Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Esai · 20 Jun 2025 03:21 WIB ·

Menyingkap Musuh-musuh Para Penulis


 WikiArt.org Perbesar

WikiArt.org

Di tengah dunia yang semakin cepat dan penuh distraksi, kebebasan bagi seorang penulis, seringkali disalahartikan sebagai kebebasan berkreasi atau berekspresi tanpa batas. Tetapi, dalam perkembangan transfomasi spiritual saat ini, orang-orang bijak di manapun sepakat bahwa makna kebebasan sejati adalah kemampuan manusia untuk berupaya mengendalikan ego dan hawa nafsunya.

Ego  dan obsesi yang berlebihan, akan mengantarkan seorang penulis buta dan abai terhadap realitas kosmik yang sedang berjalan. Ia akan terbutakan untuk mempersoalkan keadilan di dunia yang sarat kesewenangan, dan ia akan tertulikan untuk mendengar kebenaran, di saat kejahatan dan ketidakadilan masih merajalela. Untuk itu, kebebasan batin seorang penulis, ketika ia mampu menahan diri dari dorongan impulsif, godaan eksternal, dan dominasi emosi yang berlebihan.

Kebanyakan penulis dan sastrawan di era Orde Baru, tak mampu mengesampingkan ego dan hawa nafsunya. Mereka seakan sibuk mengejar kebebasan eksternal, persaingan pundi-pundi dan keuntungan, status sosial di atas mimbar, hingga tak ayal adanya pihak sastrawan yang diakui dunia dan masuk nominasi nobel untuk kesusastraan, serta-merta diserang dan dizalimi secara tidak sewajarnya.

Gerombolan penyerang itu boleh jadi tidak lebih mulia ketimbang gelandangan yang sibuk membacakan syair di jalanan agar diakui sebagai Imam Mahdi atau Nabi Khidir. Boleh jadi mereka tidak lebih terhormat ketimbang tokoh penyair yang catut sana-sini di warung kelontong Bi Siti, atau mengutil rokok semaunya di warung kopi Pak Salim, seperti yang diungkap dalam novel Perasaan Orang Banten.

Pada prinsipnya, penulis yang sukanya bergerombol, ngerumpi membicarakan orang lain, nyaris sejenis dengan elit politisi yang berpartai, tidak mampu menguasai dirinya dan tindakannya, serta gampang dijadikan budak bagi dorongan eksternal. Ia tak mau jeda dan berpikir matang sebelum mengambil keputusan; juga tak sanggup mengambil napas dalam-dalam sebelum menanggapi kritik atau konflik. Untuk itu, sangat urgen bagi seorang penulis untuk melakukan puasa emosional, atau dalam konteks saat ini, “puasa digital”. Ia harus mampu mengendalikan konsumsi media dan stimulus untuk menjaga kejernihan perasaan dan pikirannya. Ia harus sanggup mendisiplinkan diri, sebagai bentuk konkret dari ketahanan pengendalian yang berkelanjutan.

Kita masih mengingat “Prahara Budaya” dalam beberapa dekade lalu, ketika suatu gerombolan menyerang pihak penulis lain, serta tunduk pada emosi sesaat. Mereka terkooptasi oleh faktor eksternal, tak mampu menyerap respons terbaik, lalu bereaksi secara tergesa-gesa. Mereka takkan bebas dari penyesalan karena keputusan impulsif yang sesaat dan kekanak-kanakan. Padahal, lebih penting bagi seorang penulis untuk memerintah diri sendiri ketimbang tergesa-gesa untuk memvonis pihak lain yang dianggap rivalnya.

Ketika penulis Banten menelepon Pramoedya Ananta Toer (melalui anak perempuannya) lalu menanyakan kabarnya setelah masuk kembali dalam jajaran nominasi nobel, justru Pramoedya menyatakan rasa syukurnya. Meskipun, ia mengakui untuk membatasi penggunaan ponsel, menjaga waktu membaca, serta menetapkan waktu khusus untuk berpikir dalam kesunyian.

Jelas saat itu Pramoedya memang berbeda dengan kebanyakan penulis Indonesia yang menginduk sebagai anak emas Dewa Orde Baru. Baginya, kebebasan seorang penulis bukanlah soal melakukan dan menuliskan apa yang terlintas dalam ekspresi sesaat, melainkan kemampuan untuk memilih topik dan tema yang sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan dan kemanusiaan.

Ketenangan Batin

Keberpihakan penulis pada kebenaran dan keadilan bukan semata-mata anugerah yang kebetulan, tetapi ia adalah hasil dari upaya mendisiplinkan diri serta ketekunan berpikir istiqomah dan mendalam. Sehaluan dengan ketenangan batin seorang penulis, ia bukan sekadar hadiah atau produk dari keberuntungan. Tetapi sebaliknya, ketenangan adalah buah dari latihan diri yang konsisten, disiplin berpikir, dan kemampuan mengelola emosi serta respons terhadap apa pun yang terjadi di luar kendali dirinya.

Gerombolan sastrawan yang menyerang Pramoedya cenderung tenggelam dalam distraksi, notifikasi, tuntutan sosial, serta ambisi yang tak berujung. Semua itu akan mengikis ketenangan perasaan dan pikirannya, serta membawa mereka ke dalam kegelisahan yang permanen. Sedangkan, para penulis yang sanggup menemukan ketenangan batinnya, tak lain adalah mereka yang sanggup melatih diri untuk diam, fokus, dan hadir sepenuhnya dalam kehidupan yang nyata.

Mereka berdisiplin menjaga pikiran dan perasaannya dari kekacauan dan pandangan absurditas belaka. Mereka juga berdisiplin untuk menolak menulis yang bersifat sentimentil, serta dari berkata-kata yang tidak penting dan prinsipil. Mereka bahkan sanggup menciptakan ruang dalam benaknya, untuk selalu mngambil jeda dan jarak, meski dunia sedang kacau penuh konflik dan pertikaian. Demikian juga dinyatakan oleh Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia, bahwa ketenangan seorang penulis akan membuatnya mampu berpikir jernih, serta sanggup mengambil jarak dari keruwetan dan kegaduhan yang sedang berlangsung di sekitarnya. Ia selalu berpikir rasional, takkan mudah terguncang oleh situasi mendesak, bahkan situasi yang membahayakan sekalipun.

Sementara itu, banyak sastrawan di era Orde Baru, sebagaimana kediktatoran rezim, yang tak layak dijadikan teladan dan panutan. Mereka cenderung sibuk menyalahkan faktor eksternal, serta tak sanggup untuk menyeru dan melihat ke dalam diri. Mereka tak mampu menciptakan ruang jeda dan diam dalam kesehariannya. Mereka juga tak kuasa menghadapi godaan tipu-muslihat penguasa zalim, hingga tak berhasil memilih apa yang layak menjadi topik kajian, yang memang sepantasnya dijadikan bahan tulisan.

Belenggu Ego

Ketahuilah, bahwa ego yang membelenggu dan menyelubungi batin penulis dan sastrawan, kebanyakan berpangkal pda ilusi tentang popularitas yang semakin lama semakin membesar. Pada gilirannya, ia akan menutup mata dari fakta, menolak umpan balik, dan merasa tidak pernah punya kesalahan. Ketika ego mendominasi jiwa penulis, kenyataan yang pahit tidak lagi bisa diterima. Yang tersisa hanya narasi-narasi palsu yang dibangun untuk melindungi ketenaran dan harga diri. Akibatnya, benih-benih baru dari para penulis muda milenial disikat juga, karena yang ditakuti adalah urusan dapur yang tidak ngebul. Padahal, dalam batinnya paham belaka, bahwa rizki itu datangnya dari Tuhan.

Tipikal penulis semacam itu niscaya akan menolak fakta bahwa setiap manusia bisa salah, gagal, atau tidak sehebat yang dia kira. Akibatnya, dia mengabaikan data, kritik, atau saran yang sebenarnya sangat berguna bagi pertumbuhan dirinya, serta otentisitas karya-karyanya. Mereka seakan hidup dalam gelembung yang indah sesaat, tetapi sebenarnya rapuh banget. Jika diibaratkan ego dan keangkuhan sebagai tirai, mereka membiarkan tirai tebal itu menggantung di depan matanya. Menurut Hafis Azhari, semakin tebal tirainya, semakin jauh seorang penulis dari upaya membela dan menegakkan prinsip kebenaran dan keadilan.
Padahal, suatu bangsa yang mampu melihat kenyataan apa adanya, termasuk kelemahannya sendiri, justru akan lebih siap beradaptasi, belajar, dan berkembang pesat. Bangsa Jerman dan Jepang menjadi besar, karena mau membuka sejarah kelam masa lalunya, sebagai bagian dari mata rantai hari ini dan mendatang.

Sedangkan, bangsa yang terjebak dalam ego akan terus menyalahkan pihak lain, menyangkal tanggung jawab, lambat laun akan terpuruk oleh narasi palsu dan ilusi yang dibangun oleh dirinya sendiri. Narasi palsu itu tak ubahnya dengan sosok tentara yang iseng menggali-gali lubang sumur, lalu berfantasi mengenai binatang buas, lalu dia menamakan lubang itu sebagai “buaya”, sampai pada akhirnya dia sendiri terperosok lantaran lupa dengan lubang yang pernah ia gali sendiri.

Betapa banyak pemimpin di dunia ini, tak terkecuali para seniman dan sastrawan, yang terlena dan terbuai oleh pujian, kemudian menjadi gagal berkembang karena merasa diri sudah tahu segalanya. Semuanya itu bukan karena kekurangan bakat dan talenta, tetapi karena ego telah menutup mata batinnya, hingga membuat mereka kehilangan objektivitasnya.

Rendah Hati

Saat ini, media sosial menjadi panggung bagi ekspresi diri yang ekstrem, lalu pencapaian dirayakan secara berlebihan, sementara kelemahan dan kekurangan diri justru disembunyikan. Waspadalah terhadap ego yang menyamar sebagai ambisi atau kepercayaan diri, hingga menutup diri untuk bersikap tawadu dan rendah-hati.

Untuk itu, Hafis Azhari memberi saran kepada para penulis muda milenial, baik di pesantren-pesantren maupun kampus perguruan tinggi, agar mereka dapat berkarya untuk menyatakan kebenaran, bukan untuk membenarkan kenyataan, hingga cenderung menipu diri. Ia juga mendorong pemimpin dan pemuka agama, pelaku usaha, para pelajar, santri dan mahasiswa, agar berani menelusuri jalan kebenaran.

Selama beberapa tahun ini, ia mencoba menjauhkan diri dari pusat keramaian, tinggal di area pesawahan di sebuah pesantren (Rangkasbitung), untuk dapat membuat dirinya fokus membaca, menganalisis, juga menulis secara obyektif.

Dengan gaya hidup yang minim gangguan ego, Hafis terus berusaha bergelut dengan realitas kosmik yang ada di republik ini. Baginya, ego para penulis dan sastrawan adalah musuh terbesar bagi dirinya. Ketika mereka sanggup menyingkirkan ego, niscaya mereka dapat menyimak dan melihat Indonesia sebagaimana adanya. (*)

Irawaty Nusa, Peneliti historical memory Indonesia, juga menulis artikel dan prosa di berbagai media nasional luring dan daring.

Artikel ini telah dibaca 54 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Memantek Minangkabau (*)

5 October 2025 - 17:56 WIB

Basuki Abdullah, Coastel Scene in Sumatra via WikiArt.org

KOSMOLOGI CARUIK

13 September 2025 - 18:51 WIB

Frida Kahlo, The Wounded Deer, 1946 via Wikiart.org

Datang dan Pulang Sendirian

31 August 2025 - 03:55 WIB

Datang di Hari Pertama Pekan Nan Tumpah 2025

25 August 2025 - 00:33 WIB

Foto: Istimewa

Penyala Literasi Sumatera Barat Gelar “Semarak Literasi Ranah Minang”

24 August 2025 - 11:00 WIB

Foto bersama Ketua Penyala Literasi Sumatera Barat, Eka Teresia, S.Pd, M.M

Apakah Kami Masih Belum Layak untuk Dicintai?

6 August 2025 - 16:45 WIB

Foto: Toba TV
Trending di Budaya