Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Esai · 20 Jun 2025 02:42 WIB ·

Menulis Sebagai Panggilan Sejarah


 WikiArt.org Perbesar

WikiArt.org

Mungkin salah satu alasan yang tak kalah penting, mengapa saya harus menjadi penulis (menulis cerita), karena negeri ini dikerumuni orang-orang sableng dan senewen. Misalnya, cerpen yang saya tulis untuk harian Republika, “Orang yang Mengaku Keturunan Nabi”. Di situ, bukan saja menceritakan banyak orang Banten yang seakan memiliki sifat seolah-olah yang berlebihan (kelebihan wishfulthinking), tetapi fenomena delusi kejiwaan itu sebenarnya merambah ke sekala nasional. Untuk itu, agar kenangan yang pernah saya alami tidak hilang tersapu angin, maka saya mencatat setiap riwayat kejadian, serta menyuguhkan ke publik dengan gaya sastra kontemporer (milenial).

Di sisi lain, saya merasa Indonesia ini adalah negeri yang sering mengalami gonjang-ganjing geologis bahkan geopolitis. Negeri kepulauan yang begini luas membentang, indah dan mengerikan, sampai-sampai saya berkesimpulan bahwa cerita pendek (cerpen) adalah sarana penting untuk menjabarkan kompleksitas yang memukau. Dalam cerpen “Ihwal Kejadian Longsor” (NU Online) saya menggambarkan fakta menakjubkan mengenai seorang gadis kecil satu-satunya yang selamat dari kejadian longsor. Tetapi, publik kemudian bertanya-tanya, apakah longsor itu hanya kejadian alam biasa, ataukah ada unsur kepentingan politik global yang bekerjasama dengan elit politik dalam negeri, untuk mengeruk sumber daya alam kita.

Dalam cerpen itu, seakan memberi tatanan khayali yang kacau, namun tetap diakhiri dengan munculnya orang tua bijaksana yang siap mengadopsi gadis kecil itu sebagai anak asuhnya. Dalam format seperti itu, saya dapat menggunakan bentuk testimonial, kronik, esai, legenda, puisi, serta sarana-sarana lain yang bisa membantu pembaca memecahkan misteri dunia, serta menggali jati diri kita yang sejati. Tak terkecuali cerpen berjudul “Si Lugu dari Baduy” (VOA-news.com) yang juga menyiratkan kemunculan tokoh profetik yang diwakili seorang guru bijak, yang mau berpikir out of the box.

Tetapi, di negeri yang kaya akan penulis-penulis yang memiliki ideologi hilir-mudik antara takhayul dan rasionalitas, nampaknya kita tak perlu mengulur-ulur imajinasi kita. Para kritikus sastra kebanyakan tumpul dan tidak memiliki kebal akal. Itulah pula yang saya tuangkan dalam esai yang ramai menjadi perbincangan publik, “Nirwan Dewanto Menyoal Sastra Takhayul” (Radar Madura).

Kadang, sulit sekali saya jelaskan kepada para kritikus, bahwa apa-apa yang saya tuliskan bukan hasil dari imajinasi patologis. Tokoh-tokoh yang saya tampilkan tampak hadir di tengah-tengah kita, baik mereka yang rada waras maupun yang agak senewen. Mereka terukir dalam memori saya, bahkan terungkap jelas sebagai fakta sejarah yang tersurat di media-media luring maupun daring. Sebagaimana pengakuan penulis novel Perasaan Orang Banten (Hafiz Azhari), di mana tokoh-tokoh yang ditampilkannya seakan abadi berseliweran di sekitar desa dan perkampungan kita hingga hari ini. Bagi Hafiz, mustahil membicarakan suasana keindonesiaan tanpa disinggung soal cinta dan kekerasan, banalitas politik, bahkan kebiadaban yang dibungkus atas nama Tuhan dan agama formal. Ya, kami tengah menghuni negeri penuh kontras yang kadang menyenangkan tetapi juga menyesakkan. Dua pernak-pernik dan bumbu mujarab untuk disuguhkan ke dalam kreasi sastra yang berkualitas tinggi.

Untuk itu, saya lebih memilih realisme magis, karena saya tak mau bergelantungan di atas benang yang rapuh. Tetapi, paradoks kemiskinan yang sering digaungkan Presiden Prabowo adalah fakta sejarah yang tak boleh kita abaikan. Bentuk yang paling riil adalah kegilaan atau kekerasan yang diakibatkan kemiskinan, kontras dengan kekayaan ekstrim yang dimiliki segelintir orang. Di negeri subur-makmur ini, realitas yang saling bertentangan itu selalu saja mondar-mandir dan hilir mudik. Sebagian memiliki paras yang gelap dan tragis, yang tidak tega saya tunjukkan kepada pembaca, tetapi toh mengancam keseharian hidup kita.

Sebagai pribadi, saya sendiri tumbuh besar di lingkungan antara garis batas kedua realitas tersebut. Sistem demokrasi yang rapuh tetap berlanjut asalkan tidak mencampuri kepentingan-kepentingan kaum imperialis. Kelembagaan dan hukum-hukum berjalan tidak efisien selama beberapa dekade. Oknum-oknum aparat berseliweran, memalak bayaran kelompok sosial berpunya yang wajib mengirim upeti ke perusahaan-perusahaan transnasional. Ketimpangan sosial seakan abadi dan lestari. Keamanan dan stabilitas nasional hanya berfungsi untuk menghindari meledaknya amuk massa, serta represi yang kian mengeras dari hari ke hari.

Tetapi disi lain, tak urung saya gambarkan juga mengenai Indonesia dengan tanah air yang penuh asa, persahabatan, dan cinta. Sebagian penulis mengarungi perairan beriak ini, hingga tak jarang melahirkan jenis sastra yang agak cengeng dan narsistik. Bagi saya, panggilan kepenulisan saya bagaikan penjelajah waktu yang membaca pesan di dinding-dinding goa yang gelap, lalu pena di tangan saya manfaatkan sebagai lentera dengan sedikit cahaya, namun harus menerangi setiap sudut di sepanjang dinding goa tersebut.

Saya tak ingin apriori mengulltuskan, seakan-akan dunia sastra dapat mengatasi segalanya, bahkan sanggup menangkal maraknya hoaks di mana-mana. Tetapi di sisi lain, kita tak boleh lumpuh dan memilih berpangku tangan menyaksikan luasnya area kegelapan, hingga tak memanfaatkan secercah cahaya yang ada dalam genggaman. Kita perlu menyadari, bahwa buku bukanlah tujuan dari dakwah kepenulisan kita. Ia hanyalah alat untuk menjamah pembaca, agar tersampaikan nilai-nilai kebaikan dan keindahan yang ingin disampaikan seluas-luasnya.

Sungguh menggelikan, jika mendengar penulis senior meributkan urusan ketip demi ketik, lalu bertengkar dengan pihak penerbit, yang sebetulnya membicarakan cela dan aib dirinya sendiri. Lalu, apa urusannya segala pertengkaran itu dengan nilai-nilai yang didakwahkan, perihal cinta dan persahabatan, keadilan, kelembutan hati dan keberanian untuk menyatakan kebenaran.

Saya yakin, penulis-penulis Indonesia punya kapasitas untuk membangun dunia yang lebih ramah dan adil. Saat ini, dunia sastra memang masih didominasi oleh kekuatan realisme yang cenderung skeptis dan pesimis. Hal tersebut adalah bagian dari warisan puing-puing reruntuhan perang dingin yang masih menggejala hingga saat ini. Sebagian sastrawan muda masih juga berpendapat, bahwa optimisme akan menjurus ke penyederhanaan yang dianggap pelanggaran terhadap kaidah-kaidah sastra yang keramat dan sakti. Tetapi saya, secara pribadi tak mau menggolongkan diri kepada arus sastra yang cenderung skeptis, bahkan mengajak ke ranah keputusasaan.

Bahkan dalam cerpen saya berjudul, “Suatu Hari Bersama Sang Sufi” (Republika.id) terbentang semangat religiusitas dari tokoh penulis yang memiliki kelebihan bakat supranatural, sesuatu yang justru melampaui segala adat dan peraturan agama formal yang cenderung tekstual dan ortodoks. Dalam cerpen tersebut digambarkan juga, bahwa hakikat transformasi spiritual akhir-akhir ini, boleh jadi dimiliki oleh seorang penulis yang rendah-hati, ketimbang orang yang mengaku-ngaku tokoh agama, namun hanya memiliki kualitas literasi yang dangkal belaka. (*)

Indah Noviariesta, Alumnus Untirta, Banten, menulis prosa dan esai di berbagai media luring dan daring, juga peraih nominasi penghargaan sastra Litera pada 2021 lalu)

Artikel ini telah dibaca 61 kali

Baca Lainnya

Memantek Minangkabau (*)

5 October 2025 - 17:56 WIB

Basuki Abdullah, Coastel Scene in Sumatra via WikiArt.org

KOSMOLOGI CARUIK

13 September 2025 - 18:51 WIB

Frida Kahlo, The Wounded Deer, 1946 via Wikiart.org

Datang dan Pulang Sendirian

31 August 2025 - 03:55 WIB

Datang di Hari Pertama Pekan Nan Tumpah 2025

25 August 2025 - 00:33 WIB

Foto: Istimewa

Penyala Literasi Sumatera Barat Gelar “Semarak Literasi Ranah Minang”

24 August 2025 - 11:00 WIB

Foto bersama Ketua Penyala Literasi Sumatera Barat, Eka Teresia, S.Pd, M.M

Apakah Kami Masih Belum Layak untuk Dicintai?

6 August 2025 - 16:45 WIB

Foto: Toba TV
Trending di Budaya