataku berat
Hatiku basah
Dada tenggelam
Di malam-malam panjang
Tak ada lagi mimpi
Sibuk memikirkan nasib
Apakah kami pulang dengan tawa?
Atau taburan bunga?
Riau, 10/4/2025
SEMENJAK IBU PERGI
Mula-mula setelah bunga layu di pusara
Ia tak langsung mengering
Masih ada hujan dan embun
Membuatnya basah dalam waktu
Beberapa saat
Sebelum matahari
Menerbangkannya jauh
Ke tempat berantah lalu pasrah
Benar saja, aku kira segalanya mudah
Tapi begini
Aku berjalan di sebuah jalan
Mula-mula satu batu, semakin jauh
Batu-batu membukit, lubang kian banyak
Aku tak bisa menahan letih
Kesedihan juga pada awalnya seringan daun
Jatuh di tangkai dan dihempas angin
Tapi, pada masanya ia akan merebuk
Bersama tanah dingin
Tak ada angin bisa menerpanya lagi
Setelah ibu pergi
Paling berat adalah rindu, bukan pilu
Sampai kapan pun
Usia akan terus mengandungnya
Kerinduan takkan pernah dilahirkan
Sebab id diciptakan untuk dikenang
10/4/25
BUNGA JATUH KE TANAH
Mimpiku mekar, lalu layu
Jatuh ke tanah
Terkubur dalam, hingga kelam
Di mana lagi mimpi bernapas
Ia telah dikubur dalam hati
Sejauh laut membawa ombak
Di tepi laut, sebisu batu
Aku merelakan hari-hari berlalu
Sedangkan kota bekerja
Gedung-gedung tumbuh
Seperti pohon, menambah cabang
Sebuah batu
Kian lama, akan keropos
Dihempas napas zaman
Sekali ia berembus
Satu peradaban dihempas
Kau hanya batu
Di antara reruntuhan masa
Waktumu hanya berwarna abu
Selebihnya hilang dalam usia
Seperti es di bawah matahari
Riau, 12/4/025
Riska Widiana. Berdomisili di Riau Kabupaten Indragiri Hilir. Karyanya termuat ke dalam media cetak dan online dan beberapa antologi . Juara satu dalam lomba tingkat Nasional, Peraih Anugerah Puisi Terbaik, (Negeri Kertas, 2022) dan kategori Puisi Terbaik Nasional dari Penerbit Alqalam Batang dan Salam Pedia, 2021)








