Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Esai · 20 Jun 2025 02:04 WIB ·

Garis Ideologi Seorang Sastrawan


 WikiArt.org Perbesar

WikiArt.org

Jika ada kritikus sastra menamai karya-karya saya sebagai “sastra monoteisme”, tentu hal tersebut sangat berkaitan dengan garis ideologi yang saya anut. Saya memang tak pernah menyebut novel (POI) itu sebagai realisme atau surrealisme magis, karena saya hanya menulis cerita yang ingin saya tuliskan, dengan gaya yang sesuai dengan kehendak dan kemauan saya. Ketika menulis cerpen atau novel, saya membiarkan cerita mengalir secara alami, apa adanya, sebagaimana curahan air yang terus mengikuti kontur tanah yang dilaluinya.
Memang ada beberapa cerpen saya yang berkaitan dengan Pandemi Covid-19. Bagaimana pun peristiwa yang mendunia itu penting untuk dijadikan kajian, baik secara prosaik, filosofis maupun agamis. Tetapi, untuk menuangkan suatu kejadian nyata ke dalam karya sastra, perlu ada metafora-metafora tersendiri yang membutuhkan jeda waktu untuk merenung dan berkontemplasi dalam keheningan. Dalam film “The Village” karya seorang warga Amerika berdarah India, M. Night Shyamalan, tentang pemukiman yang dikelilingi tembok-tembok, di situ terdapat metafora unik tentang sebuah karantina global.
Untuk itu, Haris sebagai karakter utama dalam novel POI sebenarnya bukan merupakan karakter diri saya sepenuhnya, tetapi ia adalah cerminan pemuda Indonesia yang menjadi versi saya, yang mungkin ada di suatu tempat tertentu di republik ini. Boleh jadi ia serupa dengan karakter Munir, seorang aktivis kemanusiaan yang “dibunuh”, atau serupa Wiji Thukul, penyair yang menghilang berpuluh tahun hingga saat ini, atau bahkan Udin Sjafrudin, seorang wartawan yang disambangi dan dibunuh di hadapan istrinya di depan pintu rumahnya.
Ketika saya mengeksplorasi peristiwa itu, memang kecenderungan jurnalistik lebih dominan, ketimbang urusan memoles kata-kata yang kadang mendayu-dayu tak keruan. Tapi bagaimana pun, itu adalah versi penulisan saya untuk menyatakan suatu kebenaran dan fakta sejarah, dan bukan untuk membenarkan kejadian yang bersifat fiktif dan belum tentu kebenarannya.

Era Orde Baru

Bagi saya, banyak karya sastra di era Orde Baru, terlampau sibuk dengan utak-atik kata, seakan para penulis sibuk berdebat untuk menyatakan apakah kata itu baku atau tidak, apakah kata itu berasal dari daerah Padang, Jawa ataukah Sunda. Saya kira, puluhan tahun pekerjaan sastrawan seperti itu, tak beda jauh dengan gelandangan di tengah jalan yang berkoar-koar membacakan syair-syair ciptaannya, serta ber-wihfulthingking, seolah-olah dirinya telah diangkat Tuhan menjadi Nabi Khidir. Dan pihak penguasa bertepuk-tangan, bangga melihat fenomena tersebut.
Tentu saja saya sebagai individu bukanlah entitas tunggal, melainkan makhluk gabungan yang terdiri dari berbagai tokoh yang hidup di dalamnya. Mungkin saja yang tidak nyata, suatu saat bisa mendominasi yang nyata, khususnya ketika saya sedang bereksplorasi menulis novel. Jika ada kritikus sastra yang dikipasi pihak penguasa dan pengusaha untuk menyatakan, bahwa saya “ngelantur” silakan saja. Tetapi, fakta bahwa peristiwa Udin Sjafrudin atau Marsinah masih terus hidup dan berulang-ulang kembali hingga hari ini, itu adalah sejarah keindonesiaan kita yang tak boleh dianggap remeh, jika negeri ini ingin terbebas dari “kutukan” lantaran mengulang kembali dosa-dosa besar yang itu-itu juga.
Sesekali saya menghadiri pertemuan sastrawan di Banten, meski terasa ada dikotomi senior dan yunior. Lalu, ketika “sang senior” bicara di depan publik, para yunior terdiam kaku, seakan membenarkan semua yang dinyatakan pembicara yang meledak-ledak itu. Sang senior mengkritik salah satu karya saya yang dinilai kurang memuaskan, dan ia memerintahkan saya agar menulis ulang karya tersebut. Tentu saja ada beberapa kalimat atau paragraf yang pernah saya sesali dari karya-karya yang sudah saya tuliskan, tetapi biarlah jika pihak editor mau meralat dan membenarkan itu.
Bagi saya, selama pihak kritikus atau editor tidak mengganggu sesuatu yang esensial dari maksud yang saya utarakan dalam novel tersebut, dan selagi hal-hal prinsipil yang saya kemukakan tetap terjaga, biarlah mereka berbuat apa yang ingin mereka perbuat. Bagi saya, tiap-tiap penerbit punya karakternya sendiri, bahkan punya ukuran kebenaran suatu bahasa baku menurut versinya masing-masing.
Usia bahasa Indonesia belum genap satu abad, setelah menjadi kesepakatan bersama di forum Sumpah Pemuda (1928). Tentu saja ada kesalahan yang tak terhindarkan, bahkan dalam hidup ini kadang kesalahan itu diperlukan agar kita dapat menciptakan perbaikan dan kedewasaan bersama.

Karakter Haris

Banyak novel menarik tentang kerusuhan Mei 1998 yang digarap oleh para penulis milenial kita, di antaranya Ratna Indraswari (1998), Dyah Prameswarie (Dua Masa di Mata Fe), Afifah Afra (Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman), dan banyak lagi yang lainnya.
Ketika saya membuat karakter Haris untuk novel POI, saya hanya mengamati orang-orang yang nyata di sekitar tahun kejatuhan Presiden Orde Baru itu, berikut berita-berita yang tersiar di radio-radio FM dan koran-koran nasional. Saya juga mendengar banyak kisah yang dituturkan para mantan tahanan politik (tapol) Orde Baru saat mengadakan penelitian historical memory, termasuk sowan-sowan secara intensif di kediaman Pramoedya Ananta Toer dan Joesoef Isak, selaku pemimpin penerbit Hasta Mitra, Jakarta.
Saya berusaha menempatkan diri, serta berpikir tentang apa yang mereka rasakan, serta bagaimana perlakuan para petugas tahanan selama mereka mendekam di penjara Salemba maupun di Pulau Buru. Untuk itu, saya mulai mengumpulkan data-data sejarah, lalu menuliskannya dalam novel POI. Sebagai pengimbang kekejaman perlakuan militer, saya menampilkan tokoh perempuan, Ida Farida, sebagai simbol di antara dunia spiritual dan dunia nyata. Dalam dunia spiritual, perempuan dapat memberikan pencerahan, di mana hubungan cinta dan humor dapat memberikan pesona yang memperkaya batin kita.
Bersama tokoh perempuan, dialog-dialog lucu dan menyegarkan dapat dihadirkan. Karakter-karakter lucu dapat menstabilkan pikiran dan perasaan pembaca. Seorang penulis terlihat keren jika mampu menghadirkan humor dan kelucuan, termasuk dalam dialog-dialog di novel Perasaan Orang Banten.
      Tetapi, untuk lebih banyak membuat kelucuan dalam penggarapan novel Pikiran Orang Indonesia, tentu saja tidak mungkin. Karena dalam situasi perang dan menegakkan prinsip keadilan, tak mungkin suatu karya sastra ditulis dan dinikmati sambil tersenyum.
Namun demikian, berhati-hatilah, sebab nasib hidup manusia, cepat atau lama, sangat bergantung pada prasangka baik ataukah buruk dalam memandang dan menilai kehidupan dirinya. Jika hidup manusia dinilainya baik, dan semua kejadian dipandang memiliki harmoni dan sinkronisasi, maka kehidupan ini akan memosisikan Anda berada di jalan kebaikan, dan begitu pun sebaliknya. Ini bukan penyataan spiritual dari karangan saya sendiri, tetapi justru Allah sendiri yang telah berjanji di dalam suatu hadits qudsi. Dan tidak ada pilihan lain, kita harus meyakini, bahwa janji Allah tidak akan meleset, dan pasti akan terbukti kebenarannya.
Untuk itu, apapun jenis karya Anda, seberapa hebat kecerdasan Anda, bahkan seberapa banyak pun buku yang telah Anda tulis, tetaplah seorang penulis harus bersikap legawa dan rendah-hati. Seperti yang dinyatakan dalam pepatah Arab, “Tanamlah kreasimu di bumi kerendahan hati, sebab benih yang tanpa ditanam dengan baik, hasilnya tidak akan bagus.” (*)

Hafis Azhari, Peneliti historical memory Indonesia, juga pengarang novel Pikiran Orang Indonesia dan Jenderal Tua dan Kucng Belang.

Artikel ini telah dibaca 44 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Memantek Minangkabau (*)

5 October 2025 - 17:56 WIB

Basuki Abdullah, Coastel Scene in Sumatra via WikiArt.org

KOSMOLOGI CARUIK

13 September 2025 - 18:51 WIB

Frida Kahlo, The Wounded Deer, 1946 via Wikiart.org

Datang dan Pulang Sendirian

31 August 2025 - 03:55 WIB

Datang di Hari Pertama Pekan Nan Tumpah 2025

25 August 2025 - 00:33 WIB

Foto: Istimewa

Penyala Literasi Sumatera Barat Gelar “Semarak Literasi Ranah Minang”

24 August 2025 - 11:00 WIB

Foto bersama Ketua Penyala Literasi Sumatera Barat, Eka Teresia, S.Pd, M.M

Apakah Kami Masih Belum Layak untuk Dicintai?

6 August 2025 - 16:45 WIB

Foto: Toba TV
Trending di Budaya