Yang Penting Ngisi Form, Sisanya Urusan Semesta
aku tahu, aku bukan pahlawan super,
meski terkadang aku ingin jadi Batman—
berkelana di kota malam yang nggak tidur,
di mana lampu merah dan biru
saling ganti baju,
nari-nari kayak bayi yang baru keluar
dari layar iklan,
tentang diskon bra yang tak pernah ada
di dunia mustahil.
temanku nanya: “kamu pilih mana,
jadi laki-laki atau perempuan?”
aku jawab: “kenapa nggak jadi keduanya?
asal diskon, ambil semua.”
celana jins robek buat hari Senin,
rok glitter buat hari Minggu,
wajah? ah, bisa jadi wajah kucing
yang lagi bete,
atau sekeping kue bulan yang jatuh
ke dalam teh panas.
tubuhku ada dua dunia,
satu pakai sepatu lari yang solnya
mulai jebol,
satu lagi terbang tanpa sayap.
tangan jadi angin yang muter-muter,
siapa yang ngerti? aku juga bingung, sih.
tapi yaudah, pusing mikirin hidup?
aku bisa cinta siapa saja,
selama dunia terus berputar tanpa nanya,
dan film drama itu cuma ilusi
di layar tancap,
air mata yang nggak pernah kering.
kalau ada yang ganggu, biarin aja,
kasih aja popcorn,
karena popcorn lebih nyata
daripada perasaan.
kadang aku ingin jadi mi instan—
gampang disiapin, langsung siap makan,
tapi kadang pengen jadi ramen,
yang butuh waktu lama, banyak bumbu,
dan pilihan toping yang nggak ada habisnya.
jenis kelamin? apa itu kayak aplikasi
yang harus di-update tiap bulan?
jangan harap aku suka ngisi form,
aku lebih suka yang gratisan aja.
tapi, yaudah,
aku pilih diriku sendiri,
tanpa perlu ngisi kolom “jenis kelamin”
di bagian identitas.
jadi, kalau ada yang suka tanya:
“eh, kamu tuh apa sih?”
aku jawab aja: “aku ini manusia,
yang suka makan masakan Minang
tanpa mikirin kolesterol,
minum matcha campur es teh
tanpa takut rasanya gimana”.
hah? cinta? cinta itu kayak beli minas goreng
di gerobak perempatan,
kadang pedas, kadang manis,
tapi tetap enak kalau di makan bareng,
meski ada sambel yang nggak pernah
dibilang cukup.
2025
Air Mata yang Lupa Menangis
terpikat bunyi gitar yang berlari
pakai sepatu high heels,
di antara sup waktu yang tumpah
dari piring langit,
kita pernah berlari di atas
gelombang sabun,
di bawah kaki,
kucing-kucing mengadakan pemilu,
dan peluru-peluru berdebat
soal warna air yang hilang—
warna air yang cuma ada
di mimpi yang lupa dibangunkan
kekacauan duduk di sebelah garpu
yang hanya ada di meja makan,
main poker pakai kartu yang terbuat
dari suara air hujan,
sementara tebing pantai jadi DJ,
memutar lagu tentang debu yang menggila,
debu yang mabuk berat,
terlalu banyak menelan gombalan
kosong yang jadi racun,
dan pasir yang kehabisan tawa
kekasihku, oh, kamu yang bernama kehilangan,
datang dengan gaun dari kebohongan
yang tak pernah didasari,
menjemputku pakai payung
dari kartu empati,
di dunia yang terlalu luas
untuk dilihat dengan mata minus,
terlalu sempit untuk dimasukkan
ke dalam kotak korek api—
korek api yang menguap jadi kekosongan,
karena api yang dicari sudah terlalu lama mati
teman khayalku datang sambil bawa es krim
yang bisa nyanyi seriosa,
dari toko sepatu yang juga jual jeli
yang bisa berdansa,
mengajak tubuhku untuk main catur
di atas jus mangga yang tumpah,
dan kami kehabisan bensin
dari ngambek yang kemarin,
dari janji bulan ketiga belas,
dari percakapan yang nyangkut di tenggorokan
di langit yang lagi makan permen gulali,
aku nunggu angin yang lupa jalan pulangnya,
bayangan selalu nabrak dinding kaca,
lupa kalau kaca itu sudah pecah dari kemarin,
mencoba keluar, malah nabrak lagi,
aku menulis surat untuk pohon
yang nggak punya tangan,
berharap surat itu sampai ke daun
yang tak pernah tumbuh,
di tanah yang tak pernah mengenal hujan,
menulis dari tinta air mata
yang lupa caranya menangis
2025
Malam Ini Tak Pernah Terbuka
malam ini tubuh laba-laba,
jemarinya benang kusut,
menyulam bayang-bayang
dari mimpi yang lupa pulang
jaringnya menjerat waktu
yang menyamar jadi kulit—
bisik ingatan yang hampir hilang
hening adalah bintang-bintang
meledak jadi serbuk kuning
menempel di rambutku,
mencetak patung emas—
bayangan diriku yang mencoba
mengingat cara bernapas
burung-burung itu sibuk bercakap
tentang dunia yang mereka
lihat dari langit:
dahan ini cuma tiang rapuh
yang menopang langit-langit palsu
mereka menulis di udara
dengan cakarnya,
setiap huruf adalah harmoni,
setiap kata adalah pukulan
ke jantungku yang tak tahu diam
duri-durinya cakar gurita
yang merayap di arteri,
di dada, api berakar di tulang rusuk
kelopak merah menyala,
tiap helainya duri halus,
saat bunga itu mekar,
ia bicara dalam teriakan sunyi—
suara yang hanya bisa kudengar
di kedalaman tubuhku,
membakar diri jadi abu,
membekukan napas jadi puisi
yang tersembunyi
perahu perak kuning melengkung
jadi lidah,
setiap goresannya mengecap
lautan rahasia
lidah itu menjulur,
menyentuh dasar laut
menghidupkan huruf-huruf
yang berenang liar,
mereka mengigit tubuhku
sampai pori-pori menangisi puisi
langit menuang cahaya hijau
ke gelas malam,
lampu-lampu waktu diaduk,
cahayanya jadi lingkaran hampa—
jejak waktu yang menghilang
tanpa suara
tetesan itu jatuh ke pasir,
setiap butir berubah jadi ular kecil
yang bernyanyi dengan nada sumbang,
mengisahkan rahasia hari-hari
yang tersembunyi di tengkukku
kelopak mata keukeuh buka sendiri
di kota langit,
langkah laba-laba menjelajah
jalanan asap yang menuntutku
pada jejak diriku sendiri
di ujung mimpi yang tak direncanakan ini,
pintu tanpa dinding ke mana saja,
tubuhnya dari kunci yang karatan—
seperti ingatan yang menunggu disentuh,
tapi tak pernah dibuka
mereka tidak buka apa-apa,
cuma bawa kantong kresek tawa
dari pohon di belakang,
yang berubah jadi wajah ibumu
pohon itu melengkung,
daunnya jadi rambut
wajah ibumu memandangku
dari kegelapan,
“ingatkah kamu pada dirimu sendiri?” katanya,
tapi aku tak tahu
apa yang harus diingat
aku hanya tahu tubuh menggigil,
dan mata menyimpan kenangan
yang bukan milikku—
kenangan tentang mimpi-mimpi
yang ia tanam di rahimku.
“kamu ini mimpi,” katanya
“aku hanya dirimu yang lupa bangun.”
aku memandang ke tubuhku sendiri,
potongan waktu menempel di kulit,
tanganku terbuat dari jam pasir
yang retak
aku ingin menjawab,
tapi suaraku hilang,
tertelan oleh pintu
yang tak pernah terbuka
2025
Palito, lahir di Lohong, 2001. Saat ini masih berdomisili di Sumatra Barat. Menulis adalah bagian dari ekspresi dirinya, dan beberapa karyanya ditulis untuk merenungkan kehidupan dan waktu.







