MENAHAN HATI
–Mendengarkan Zalmon
menahan hati
dengan lagu orang dahulu
aku saja, menimbang waktu
aku sangat ingin bertemu
mengajakmu berperang
dengan seorang perempuan yang ketika
wajahnya kau tampar
yang kau tampar adalah wajahmu
biduk karam, kata orang dahulu
berpantun-pantun mereka menangis
malam larut di peraduan
baru bangun disuruh tidur
menahan hati
baru berpucuk, hilang badan
lagu kedua
patah di tangan
aduh, gamang bayang
aplikasi apa yang membolehkan kembali,
sayangku?
uda kanciang di rantau jauah
uda, anjiang, uda!
malang berpantun-pantun
biarlah sedih, biarlah aduh
walau pun kau sudah meninggal dunia,
sayangku
biarlah lagu orang dahulu
mengepung masalalu
2020
KIRANA RINDU
dalam pejam, kupeluk doa
kupeluk akal, kupeluk pikir
agar pola di dalam senyummu
manis, bagai kirana pijar lampu kota
tapi, sejak praja yang diatur para politisi
selalu kau konsumsi di televisi
cinta jadi kacau ya, Tuhan
dinda, oh kau yang bermata cahaya
di mana, harus kugapai asa?
agar kau selalu ada
bahkan dalam tiada!
oh, kepulangan
oh, akar di jantung
oh teratai bunga-bunga
oh air maha segala
pedulikah engkau,
pada doa di dasar sukma?
pada dasar segala kata?
remuk, nanar, segala
luruh semesta
kau saja, kau saja segala
amiin panjang doa-doa
2019
BELAJAR AGAMA SIANG HARI
Kehidupan yang kisut beri kau ajar, biar apa
yang kau maksud, itu yang kau kejar.
Kau belajar agama siang hari, sebab,
kejahatan bisa kapan saja, dan ramalan-
ramalan, serta perempuan yang meniup
buhul, tidaklah subuh belaka.
Semuanya bermula dari televisi. Kau cari
dalilnya di youtube. Agar kau yakin, dan terus
yakin, kau intip-intip instagram. Kau
menyebut nama Tuhan, ketika paha seorang
perempuan, muncul sebagai iklan.
Bukannya taubat, kau malah jadi penulis. Kau
catat, mana pendosa, mana ulama. Mana
pendosa yang sekaligus ulama?
Kau tulis sebuah puisi, biar macam orang-orang.
Kau beri judul puisi itu belajar agama.
Jika kuboleh bertanya, agama apa yang
membolehkan sebuah kotak jadi dalil?
Ke Madrid bujang dahulu, di kampung
berguna belum. Hati sakit tegang melulu,
di jantung apa yang belum?
2018
SUDAH KUTULIS PUISI PALING BAIK
Aku sudah menulis puisi paling baik di muka bumi, tentang perkenalanku dengan seorang puisi yang melekat pada tubuh seorang gadis. Di dalam puisi itu, si gadis dan aku membahas limabelas puisi dan penyair, buku-buku, gosip, ruang & waktu, serta kegunaan dan manfaat Tuhan di muka bumi. Seingatku, puisi kedelapan yang kami bahas adalah puisi yang lucu, di mana Tuhan & celana seolah tertukar di baris ketiga. Puisi ke berapa aku lupa, tapi kira-kiranya begini,
- Sudah tidak ada penyair miskin di New York hari ini
- Seorang tampan mengetuk pintu dan jendela di waktu yang sama
- Tubuh telanjang seekor naga
- Wabah yang menghancurkan peradaban manusia
- Tiada macet di Jakarta, sebab tak ada orang yang hidup lagi di sana.
Kami juga membahas penyair-penyair tolol dan kurang ajar serta baru bisa menempatkan penggunaan “di” di dalam bahasa Indonesia yang lucu dan menggemaskan ini.
Seingatku, aku & dia dalam sambungan video juga saling membacakan puisi, dan seingatku, ketika dia membacakan puisi, semua yang ada di tubuhku ngilu.
Tetapi, puisi terbaik di muka bumi itu baiknya kulupakan saja, sebab ia telah terhapus. Terhapus dari penyair, terhapus dari buku-buku, dari ruang dan waktu.
Hari ini, Minggu, dan siapa saja yang penasaran dengan puisi ini sebaiknya meninggal dunia saja.
Aku sampai mati tidak akan melupakan puisi terbaik di muka bumi itu, kalau bisa sih, menangis hingga ribuan tahun. Hingga tiada puisi baru lagi di bumi, hingga semua penyair meninggal dunia, hingga tiada lagi umur kata-kata. Anjing!
2020
Maulidan Rahman Siregar, lahir di Padang 03 Februari 1991. Menulis puisi, cerpen dan artikel musik. Bukunya yang telah terbit, Tuhan Tidak Tidur atas Doa Hamba-Nya yang Begadang (2018), dan Menyembah Lampu Jalan (2019).