Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Cerpen · 27 Apr 2025 08:05 WIB ·

Keresahan Kamim Akhirnya Hilang


 Marc Chagall, Ilustration to Nikolai Gogol's Perbesar

Marc Chagall, Ilustration to Nikolai Gogol's "Dead Soul" via WikiArt.org

Sudah sebulan Kamim lari.

Lelaki 37 tahun itu sudah masuk ke rumahnya, menutup pintu dan jendela rapat-rapat, tetapi ia masih dikejar. Bahkan, di malam hari saat orang-orang terlelap di alam mimpi, Kamim masih terjaga dengan perasaan gelisah. Jantungnya selalu berdebar dan netra menatap was-was ke segala arah. Keringat dingin juga terus membasahi tubuhnya sepanjang malam.

Mungkin ini akibat kelakuannya sebulan lalu.

“Mas, kita besok makan apa?” Malam itu  Sania dengan wajah kebingungan bertanya pada Kamim yang rebah di sampingnya. Tangan wanita itu sibuk menepuk pantat bayi lelaki 8 bulan yang tak kunjung terlelap dan masih menyusu. “Uangnya tinggal 20 ribu. Beras kita tinggal satu liter, Mas. Kalau lauk tahu dan tempe sepertinya masih cukup.”

Kamim terdiam sejenak.

Ini sudah seminggu sejak ia dipecat jadi buruh toko sembako karena ketahuan membawa pulang segenggam beras yang jatuh di tanah. Kamim belum juga mendapat pekerjaan lagi. Ia sudah melamar kemana-mana, tetapi tak kunjung ada jawaban. Uang yang tersisa hanya tinggal 20 ribu. Tak akan cukup untuk membeli tambahan beras atau lauk yang hari ini harganya kian meroket. Mencekik si miskin yang kesulitan untuk makan sehari-hari.

“Besok Mas cari kerja lagi. Doakan segera dapat kerja, ya.” Hanya itu yang mampu Kamim ucapkan. Untung, istrinya paham. Sania mengangguk kecil, lalu membalikkan tubuhnya dan kembali menyusui anak lelakinya.

Malam itu Kamim turun dari ranjangnya yang sudah reot. Ia keluar kamar dengan perasaan resah. Saat ia mengintip, jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kamim membuka pintu dan duduk di teras seorang diri.

Ditemani sebatang kretek, pandangan Kamim jatuh pada langit gelap tanpa bulan bintang. Angin berembus menerpa kulit berlapis kaos partai politik yang membawa janji setinggi langit. Kamim melamun.

“Andai dulu Sania tak mau menikah denganku, jadi apa dia sekarang?”

Sania. Dia perempuan baik-baik yang Kamim temui saat dirinya berusaha kabur dari kejaran pemilik toko. Kamim ketahuan mencuri uang 300 ribu dan di tengah pelariannya, perempuan itu tampak kesulitan membawa banyak belanjaan. Beberapa kali hampir terpeleset karena jalanan pasar yang licin sehabis hujan. Kamim ingin mengabaikannya, tetapi raut kesusahan di wajahnya membuat Kamim ingin membantu.

Siapa tahu dapat upah.

Awalnya Sania terkejut. Tak lama kemudian, bibirnya mengembang ketika Kamim mengambil beberapa  kantong kresek di tangannya. Sayangnya, karena terlalu lambat, si pemilik toko sudah berlari 5 meter di belakangnya. Kamim panik. Ia ingin menyerahkan belanjaan milik Sania kembali, tetapi perempuan itu telah lebih dulu menariknya ke pertokoan kosong.

Sania membantu Kamim lari dari kejaran korban pencuriannya.

“Saya tidak tahu siapa kamu, tapi sepertinya kamu orang baik. Bahkan, ditengah-tengah kejaran, kamu mau membantu saya.” Perempuan cantik itu berkedip dengan bulu mata panjangnya. “Saya harap kamu berhenti mencuri. Masih ada banyak pekerjaan baik lainnya.”

Pertemuannya memang singkat, tetapi membekas. Terutama bagi Kamim. Selama beberapa Minggu Kamim merenung dan ia bertekad berhenti mencuri hanya untuk Sania. Ia mencari pekerjaan yang baik dan sebuah takdir membawa mereka bertemu kembali. Akhirnya, Sania dan Kamim mulai menjalin hubungan di bulan lima sejak pertemuan  itu.

Menginjak dua tahun hubungan mereka, Kamim dengan berani datang ke rumah megah milik Sania. Berbekal sekeranjang buah jeruk, ia nekat masuk dan menyatakan lamarannya. Orang tua Sania marah, mereka tak setuju kalau anaknya yang pintar harus menikah dengan Kamim yang masa depannya saja tak jelas. Namun, keduanya ngotot menikah tanpa restu yang mengakibatkan kebencian orang tua Sania bertambah. Hingga kini jalinan tali keluarga yang harusnya bersambung itu terputus.

Setelah berhasil mempersunting Sania, giliran Kamim yang merasa bersalah. Ia tak cukup baik untuk Sania. Cinta saja tak cukup untuk menghidupi.

“Dia pasti bertemu pria kaya dan hidupnya mapan terjamin.” Kamim bergumam sendiri. Asap rokok mengepul, lalu terbawa angin sedetik kemudian. “Sania, maaf kalau kamu harus terjebak dengan lelaki sepertiku. Aku benar-benar tidak punya jalan lainnya.”

Kamim tersentak saat jam besar berdentang dua kali.

Jam sudah menunjukkan pukul 2 malam. Ia bahkan tak sadar sudah 3 jam lebih duduk di teras yang lampunya remang-remang seorang diri. Punggungnya menegak saat samar-samar mendengar ayam berkokok.

Seketika Kamim berdiri. Puntung rokok yang telah habis diinjak. Linggis yang tersimpan di balik pintu diambil. Dalam hati ia merapal maaf pada istrinya, perbuatan tercela itu mau tak mau terulang kembali.

..

 

Tubuh lelaki paruh baya itu memang tak terlalu tinggi. Badan juga gempal berisi. Perut buncit itu ditutupi oleh kaos putih yang kainnya sudah melur, sedangkan kakinya dibungkus sarung bermotif kotak-kotak.

Kamim biasa memanggilnya Pak Pram. Pak Pram adalah pemilik sawah yang beberapa tahun lalu pernah Kamim garap lahannya. Pak Pram memang baik hati, lelaki 60 tahunan yang masih bugar itu selalu membiarkan Kamim membawa pulang 2 karung padi setiap panen. Padahal gaji yang diberikannya cukup banyak, tetapi Pak Pram sama sekali tak pelit berbagi sedikit hasil panen.

Mungkin karena kebaikannya itu pula Kamim merasa bersalah.

“Maaf, Pak Pram. Saya terpaksa ambil. Maaf, Pak. Maaf, Pak.”

Malam itu tepat sebulan lalu, Kamim datang diam-diam ke rumah Pak Pram. Ia datang ke kandang belakang dengan berbekal senter kecil. Kandang besar itu berisi puluhan ayam jantan dan betina yang biasanya di jual dengan harga puluhan sampai ratusan ribu. Malam itu Kamim nekat mengambil 5 ayam milik Pak Pram dan menjualnya ke pasar pagi-pagi seraya komat-kamit memohon maaf.

Tak ada yang tahu, tetapi Kamim gelisah. Apalagi saat melihat Pak Pram berjalan-jalan pagi di depan rumahnya. Ia terus merasa malu. Kepalanya selalu reflek menunduk dan menghindar saat melihat Pak Pram datang ke rumah. Kecuali, hari ini. Kamim terlambat masuk rumah yang memaksanya harus berhadapan dengan Pak Pram.

“Kamim, saya perhatikan beberapa minggu ini kamu di rumah terus. Tidak kerja lagi?”

“I-iya, saya dipecat, Pak.”

Pak Pram terdiam cukup lama. “Kamu mau kembali kerja di rumah saya? Saya gaji kamu 10  juta per bulan.” pertanyaan Pak Pram membuat Kamim mendongak seketika. “Tapi bukan di sawah lagi.”

“Mau, Pak! Dimana?”

“Di kandang …” Pipinya yang sudah keriput menyunggingkan senyum. “… dengan satu syarat.”

“Apa?”

“Kamu harus bisa menangkap maling ayam saya sebulan lalu.”

Seketika senyum lebar Kamim memudar.

 

..

 

Kamim berkali-kali lebih resah dari malam kemarin. Apalagi setelah kedatangan Pak Pram dan tawarannya yang menggiurkan. Pikirannya seketika semrawut. Sejak sebulan lalu Kamim sudah merasa bersalah karena tindakannya, Kamim merasa harus lari meskipun tak ada yang mengejar. Perasaannya tak pernah tenang walaupun sedetik.

“San, menurutmu bagaimana jika ada yang memberimu uang sepuluh juta tapi taruhannya nyawamu?”

Untuk itu Kamim bertanya pada sang istri. Sania yang mendengarnya sangat terkejut. Namun, ia lekas menjawab, “Saya perlu tahu taruhan nyawa yang bagaimana dulu, Mas. Kalau memang benar-benar berbahaya dan menyebabkan kematian saya tidak akan ambil.”

Kamim tidak tahu apakah kalau ia mengaku, Pak Pram akan menerima maafnya atau malah menyeretnya masuk ke penjara. Namun, seandainya Kamim tak mengaku, siapa gerangan yang rela jadi kambing hitam? Jika sudah begitu rasa bersalahnya akan semakin menumpuk. Bukan hanya pada Pak Pram tapi juga pada si kambing hitam.

Kamim semakin bimbang.

 

 

Pagi-pagi sekali Kamim datang ke rumah Pak Pram seminggu setelahnya. Ia ingin membuat pengakuan.

“Saya sudah menemukan pelakunya, Pak.”

Dahi Pak Pram berkerut bingung, tetapi matanya mengerling girang. “Mana orangnya?”

“Ini, Pak.”

Kamim mengulurkan kedua tangannya. “Tangan ini yang melakukannya, Pak. Bapak bisa memotongnya kalau mau.”

“Akhirnya kamu mengaku juga.” Pak Pram tergelak. Tawanya yang keras menggelegar memenuhi seisi rumah yang sepi. Bulu kuduk Kamim meremang. “Saya sudah tahu pelakunya sejak awal.”

“Maaf, Pak. Tapi tangan ini yang melakukannya, bukan saya,” jawab Kamim tak gentar.

“Lalu bagaimana saya menghukum tangan kamu itu?”

“Potong tangan ini, Pak.” Kamim masih keukeuh. “Saya sudah menemukan pelakunya dan Bapak harus menepati janji memberi  saya 10 juta per bulan.”

“Bagaimana kalau 50 juta per bulan?”

Mata Kamim berkilat siaga.

“Asalkan saya bisa potong leher kamu karena membunuh putri saya yang masih di bawah umur.”

Kali ini Kamim melotot. Sekujur tubuhnya dingin. Keringat sebiji jagung mengalir dari dahinya.

Ya, malam itu Kamim bukan hanya mencuri ayam 5 buah milik Pak Pram. Namun, ia juga masuk ke rumah Pak Pram dan mencari emas batangan yang tersimpan di brankas. Secara kebetulan, anak Pak Pram keluar dari kamar dan memergoki aksi Kamim yang mau mencongkel pintu. Kamim panik, ia memukul tengkuk anak 14 tahun itu dengan linggis.

“Silahkan, Pak. Asalkan Bapak berjanji benar-benar  memberikan uangnya pada istri saya. Hidup miskin memang menyedihkan, Pak. Tetapi hidup jadi bajingan kotor lebih menyedihkan.” Kamim bersimpuh. Matanya memburam karena air mata, tiba-tiba teringat dengan istrinya yang begitu dia cintai dan dua anak lelaki mereka. “Lagipula saya sudah lelah menanggung beban seberat ini. Saya lelah di kejar-kejar karena rasa bersalah.”

Mulai hari itu keresahan Kamim sudah hilang, bersamaan dengan nyawanya yang turut melayang.(*)

Elok Cahyaningtyas, seorang freelance writer yang hobinya mendengarkan lagu. Beberapa tulisannya telah terbit dalam buku antologi cetak maupun digital. Kenal lebih dekat melalui akun Instagram : @dephine__

Artikel ini telah dibaca 93 kali

Baca Lainnya

Serambi Masjid Kami yang Kotor

20 October 2025 - 01:05 WIB

Endre Bartos, People from The Space, 2005 via WikiArt.org

Tukang Seblak

24 August 2025 - 05:43 WIB

WikiArt.org

Tukang Becak

10 August 2025 - 12:39 WIB

Frida Kahlo, Henry Ford Hospital (The Flying Bed)

Soal Matematika

20 July 2025 - 21:14 WIB

Balthus, Children, via WikiArt.org

Marni

7 July 2025 - 13:56 WIB

WikiArt.org

Budak Suikerfabriek

29 June 2025 - 00:22 WIB

Salvador Dali via WikiArt.org
Trending di Cerpen