Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Esai · 20 Jun 2025 01:55 WIB ·

Arus Balik Kesusastraan Indonesia


 WikiArt.org Perbesar

WikiArt.org

Jika dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka karya sastra adalah wahana pendidikan untuk membebaskan dan memerdekakan jiwa manusia. Ia cenderung menolak sistem pendidikan otoriter, namun mengusung model pendidikan yang kritis, partisipatif, dialogis, serta membangun kesadaran sosial. Dunia sastra juga mendorong manusia (sebagai pihak pembaca) untuk mengambil peran aktif dalam mengubah realitasnya. Ia bukan sekadar bahan bacaan yang bersifat teoritis, tetapi dapat melahirkan individu-individu yang tercerahkan, sadar diri, serta memiliki jiwa dan keberanian untuk bertindak.

Pendidikan sastra seyogyanya tidak berhenti hanya sebatas di ruang kelas, tetapi harus teraplikasi dalam dunia nyata. Mereka yang mengajar sastra juga harus terus belajar dan melatih imajinasinya dengan banyak membaca karya-karya mutakhir, terutama para nominator hingga peraih hadiah nobel di bidang kesusastraan. Dengan itu, maka transformasi spiritual akan terbentuk, hingga muatan karya sastra akan siap menghadapi tantangan universalitas.

Tak perlu terpaku pada hal-hal yang besar, seperti teknologi canggih, revolusi AI (artifical intelligence), atau bahkan kebijakan makro ekonomi dan politik global. Semua perubahan besar itu justru lahir dari individu-individu pembaca, khususnya mereka yang sudah tersadarkan atau tercerahkan, hingga mau mewujudkan impiannya dalam kerja kebudayaan yang nyata.

Semisal novel Pikiran Orang Indonesia yang seakan telah membangun ekosistem dunia sastra tersendiri. Bukan terpacu karena bujuk rayu perkumpulan atau gerombolan sastrawan yang membangun klik dan partainya sendiri, bahkan membangun kedengkiannya tersendiri. Novel itu secara independen menggugat ketidakadilan yang diselenggarakan elit penguasa negeri ini. Penulisnya bukan lahir dari lulusan lembaga atau pendidikan sastra maupun politik, tetapi lahir dari komunitas dan struktur sosial, lalu sanggup melihat ketidakadilan secara kritis.

Untuk itu, pendidikan sastra bukan sekadar transfer ilmu untuk mengejar nilai ujian, tetapi harus membentuk manusia utuh, insan kamil, bahkan manusia berkesadaran tinggi dan multidimensional. Manusia jenis itulah yang sanggup berpikir kritis, merasa terpanggil, punya empati tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan, serta bertindak etis dan reflektif, sampai kemudian menjadi agen perubahan bagi lingkungannya.

Ekosistem Sastra

Jika kita melihat fenomena dunia saat ini, khususnya mengenai krisis identitas, rusaknya tatanan ekosistem, ketimpangan sosial, hingga berbagai paradoks kemiskinan di negeri ini, maka sangatlah jelas bahwa perubahan nyata tidak bisa dicapai hanya dengan kebijakan top-down. Dibutuhkan transformasi dari bawah, orang-perorang, gerakan bawah tanah yang secara diam-diam mendambakan tegaknya kebenaran dan prinsip keadilan. Kita sudah melihat keberanian novel Pikiran Orang Indonesia yang diam-diam melanglang buana, seakan menciptakan ekosistem tersendiri. Maka dengan sendirinya, buku itu pun telah mendidik independensi dan kemerdekaan jiwa masyarakat, serta memainkan peran sentral.
Di dunia kesusastraan, cara kerja seperti itu sekaligus membuat peserta didik berpikir dan berimajinasi, bukan sekadar menghafal teori-teori sastra secara tekstual. Tak terkecuali buku “Jenderal Tua dan Kucing Belang” yang tidak hanya memberi jawaban tetapi juga membuka ruang pertanyaan, bahkan berpikir kritis. Dalam proses ini, pembelajar sastra terlatih untuk mencapai manusia seutuhnya, bukan hanya menjadi alat produksi, tetapi sebagai subjek sejarah (baca kompas.id: “Menilai Karya Sastra secara Obyektif”).
Saat ini, kita hidup di tengah masyarakat yang masih berjuang melawan kemiskinan, keterbatasan akses pendidikan, ketimpangan sosial, hingga polarisasi informasi di mana-mana. Sistem pendidikan tinggi di bidang sastra, meski terus mengalami pembaruan, tetapi masih menekankan pada aspek teknis dan akademik. Belum berkiprah memberikan ruang dalam pembentukan karakter, kesadaran kritis, dan empati sosial. Berbagai gerakan alternatif, seperti perpustakaan daerah, sekolah komunitas, taman belajar mandiri, dan literasi desa, harus terus ditingkatkan, serta harus sanggup menjadikan peserta didik sebagai mitra dialog, bukan sekadar objek yang dipaksa menghafal puisi maupun teori-teori kesusastraan.
Target utamanya bukan hanya menjadikan siswa menjadi pintar secara akademik, seperti menghafal faktor intrinsik maupun ekstrinsik dari seorang pengarang, tetapi sekaligus diajak mengenali persoalan di sekitar mereka, seperti isu lingkungan, budaya lokal, apa yang mengakibatkan ketimpangan ekonomi, hingga terjadinya konflik agama yang dituangkan dalam sebuah karya sastra.

Dengan demikian, pembaca sastra akan menjadi pribadi yang peduli, kritis, dan aktif berkontribusi bagi komunitasnya, bukan semata-mata mengandalkan sistem belaka. Dari situ akan terbentuk kekuatan transformatif dari manusia yang sadar dan terdidik. Karena bagaimana pun, perubahan dunia tidak mungkin terjadi secara gratis dari langit. Ia merupakan hasil dari ratusan, bahkan ribuan tindakan kecil dari individu-individu yang memahami tanggung jawab sosialnya. Dan pemahaman akan kualitas dan esensi sastra, adalah salah satu jalan menuju kesadaran tersebut.

Sebagai contoh, seorang dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Banten, melontarkan pertanyaan sederhana kepada mahasiswa tentang karaktristik tokoh dalam novel Perasaan Orang Banten, lalu terbentuklah diskusi panjang yang berawal dari pertanyaan: “Mengapa Haji Mahmud yang dulu berkiprah di berbagai organisasi keagamaan, akhirnya keranjingan bermain judi di Pasar Kelapa Cilegon? Mengapa Bang Jali si pengusaha kampung itu, kecantol dengan seorang waria? Apa yang menyebabkan Nyi Hindun memutuskan untuk menikah di usia senja? Apakah artis dangdut Poppy Ratnasari yang keranjingan dunia malam itu, akhirnya tersadarkan oleh nasehat Kiai Muhaimin selaku tokoh agama? Bahkan, mengapa para juru kampanye politik masih gemar memanfaatkan kiai dan pesantren untuk meraup keuntungan suara di ajang kontestasi pemilu?”

Sastra dan perubahan

Untuk itu, buku-buku teori kesusastraan tak memiliki peran untuk terciptanya perubahan, karena perubahan itu harus terbentuk dari dalam diri si anak didik. Dari dalam jiwanya, pikirannya, dan imajinasinya. Pendidikan sastra memang tak punya andil untuk menghentikan perang, korupsi, atau menyelesaikan krisis iklim. Tetapi, bacaan sastra yang baik dapat menumbuhkan anak didik berani mengatakan “tidak” pada ketidakadilan dan kesewenangan, juga “tidak” pada pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan, bahkan juga “tidak” pada perusakan lingkungan, perang dan pembantaian (genosida).
Karya sastra yang baik akan mampu mengajak manusia agar keluar dari kebisuan, kebungkaman, bahkan abai terhadap penindasan dan kesewenangan. Sebab, penindasan bisa berlangsung bukan hanya karena kekuasaan yang kuat, tetapi juga karena diamnya orang-orang tertindas dan diperlakukan semena-mena. Sastra yang membebaskan memberi ruang suara kepada yang tak terdengar, menampilkan wajah kepada yang tak terlihat, juga harapan dan sikap optimistis ketimbang hanya menerima nasib buta.
Di tengah derasnya arus informasi digital, novel Pikiran Orang Indonesia telah banyak disebarluaskan oleh orang-orang baik yang kompeten. Ia dapat menjadi wahana pendidikan yang membebaskan, ketimbang hanya menjadi korban algoritma yang membuat pembaca tumpul dalam menganalisis dan mengambil sikap. Untuk itu, jangan sampai seorang penulis punya pretensi bahwa menerbitkan buku adalah target dan tujuan pencapaian, tetapi buku dan karya sastra harus memanusiakan manusia.

Karya sastra harus membuat pembaca bebas berpikir, bebas bertanya, dan bebas bermimpi tentang dunia yang lebih adil. Penulis dan sastrawan akan terlibat aktif menciptakan perubahan dunia, manakala sanggup menggetarkan hati pembaca, hingga mengubah sikap dan mentalitas mereka menjadi lebih baik, beradab dan tercerahkan. []

Eeng Nurhaeni, (Pengamat sastra milenial, pengasuh pondok pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten, menulis artikel di berbagai media nasional, di antaranya harian Kompas, Media Indonesia,ruangsastra.com, nusantaranews.co, alif.id, nu online dan lain-lain

Artikel ini telah dibaca 35 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Memantek Minangkabau (*)

5 October 2025 - 17:56 WIB

Basuki Abdullah, Coastel Scene in Sumatra via WikiArt.org

KOSMOLOGI CARUIK

13 September 2025 - 18:51 WIB

Frida Kahlo, The Wounded Deer, 1946 via Wikiart.org

Datang dan Pulang Sendirian

31 August 2025 - 03:55 WIB

Datang di Hari Pertama Pekan Nan Tumpah 2025

25 August 2025 - 00:33 WIB

Foto: Istimewa

Penyala Literasi Sumatera Barat Gelar “Semarak Literasi Ranah Minang”

24 August 2025 - 11:00 WIB

Foto bersama Ketua Penyala Literasi Sumatera Barat, Eka Teresia, S.Pd, M.M

Apakah Kami Masih Belum Layak untuk Dicintai?

6 August 2025 - 16:45 WIB

Foto: Toba TV
Trending di Budaya