Bangkit Subuh, Bingkas
There are moments yang sunlight on still water, angin senja yang menyentuh perlahan macam when you realised we are not strangers to one another.
Kita ini cermin kepada sesama. Reflections, not always identical, but familiar in ache, in longing, in light.
ونفسِ وَمَا سَوّاهًا
“And [by] the soul and He who proportioned it…” (Surah Ash-Shams, 91:7)
God made us with echoes in our breath. The same clay, the same sky tucked behind our eyes. When I see you falter, something in me remembers my own stumbling.
When you rise, a part of me stands taller too.
Trees don’t rush each other. They grow side by side kan?
senyap, bersabar, saling teduh.
They share soil, and when the wind comes, they hold each other’s shadows.
And swans pulak they glide in stillness, together, often in pairs, but even alone, their movement carries a grace that cannot be taught.
They do not question the water beneath them.
They simply trust.
Indeed, I am with you.
Tuhan beritahu
A whisper not just for prophets, but for anyone who has ever felt adrift.
Tuhan tidak jauh. Dia ada dalam keheningan yang kita tak tahu nama.
Dalam bisik daun, dalam renung mata yang memahami walau tanpa suara.
To love one another, to forgive one another, is to recognise:
We are not separate rivers. Kita cuma air yang mengalir dalam bentuk yang berbeza.
Returning to the same ocean. To the same creator.
Di Manhattan
Rambut yang diselimuti debu kota
kian pudar, semakin banyak garis menakluki daerah pipimu
seperti peta yang dilukis tak henti oleh waktu.
malam pun menyelimuti tubuhmu,
dengan gaun malam dan raut bimbang,
tapi saya tahu, kamu masih mengasah dirimu.
masih mencuba untuk jadi sesuatu bukan untuk dunia,
tapi untuk dirimu yang kecil dan diam di dalam dada itu,
di dada yang sering kita tadahkan segalanya,
di dada yang sering kita bakar hingga habis.
“La vie est faite de petits bonheurs.”
dia told me di bangku Fort Tryon Park,
mata memandang lampu jauh di langit Manhattan.
life is made of little choices
seperti ketika dia memilih untuk melawan sunyi,
walau tak ada sesiapa pun yang benar-benar mendengar.
dia masih menconteng pada dinding-dinding yang sudah tua,
walaupun warnanya pudar dan catnya mengelupas,
setiap kali dia lupa cara menulis namanya sendiri.
saya akan menjadi tangan yang akan selalu menconteng namanya di setiap pelusuk kota ini,
agar kami tahu kau ada lah perkara yang kami butakan tanpa sengaja.
Minum Apa Pagi Ni?
Babak-babak dibikin dari wajah imaginasi,
seperti wayang kulit yang sudah hilang tok dalang.
Kita memasuki wad pembedahan,
membedah diri, membongkar silap dan sahya lama,
mohon maaf atas kelewatan,
atas detik-detik yang gugur seperti daun tua disapa angin.
Namun sang pengutip nafas,
belum gentar untuk menyudahkan baki,
nafas yang tersisa pun masih suci dalam niatnya.
Time,tempus fugit, tapi jiwa,
masih belajar berjalan atas serpih harapan.
Di antara mereka yang sehaluan pagi ini,
ada yang sudah menukar arah,
ada yang mahu segalanya berubah,
ada yang terjerat pada cahaya palsu,
tetapi masih ada yang tetap
unchanged, steadfast, in quiet love with living.
Biarkan mereka menunduk dan menjilat sesama sendiri,
biarkan mereka buta oleh dogma dan sahya yang membatu
kita tidak dilahirkan untuk menjadi hamba kepada kebutaan.
Jangan biar hati bergetas bersama.
Kita, perlu kuat. Tenang dalam kelam, tabah dalam bising.
Kerana hidup ini,
ialah darmawisata roh yang meniti antara bayang dan cahaya.
Let them grovel in gilded cages,
but we?
we are the ones who rise malgré tout.
“Non ducor, duco” I am not led, I lead.
“Apapun nak minum apa kau harini?”
“Entah aku ikut saja”.
Abu-Abu Dirimu
membakar diri pada dunia zahir,
dengan sisa yang tinggal kamu membakar dirimu,
malam-malam di jalanan,
kamu juga berfikiran,
Tentang Tuhan dan keamanan.
Apakah kamu masih kamu atau sudah luput tarikhnya?
Tidak lagi kamu mampu bersujud,
Apatah lagi kami yang sering meratah dusta dan daging yang dijamu tanpa batas,
Kamu lemah tersulut,
Dengan abu-abu dirimu,
Ditengah kota,
Tapi saya masih memandang,
Dirimu dengan cara paling mulur.
Dengan tatabahasa paling sopan.
Jamulah saya dengan abu dirimu,
Akan saya sambung kembali setiap satu akar kamu dengan ikhlas dan kasih,
Jamulah saya dengan abu-abu mu kalaupun ia tidak lagi seperti dulu,
Kamu yang tersulur, padaku gilang-gemilang,
Jamulah saya dengan abu kamu tanpa segan silu.
Ain Qistina, mahasiswi tinggal di kota Malaysia, gemar berfikir, menulis dan menghabiskan masa berdebat dengan teman terdekat. Mengagumi tulisan Salleh Ben Joned, Adania Shibli dan Mahmoud Darwish.







