SEPERTI PENGHUJAN JUNI
Seperti penghujan Juni reda tiba-tiba,
Kau pun lenyap begitu saja, setelah
Dengan suara jernih, wajah
Bersungguh-sungguh berkata,
“Aku ingin sangat jadi telinga
Bagi rintihan-rintihan sukmamu.”
Aku selalu bercermin sebelum
Berbincang denganmu,
Bukan agar dapat kusamarkan
Bercak dan bekas luka yang
Mungkin akan bikin kau begidik,
Melainkan agar dapat kita ukur
Berapa meter jarak duduk terbaik.
Entahlah, raib bagimu mungkin serupa
Menurunkan layar perahu, upaya
Agar kewarasanmu tidak oleng,
Tenggelam ke dasar dingin
Diliputi gelap dan rasa takut.
Namun aku kendi lempung
Sendiri di sudut ruang.
Seorang berusaha mengisiku
Dengan air matanya, namun
Kosong lagi segera, merembes
Melalui retakan di dadaku.
Apakah kau akan kembali
Untuk menambal retakan itu?
Pernahkah terlintas di benakmu
Kepergianmu menciptakan
Retakan di dadaku?
Harus kukatakan, kadang
Aku merasa sanggup sendiri
Selamanya di sudut ruang itu,
Namun kadang juga aku merasa
Lebih baik luluh lantak
Ketimbang sekadar retak.
2018
SYAHADAT
Demi terompah Muhammad
Bergema di kolong langit
Saat menyeberangi malam gelap
Tidak kuukur berapa mil
Atau menit kita terpaut
Namun lebih dari cukup
Kupikir untuk sebuah syahadat:
Maha benar mripat
Dengan seluruh tetes rindu
Di pipiku tak kunjung kauusap
2018
DI RUANG TAMU SAAT LEBARAN
Di ruang tamu
Orang-orang bertemu
Mempertemukan langit dan cakrawala
Dendam langgeng dan dendam fana
Di ruang tamu
Percakapan adalah angin
Berembus di antara toples-toples
Penuh permen, biskuit, dan ceriping
Di ruang tamu
Pikiran membenahi kekusutannya sendiri
Membersihkan serpih kaca dan
Menanam bunga dengan tangannya sendiri
Di ruang tamu
Aku membayangkanmu di seberang dampar
Masing mulut terkunci rapat, namun degup
Jantung membuat udara di sekeliling bergetar
2018
MENDENGARKAN MUSIK AKUSTIK
Enam utas senar
Terbetot di atas padang batin
Dan sebuah lubang, semacam
Kaldera menuju ruang besar
Yang erat memeluk gelap
Sebagai kekasih terakhir.
Seorang malaikat
Dengan mata terpejam memetik
Senar-senar itu, seperti
Melepas perban pada luka basah,
Membubuhkan bubuk putih,
Dan memasang perban baru.
Tak peduli desah rintih
Mengalir dari mulutku.
Seorang berlutut di tepi kaldera,
Tempat yang terus diliputi senja,
Menaburkan bait-bait madah,
Doa-doa menyayat agar
Jangan ada lagi kata pisah.
Seorang lagi mengepakkan sayap,
Melayang menjelajahi
Ruang serupa pinggang,
Sebagai kedasih dirundung
Sesal dan rindu parah,
Menjeritkan permohonan pulang.
2018
Malkan Junaidi, penyair, penerjemah, petani dan pekerja bangunan. Puisi-puisinya tersebar di beberapa media dan beberapa dibukukan.