Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Budaya · 3 Oct 2024 19:38 WIB ·

Naga Terakhir di Bumi


 Arif P. Putra (istimewa) Perbesar

Arif P. Putra (istimewa)

Penulis : Fatris MF
Judul : Di Bawah Kuasa Naga, The Land of Dragons
Tebal : 132 Halaman
Penerbit:  Penerbit JBS (Jual Buku Sastra)
ISBN : 9786237904878
Cetakan Pertama, 2024

Buku ini menampilkan sedikit tulisan Fatris MF dan banyak foto dari Fatris sendiri soal catatan perjalanannya ke kawasan Taman Nasional Komodo pada saat covid? Fatris pergi jalan-jalan saat orang lain santai dan menjaga diri di rumah. Aneh memang.

Berisi teks catatan, observasi, pun juga hasil wawancara Fatris dengan kawan, masyarakat, pemerintah setempat, di kawasan Taman Nasional Komodo, dan beberapa daerah di dekatnya.

Memang, selain dikenal dengan risetnya, sering menang lomba kepenulisan –sekarang lebih sering jadi juri, wkwk, Fatris memang belakangan dikenal sebagai penulis catatan perjalanan. Dan buku ini, adalah salah satu bentuk dari hasil catatan perjalanannya itu. Kali ini, ia mengunjungi Labuan Bajo, Pulau Rinca, dan Taman Nasional Komodo itu sendiri. Obsesi Fatris pada Timur Indonesia jauh sebelum ia jadi penulis. Saat PKL di Batam, ia sudah punya ketersinggungan pada wilayah ini.

Orang-orang mungkin kaget dengan ‘wujud’ buku ini. Ini buku apa? Buku kok lebih banyak foto ketimbang teks, tidak jelas, payah, begitu kata salah seorang pembicara saat buku ini sempat dibahas dalam bedah buku, padahal, di beberapa buku Fatris yang lain juga udah begini, wkwk. Bapak ke mana aja?

Arif P. Putra (istimewa)

Arif P. Putra (istimewa)

Yap, buku ini sempat dibahas beberapa waktu lalu, dan tak seorang pun yang membahas terjemahan Saut Situmorang di buku ini waktu diskusi buku itu berlangsung. Anggapan awal saya, isu yang dihadirkan buku ini lebih menarik ketimbang terjemahannya, atau mungkin pada saat diskusi itu tidak ada penerjemah, makanya soal alih bahasa ini tak ada yang mau bahas. Diskusinya waktu itu di Pustaka Steva, belum lama ini.

Oke, balik ke buku!

Buku ini menceritakan perjalanan Fatris ke Pulau Komodo untuk meriset ‘Buaya Darat’ dan manusia yang hidup di sekitarnya. Bagi manusia di daerah tersebut, komodo itu sendiri dianggap sebagai saudara kandung. Sebagai sabai.

Fatris ingin melihat hewan purba itu dengan mata kepalanya sendiri.

Masyarakat di sana sudah terbiasa dengan keberadaan komodo di dekatnya, sudah biasa bilang “hus, sana! ” saat komodo berkunjung ke rumahnya. Kisah haru diceritakan Fatris tentang seorang nenek yang digigit komodo dan berhasil lepas karena nenek tersebut berbicara dengan komodo itu dengan ‘Bahasa Modo’.

Selain membahas komodo yang ditemui Fatris tidak pada hari pertama kunjungannya, perjalanan Fatris ke sini barangkali karena ia tertarik pada isu/gerakan ‘Sail Komodo 2013’ yang bikin daerah dekat sana terutama daerah ‘Labuan Baju’ disulap sedemikian rupa guna meningkatkan kunjungan turis lokal dan mancanegara. Beberapa gedung tinggi yang semula tak ada, muncul dengan begitu pesatnya.

‘Keberhasilan’ pada lingkup pariwisata ini sebenarnya buat siapa? Viktor Bungtilu Laiskodat, gubernur NTT, pernah punya wacana untuk mengosongkan ‘Pulau Komodo’ dari aktivitas manusia. Dan beberapa turis sempat kaget, “Kok di pulau ini ada komplek?” “Kok ada manusia?”

Sekali lagi, keberhasilan pariwisata ini buat siapa? Buat komodo, atau buat orang yang puluhan tahun hidup di sana? Atau malah buat pelancong seperti kita? Atau buat pemerintah? Yap, dengan narasi singkat di buku ini, kita bisa terpantik membahas hal-hal ini. Terpantik untuk membicarakan penduduk lokal yang sudah kena larangan berburu, hidup ‘nyaman?’ dengan berjualan souvenir dan minuman sachet, dan mereka yang tak lagi melaut.

Arif P. Putera (istimewa)

Arif P. Putera (istimewa)

Teks pada buku ini bisa kamu selesaikan kurang dari sepuluh menit, tapi, pikiran-pikiran yang muncul setelah membaca buku ini butuh puluhan tahun buat menyelesaikannya.

Fatris berhasil mengajak kita, atau mungkin saya saja, untuk berpikir bagaimana sebaiknya manusia hidup bersama alam, memperlakukan dengan flora dan fauna dengan arif. Jangan seperti yang dicemaskan penduduk lokal, “Aparat hanya melindungi hewan, melindungi komodo dan rusa, sementara kita?”

Wabillahi taufik wal hidayah. W assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.(*)

Maulidan Rahman Siregar, kolektor kotak rokok. Sesekali menulis dan lebih sering tidak. Dapat dikunjungi di rumahnya ketika tidak sedang sibuk.

Artikel ini telah dibaca 77 kali

Baca Lainnya

Kisah-kisah Menjelang Pulang dari Borobudur Writer Cultural Festival (BWCF) 2024

24 November 2024 - 16:26 WIB

Hasbunallah Haris, prosais, novelis harapan bangsa

Sendirian ke Festival

24 November 2024 - 15:25 WIB

The Venyamin membawakan "From Behind the Iron Bars"

Hindia Belanda dari Sisi yang Lain

17 November 2024 - 21:09 WIB

Lomba Baca Puisi antar Guru se-Sumatera Barat

15 November 2024 - 06:23 WIB

Dokumentasi: Areta Reztu Azuri

Festival Sastra Sanusi Pane

15 November 2024 - 04:20 WIB

May Moon Nasution, penyair asal Natal, salah seorang sastrawan yang ikut dalam kegiatan Sastrawan Masuk Sekolah di SMA Negeri 2 Padangsidimpuan

check-in/check-out, buku puisi Bardjan

15 November 2024 - 02:38 WIB

Instagram: penerbitvelodrom
Trending di Budaya