salah saya, saya membagikan link salah satu media online yang memuat penayangan puisi, cerpen, dan resensi kiriman pembaca/penulis pada pukul 01.38 dini hari, dan dibalas kawan saya, denis setiawan pada pukul 03.05 wib dengan sebuah pernyataan, “ketika puisi dihargai lebih murah daripada cerpen”, yang membuat saya ingin menulis tulisan ini.
bagi yang belum tahu, pasti banyak yang belum tahu, kawan saya, denis setiawan adalah seorang penyair mapan, saya bilang mapan karena ia tak peduli lagi pada keterbacaan karyanya oleh publik, ia rutin merawat puisinya di blog pribadinya beberapa tahun lalu di dongengdenis.blogspot.com
sementara, lupakan denis, mari kita meluncur pada apa yang dibilang denis, dengan memberi honor Rp.100.000.- untuk pemuatan puisi, dan Rp.200.00,- untuk pemuatan cerpen, apakah itu sudah bisa disebut merendahkan puisi?
sebagian orang mungkin akan bilang, “iya pula, ya” atau “kok bisa gitu sih” atau “wajar, puisi doang…”
bagi kalian, puisi itu “doang?” hihi, mantap. benar, tak dapat dipungkiri, banyak penyair dalam negeri yang bikin puisi bisa dalam sekali duduk, belum lima menit kelar, bahkan sudah ada praktik di mana seorang penyair bisa menulis puisi setelah mendengar seseorang bercerita tentang sesuatu, dan puisi bisa tercipta sekali duduk. benar pula adanya, ada puisi yang tahu-tahu sudah jadi, jleb… puisi.
jika bagi kalian, puisi itu “doang” berarti kalian rasanya memang sudah berada di puncak makrifat, puncak pengetahuan, lagi pula, apa hebatnya sih jadi penyair?
tapi, perlu diketahui pula, bagi sebagian orang perlu ada upaya lebih dalam mencipta puisi, orang-orang tolol butuh ikut kelas puisi biar bisa bikin satu puisi, yang kalau puisinya udah jadi, masih dianggap gak guna bagi mentor dan yang lainnya, orang-orang tolol kayak saya dan denis perlu terhimpun di grup whatsaap yang sama dalam “merayakan” puisi, artinya, setidaknya kami meluangkan banyak waktu pula untuk membuat puisi
bahkan, ada pula kami dengar kabar, kalau dua baris puisi seseorang terlahir setelah empat tahun, bayangkan coy, empat tahun!
jadi, mari kita berinap-inap, merenungkan, apakah karena teks puisi yang sedikit, ia malah jadi lebih hina dibanding cerpen? honor yang berbeda bagi penayangan cerpen dan puisi di media memang sering kita temukan di banyak media, pertanyaannya, siapa pula tokoh sastra kita yang menganggap isu ini penting? apa pentingnya pula puisi diangkat marwahnya? bukankah ini sudah menjadi cerita lama yang basi, mas denis?
padahal, secara faktual, kita dapati bahwa, banyak orang melawan dengan puisi, puisi dijadikan salahsatu cara buat orasi, melawan ketidakadilan, dan lain-lain, tapi kenapa puisi jadi menyedihkan di rumahnya sendiri? pernah lihat orang yang sedang demo baca cerpen? hihi
di antara tulisan fiksi, puisi memang paling menyedihkan, mas denis. prosa memang juaranya, bukankah masyarakat kita hobi sekali bercerita? mereka kurang suka bersajak-sajak, hehe
menjawab pernyataan mas denis ini sebetulnya memang dengan tidak menjawab, dan memang, nasib puisi semenyedihkan itu, tapi yang pasti, kalau boleh anjay, puisi akan senantiasa hidup di tengah pembacanya, meski ini dihargai “murah”, saya hanya sedang gabut.
sebab, kita para penyair lah yang seharusnya sudah merdeka, duit bisa dicari di ranah lain, jadi musisi atau jual diri, mungkin.(*)
maulidan rahman siregar, menulis opini dengan kesuluruhan huruf kecil, instagram: @maulidanrahmansiregar












