Menyambut 80 Tahun Indonesia Merdeka, Endiarto dan Bintang (Sutradara Film) bersama beberapa rekan di Perfiki Kreasindo memproduksi film yang digadang-gadang dapat memupuk Nasionalisme anak dan generasi muda dengan mengangkat film bertajuk Merah Putih One For All.
Film yang menceritakan sekelompok anak yang menjadi “Tim Merah Putih”, tim ini terdiri dari delapan anak dari latar budaya yang berbeda, Betawi, Papua, Medan, Tegal, Makassar, Manado, Jawa Tengah, dan Tionghoa yang berkumpul dalam misi menyelamatkan bendera merah putih pusaka yang hilang secara misterius. Bendera yang disimpan di gudang tiba-tiba raib. Wkwkwk.
Jelek banget film Indonesia ini, karakter tokoh yang jelek, pewarnaan yang jelek, dan segala yang jelek ditayangkan dalam film ini. Simak saja narasi yang disampaikan Valentinus Resa ditayangkan di Metro TV hampir 12 menit. Awokawok.
Apa alasan sutradara lebih memilih Tionghoa ketimbang Minang dari delapan tokoh ini tentu sutradara yang lebih tahu. Dari delapan budaya yang diwakilkan lewat delapan tokoh, hanya Medan yang mewakili Sumatra. Apakah Aceh, Melayu di Riau, Lampung yang hampir punah aksaranya, atau berbagai suku lain di Sumatra tak bisa mewakili budaya Indonesia? Tentu, riset panjang selama setahun dalam penggarapan film ini sudah memilih dan memutuskan perwakilan budaya yang mereka pakai.
Membayangkan ini, saya jadi berpikir kalau mungkin Tan Malaka, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, Rasuna Said, dan lain-lain pasti akan sedih jika sempat menonton ini. Tapi, jika ini adalah pilihan pengusung film, kita bisa apa? Ya banyak!
Kita bisa tak peduli dengan filmnya. Pasalnya, sejak trailernya tayang, film ini sudah ditonton oleh sekitar 700 ribuan orang, dan mendapatkan komentar sekitar 18.000 orang (cek Youtube Historika Film), dan benar saja, rata-rata komentar orang pada trailer tersebut menyatakan film ini tak layak tonton, jelek, dan sama sekali tak enak dilihat. Di instagram kemarin sudah ada sekitar 80ribuan orang yang memboikoy fim ini di story instagram mereka.

Merah Putih One For All
Tak hanya jelek secara visual, plot filmnya juga amat mencengangkan. Sebuah bendera merah putih hilang, Pak Lurah meminta tim untuk mencari bendera pusaka itu. Di trailer yang berdurasi dua menit itu, anak-anak mencari bendera itu ke hutan, di trailer yang sangat banyak menyebut “hati-hati” itu menayangkan delapan anak itu masuk ke hutan. What?! Cari bendera kok ke hutan!
Di hutan, diperlihatkan mereka lebih banyak jatuh ketimbang jalan dengan baik. Aduh, apa anak-anak ini tidak dibekali sepatu sehingga mereka kudu jatuh terus?
Kenapa Pak Lurah tak menyuruh anak-anak itu beli bendera baru saja? Pak Lurah harusnya juga ikut mencari bendera. Apa pula pendapat kedelapan orangtua anak jika tahu kalau anak mereka yang mereka besarkan malah cari bendera di hutan? Mana di trailer, ada ular segala!
Bendera pusaka yang dimaksud, apakah bendera yang dijahit Fatmawati, hingga harus benar dicari sebelum subuh?
Katakanlah bendera hilang, toh kan bisa beli di toko saja, Pak Lurah!
XXI mengkonfirmasi akan menayangkan film ini pada 14 Agustus 2025, tiga hari sebelum peringatan 80 tahun merdeka. Dan menurut saya, film ini sebenarnya sudah membuat kita untuk bersatu. Bersatu untuk tidak menontonnya.
Benar, bagaimana pun ini adalah karya. Meski pun Endiarto membantah tuduhan Rp.6,7 milyar dalam penggarapan film ini, meski film ini adalah semangat gotong royong, proyek thak u, ya kalau bisa jangan bikin yang jelek juga dong, Pak.
Hah? Bergotong royong bikin yang jelek! Tolol banget.
Budayakan budaya malu, Pak. Malu kan sebagian dari iman.(*)
Maulidan Rahman Siregar, penulis buku “Cara Kerja Tuhan”












