Waktu demi waktu membuat kita semakin tumbuh dewasa, namun tetap saja tak mengalami banyak perubahan. Mungkin kita agak sedikit pintar dan dewasa, tetapi secara kejiwaan tetap saja masih seperti bocah, dan cenderung kekanak-kanakan. Kalau mau jujur, kita masih mendambakan saat-saat seperti masa kecil, duduk di pangkuan Ibu atau Nenek, lalu mendengar cerita atau dongeng-dongeng klasik. Keesokan paginya berangkat ke sekolah, lalu ingin mendengar cerita lagi dari Bapak dan Ibu Guru di kelas, lalu keesokannya ingin cerita yang lain lagi, dan begitu seterusnya.
Selama bertahun-tahun, di setiap negara di dunia ini, termasuk Indonesia, telah dicetak dan diterbitkan berjuta-juta cerita maupun opini di zaman yang disebut “pasca melek huruf” ini, dan sebagian dari tulisan itu menggugat kenyataan faktual mengenai ketimpangan sosial, kelaparan, bahkan pertikaian dan peperangan dari waktu ke waktu. Bersamaan dengan itu, di tengah penderitaan dan kelaparan sebagian saudara kita di belahan bumi lain, tetap saja kita mengonsumsi cerita demi cerita yang dipublikasikan media-media cetak, daring, maupun elektronik. Kita juga sering mengonsumsi cerita dan lelucon melalui media sosial, film, sinetron atau acara-acara stand up comedy, di samping dari buku-buku yang menyuguhkan novel, cerpen maupun gambar-gambar komik. Semua acara hiburan itu telah memintal narasi-narasi yang bersifat fiktif, dan kita terus saja mengonumsinya, kadang dengan hasrat yang menggebu-gebu.
Hal tersebut dikarenakan kita manusia, adalah makhluk hidup yang butuh cerita, seperti halnya kita butuh makanan dan minuman. Bayangkan, seandainya buku-buku atau acara-acara yang mengandung unsur cerita ditiadakan. Bahkan, kitab-kitab suci pun tertulis dengan mengandung ratusan dan ribuan cerita, termasuk perjalanan dan jejak langkah perjuangan hidup orang-orang bijak terdahulu, agar dijadikan cermin dan teladan bagi generasi-generasi sesudahnya.
Di sisi lain, aktivitas membaca cerita, baik berupa novel maupun kumpulan cerpen, tak lain merupakan aktivitas singular. Tentu saja, satu buku hanya memiliki satu pembaca, hingga terjadi semacam kolaborasi antara penulis dan pembaca, di mana dua orang asing bertemu dan menyerahkan dirinya secara intim kepada satu sama lain. Secara pribadi, dari ratusan dan ribuan cerita yang saya baca melalui buku atau tayangan film, berarti saya telah menghabiskan beribu-ribu jam untuk berbincang-bincang bersama orang-orang yang tak pernah saya kenal, bahkan tak pernah berjumpa sekalipun dengan si empunya cerita. Tetapi, mungkinkah saya dapat berjumpa dan bermesraan dengan mereka satu-persatu di dunia lain yang disebut “alam akhirat” nanti? Tentu hanya Tuhan Yang Maha Tahu.
Keterpanggilan sejarah
Sampai saat ini, saya pun tak mengerti kenapa ada keterpanggilan untuk menulis dan berbagi, dari satu cerita ke cerita lain, seakan terjadi kemesraan dengan ratusan dan ribuan pembaca di luar sana. Keterpanggilan ini semakin dirasakan, ketika saya beranjak dewasa di tengah momentum kejatuhan rezim penguasa militer Orde Baru, dengan segala luka-luka yang ditimbulkan olehnya.
Di sini saya bicara soal tulis-meneulis, karena saya telah menjadikan dunia tulisan sebagai kendaraan untuk bercerita, atau menceritakan hal-hal yang terbayang dalam ingatan dan imajinasi saya. Kadang di luar kesadaran, tahu-tahu saya sudah beranjak usia, dan ini merupakan hal yang aneh untuk menghabiskan banyak waktu di sepanjang umur hidup saya. Duduk sendirian di dalam kamar, menulis berlembar-lembar halaman dengan pena, lalu menuangkannya ke dalam layar laptop. Sementara, waktu terus bergulir, berhari-hari, berbulan dan bertahun-tahun. Saya melibatkan diri ke dalam urusan rumah-tangga yang tak sepenuhnya bagian dari rumah-tangga saya, lalu menjatuhkan diri ke dalam konflik, polemik, perseteruan antar budaya, bahkan antar agama dan kepercayaan yang berbeda.
Saya berjibaku menghabiskan beribu-ribu lembar kertas yang nantinya melahirkan apa-apa yang tak pernah ada, kecuali di dalam otak kepala saya sendiri. Lalu, untuk apa saya melakukan semuanya ini? Untuk apa saya membohongi banyak orang dengan menampilkan perjalanan hidup orang lain yang belum tentu ada dan terjadi dalam kehidupan nyata? Kenapa juga ada orang lain yang mau melakukan hal yang sama bodohnya seperti saya?
Satu-satunya jawaban yang bisa saya ajukan pada Anda adalah, bahwa saya seakan terjebak ke dalam keterpanggilan tadi, dan tak ada pilihan lain selain itu. Dalam bahasa religius yang cenderung idealis, “Saya mendapat amanat dari Tuhan untuk menceritakan kebaikan agar dijadikan teladan bagi sebanyak-banyak pembaca.”
Saya tidak tahu pasti, apakah ilham keterpanggilan ini merupakan impuls manusiawi yang ada pada diri saya, ataukah memang ditakdirkan sebagai utusan untuk menyampaikan suara Tuhan dalam mengimbangi (atau melawan) suara kegelapan yang tak kalah gencar dan sengitnya dari zaman ke zaman? Jika memang demikian, lalu apa fungsi kerya seni maupun sastra yang konon bebas nilai, dan lahir dari kebebasan berekspresi?
Bukankah dalam kebebasan berekspresi dimungkinkan untuk memenangkan kejahatan, sebagaimana elit-elit politik di era hiper modern (tak terkecuali Indonesia) yang serempak menganggap dunia politik adalah bagian dari seni dan siasat belaka?
Para penguasa dan elit politik praktis yang berpikirnya serba instan, mereka cenderung skeptis, sehingga terburu-buru berteriak bahwa buku dan cerita-cerita tak mungkin memberi makanan bergizi bagi anak-anak yang kelaparan. Buku juga tak bisa menghentikan peluru-peluru NAZI yang menembaki kaum Yahudi maupun Gypsi, termasuk kelakuan kaum Zionis yang menewaskan ribuan orang tua dan anak-anak sipil Palestina akhir-akhir ini.
Sastra dan keteladanan
Beberapa pengagum Jokowi dan Gibran tak urung memberi komentar nyinyir, apakah dengan mengapresiasi novel Pikiran Orang Indonesia, maka kita akan menjadi manusia Indonesia yang lebih baik dan sejahtera? Jika kita berpikir enteng dan sepintas, mungkin pernyataan itu ada benarnya. Ditambah lagi suatu alasan yang sedikit cerdas, bahwa dalam kenyataannya, banyak pemimpin zalim seperti Hitler juga dulunya adalah para pembaca buku, bahkan menjadi seniman di masa mudanya? Bahkan, tidak sedikit para pembunuh yang mendekam di penjara, dulunya adalah penggemar buku-buku, dan rajin membaca novel?
Siapa yang menyangkal bahwa mereka pun telah mendapat kepuasan dari membaca buku cerita, seperti halnya kita menikmati kepuasan yang sama? Lalu, apa bedanya sastrawan dan seniman, ketimbang tukang sol sepatu, pemulung, dokter hewan, insinyur, pedagang, atau bahkan politisi dan pengangguran yang dianggap tak ada gunanya?
Tetapi, apakah ketidak-bergunaan itu adalah hal yang buruk, atau jahat? Apakah karya seni seperti buku, lukisan, musik dan film, adalah kerja-kerja para pengangguran yang membuang-buang waktu percuma, lantaran mereka tidak memiliki kemanfaatan dan kegunaan praktis?
Memang banyak yang beranggapan seperti itu, termasuk senimannya sendiri tidak sedikit. Tetapi, saya ingin mengemukakan argumen rasional, oleh karena fakta bahwa seni tidak memiliki kegunaan praktis, adalah alasan kenapa ia mempunyai nilai lebih ketimbang profesi-profesi lainnya, termasuk para politisi praktis yang inginnya serba instan dan sesaat.
Justru penciptaan seni (sastra) adalah hal yang membedakan kita dari makhluk-makhluk lain, dan melalui seni pula, kita sanggup mengidentifikasi diri sebagai manusia beradab dan berbudaya luhur.
Coba bayangkan, seberapa banyak waktu dan tenaga dicurahkan untuk mendisiplinkan diri. Kadang harus bangun di waktu sepertiga malam, merenung dan duduk di depan layar komputer (laptop) berjam-jam, belum lagi berbagai pelatihan dan kerja keras para pemusik, penari atau pelukis. Untuk saya pribadi sebagai penulis cerita, memliki pola kedisiplinan yang berbeda dengan seni lainnya. Medianya adalah bahasa dan kata-kata untuk merangkai suatu cerita yang diilhami oleh ribuan cerita yang bersemayam di dalam pikiran dan ingatan saya.
Tidak jarang saya menampilkan kisah-kisah fiktif yang mengandung unsur kekerasan atau kekejaman, amuk massa, atau kecenderungan seksual dan birahi seorang tokoh, transformasi aneh di era milenial ini. Kadang terpampang jelas kelakuan tokoh yang ekstrim, lalu berpindah kepada ekstrim lainnya, seakan saling berkelindan dan bersinambung. Hingga pembaca dapat mengambil hikmah setelah membaca dan menikmati endingnya.
Tentu saja pesan-pesan religiusitas harus saya utamakan, hingga setiap perbuatan sang tokoh tak terlepas dari faktor sebab yang menimbulkan akibatnya. Sebagaimana firman Tuhan, bahwa kebaikan sekecil apapun akan mendapat balasan kebaikan yang sama, begitu pun dengan keburukan. Karena itu, dengan membaca sastra kita akan selalu introspeksi dan bercermin diri, dan seorang sastrawan yang baik akan merasa malu untuk menuntut banyak perubahan pada orang lain, sebelum berupaya keras untuk mengubah dirinya sendiri.
Di sinilah pentingnya kita menyuguhkan cerita (sastra) sebagai wahana religiustas, sarana dakwah dan syiar, dan power of influence. Bahwa dengan memberi teladan kebaikan, kelak akan tercipta peradaban baru masyarakat Indonesia yang lebih cerdas dan dewasa, dan di situlah letak esensi kemakmuran dan kesejahteraan yang sesungguhnya.
Jika Anda tidak percaya, maka tengoklah latar belakang dan sejarah hidup bangsa-bangsa dunia yang telah mengalami kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya. (*)
Alim Witjaksono, peneliti dan penikmat sastra milenial, menulis prosa dan esai di berbagai media nasional, luring dan daring.












