Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Cerpen · 26 Aug 2024 03:00 WIB ·

Niat Supono


 Little Dog (1888) - Henri de Toulouse-Lautrec via wikiart.org Perbesar

Little Dog (1888) - Henri de Toulouse-Lautrec via wikiart.org

Little Dog (1888) - Henri de Toulouse-Lautrec via wikiart.org

Little Dog (1888) – Henri de Toulouse-Lautrec via wikiart.org

Suara klakson kereta pada stasiun yang berada tidak jauh dari tempat Supono berdiri membuatnya bergidik, kaget. Hampir saja genggamannya pada tiang jembatan terlepas. Suara itu membuat jantung berdegup dan napasnya cepat. Ia memejamkan mata kuat-kuat, lalu kembali membukanya dan menatap lintasan rel kereta di bawah tempat ia berdiri. Supono ingin bunuh diri sore ini.

Rencana bunuh diri ini sudah ia siapkan sejak satu minggu yang lalu. Bukan, bukan satu minggu. Tetapi sudah beberapa bulan lalu. Supono sudah merencanakan banyak sekali strategi untuk melancarkan niat bunuh dirinya. Mulai dari melompat di lantai empat sebuah mall, menenggelamkan diri di sungai, meneguk racun serangga, sampai menggantung diri. Semua rencana tersebut gagal dilakukan Supono lantaran ia masih tidak tega meninggalkan anak-anak dan istrinya yang seorang pekerja keras itu.

Namanya Sumi, gadis belia yang dulu terpaksa Supono nikahi karena tidak sengaja membuat hamil Sumi. Jadilah Sumi melahirkan anak diusia 15 tahun. Ketika itu Supono yang masih mengenakan seragam putih biru terpaksa berhenti sekolah lalu ikut orang menjadi kuli bangunan. Selain menjadi kuli bangunan, Supono juga pernah menjadi tukang parkir, tukang sampah, loper koran, kenek bus, bahkan ia pernah mencoba menjadi pengedar narkoba tapi ini hanya ia lakukan selama beberapa hari saja karena Sumi melarangnya, dan mengancam akan melaporkannya ke polisi. Walau bagaimanapun meski masih sangat muda ketika itu, Supono adalah seorang suami yang patuh. Ia selalu menuruti semua kata-kata Sumi kecuali satu hal, menjadi bahagia.

Sampai hari ini Supono masih merasa tidak bisa bahagia. Padahal hampir setiap hari Sumi meminta agar ia berbahagia. Setiap Sumi akan berangkat bekerja mengupas bawang di pasar, saat berpamitan Sumi selalu menitip pesan kepadanya. Hari ini semoga kita bahagia. Begitu harapan dan permintaan Sumi kepada Supono setiap hari. Sehingga hati dan isi kepala Supono terasa ingin meledak karena setiap hari menumpuk harapan Sumi yang tidak pernah bisa ia penuhi.

Pada suatu malam, saat Sumi dan anak-anaknya sudah pulas tertidur. Supono duduk menyandar pada dinding kayu rumah mereka yang lembab. Sembari menghisap kretek, Supono menatap satu-persatu wajah anak-anaknya dan juga wajah Sumi. Dalam pandangan matanya yang menerawang, wajah mereka tampak pucat pasi seperti orang mati. Malam itu Supono menangis sesegukan. Ia rapatkan kedua telapak tangan ke wajah untuk membekap mulutnya sendiri agar suara rintihan tangisnya tidak membangunkan Sumi dan anak-anaknya. Keesokan paginya, entah mengapa tiba-tiba muncul keinginan dan cita-cita dalam benak Supono. Ia ingin segera mati saja.

Sekarang usia Supono sudah 28 tahun. Ia dan Sumi punya dua orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki. Pada usia ini, Supono merasa sudah seperti laki-laki berusia empat puluh tahun. Begitu banyak ia menanggung beban. Seharusnya saat ini ia sudah merasa cukup, dan berbahagia. Akan tetapi, melihat anak-anaknya hampir setiap hari kelaparan dan Sumi pergi bekerja dengan baju kumal, membuat hati dan pikiran Supono menjadi gusar. Ia merasa gagal, segagal-gagalnya menjadi seorang kepala keluarga. Ia merasa sangat tidak berguna. Dibandingkan Sumi, pekerjaan Supono lebih tidak jelas. Setiap hari ia bisa saja dengan gampang berganti profesi. Apapun ia jalani bahkan jika itu bukanlah pekerjaan yang baik. Segala upaya dan usaha sudah ia lakukan demi mencapai kebahagiaan tapi apa yang terjadi? Semua usahanya tidak berbekas. Anak-anaknya tetap kelaparan, merindukan lauk-pauk yang layak dimakan. Sumi tetap pergi bekerja dengan baju yang sudah kumal.

Supono menghirup udara dalam-dalam, ia ingin merasakan bernapas untuk terakhir kalinya. Cahaya merah matahari yang mulai tenggelam dari ufuk barat di atas bangunan stasiun yang ia lihat dari atas jembatan, membuat perasaannya semakin berkecamuk. Air mata dan ingusnya meluber. Ia hampir saja tersedak dengan semua cairan itu. Pegangannya pada tiang jembatan semakin erat ia genggam. Dalam hitungan detik, ia ingin segera mati. Ia tidak kuasa melihat anak-anaknya kelak menjadi orang susah. Ia tidak kuat melihat Sumi tidak pernah memakai baju bagus dan tidak pernah berdandan sampai kulitnya keriput. Ia tidak sanggup tinggal selamanya di gubuk reyot dan lembab itu bersama anak-anak dan Sumi selamanya. Ia tidak kuat membayangkan itu semua. Supono sudah lelah hidup susah. Ia merasa sangat tidak beruntung seumur hidupnya.

Supono menyeka air mata dan ingus yang sudah melekat di wajahnya. Sore ini merupakan sore paling indah dalam hidupnya. Dari dulu Supono tidak begitu peduli bagaimana sore akan berlalu. Sehingga ia tidak begitu merasa penting memperhatikan bagaimana proses matahari tenggelam. Sekarang ia baru menyadari betapa melankolis perasaannya melihat keindahan dari matahari yang tenggelam. Tetapi rasa melankolis itu sirna seketika tatkala ia ingat bahwa beberapa detik lagi ia akan mati bunuh diri. Ia ingin memilih cara bunuh diri yang lebih keras dan dramatis. Melompat dari jembatan dan terlindas kereta yang lewat. Dengan begitu Supono dapat memastikan bahwa ia tidak merasakan sakit karena akan langsung mati terjatuh lalu tergilas. Ia tidak peduli, bagaimana nanti apabila sukses terlindas kereta tubuhnya akan hancur dan berceceran kemana-mana. Toh, ia sudah mati saat itu. Ia pasti tidak tahu bagaimana nasib sisa tubuhnya nanti.

Ia juga tidak peduli, bagaimana susahnya Sumi mengurusi mayatnya kelak. Ia tidak ingin memikirkan bagaimana sedihnya anak-anaknya nanti. Supono berpikir, mereka memang akan sedih. Mungkin mereka akan sedih berhari-hari, atau sampai berminggu-minggu. Tetapi mereka tidak akan sedih sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Karena Supono berkeyakinan, manusia itu mudah lupa. Apalagi pada orang miskin dan tidak berguna seperti dirinya.

Kelak suatu hari, anak-anaknya akan mendapat uang dari orang-orang dermawan yang mencari pahala lewat menyantuni anak yatim. Sumi akan membeli baju baru dan kosmetik dari uang gajinya sendiri karena tidak perlu dibagi untuk modal usaha Supono yang selama ini ia lakukan.

Supono kembali menghela napas, sudah waktunya ia mati. Ia kembali menatap ke bawah, rel kereta melintang lengang. Supono menghitung detik-detik kereta lewat dari stasiun di depannya. Biasanya ada kereta yang selalu lewat tepat pukul enam sore. Didengarnya informasi dari seorang wanita dalam stasiun mengenai aba-aba bahwa kereta akan segera berangkat, dan wanita yang suaranya terdengar membosankan itu meminta para penumpang bersiap-siap. Jantung Supono berdebar. Ia merasa tidak cukup menghirup banyak udara. Supono memejamkan mata saat ia mendengar klakson kereta dan deru roda besinya yang mulai berjalan. Ia yakin bunuh dirinya kali ini akan berhasil. Ia tidak punya rencana untuk melanjutkan hidup beberapa jam setelah ini jika saja bunuh dirinya gagal lagi. Tidak ada dalam benaknya rencana hidup bahkan untuk malam ini. Ia benar-benar sudah siap untuk mati. Ia benar-benar tidak tahu harus apalagi selain mati. Ia berharap sekali dengan kematiannya ini, anak-anak dan Sumi bisa mendapatkan kebahagiaan. Dengan begitu, ia juga pasti akan merasa sangat bahagia di alam baka. Ia yakin sekali bahwa kematiannya-lah satu-satunya cara agar keluarganya bisa hidup berkecukupan dan tentunya kelak akan bahagia.

Sayup-sayup di antara bunyi klakson kereta yang masih menggema dan gowes roda besinya yang menggesek rel, Supono mendengar suara anjing menggonggong. Ia membuka mata dengan cepat, seekor anjing hitam menatapnya penuh harap tak jauh di belakangnya. Seketika air mata Supono berderai lagi. Si Kampret, anjing liar yang dulu dibawanya pulang tampak berlari mendekatinya. Anjing hitam itu hampir setiap hari selalu menunggunya pulang. Tak jarang jika Supono terlambat pulang, anjing itu mencarinya sampai ketemu. Kebetulan jembatan yang dekat dengan stasiun ini berada dekat dengan rumah Supono. Anjing itu bisa dengan mudah menemukannya.

Supono baru saja sadar bahwa dari tadi ia lupa dengan anjing hitamnya itu. Ketika Kampret mulai mendekatinya, dan mengendus-endus tungkai kaki Supono yang kurus, seketika itu juga niat bunuh dirinya langsung buyar. Dalam hitungan detik, berkelebat pikiran Supono mengenai nasib Kampret kelak apabila ia jadi mati bunuh diri. Sumi takut anjing. Sejak ia memutuskan memelihara Kampret, tidak sedikit pun Sumi mau mendekati anjing tersebut. Sumi, istrinya trauma dengan anjing sebab sewaktu kecil perempuan itu nyaris digigit anjing. Sedangkan anak-anaknya, sudah dipastikan tidak akan peduli dengan Kampret. Mereka saja sibuk menguatkan diri dari dahaga dan kelaparan. Mereka tidak akan punya keinginan dan waktu untuk memelihara Kampret apalagi memberi anjing itu makan. Supono berkeyakinan bahwa jika ia jadi mati bunuh diri hari ini, Kampret akan kembali jadi anjing liar. Binatang itu akan kembali mengais-ngais makanan di bak sampah, dan akan kembali berkelahi dengan anjing liar lainnya.

Supono menggeleng-geleng kepala membayangkan itu semua. Ia bahkan ingin segera memeluk anjingnya tersebut dan meminta maaf karena nyaris saja melupakan keberadaan hewan itu. Maka dengan mantap, Supono kembali memanjat jembatan untuk kembali ke trotoar. Dan mengurungkan niatnya untuk bunuh diri hari ini. Sambil tersenyum, Supono melangkah pulang diiringi Kampret yang berlari riang di belakangnya.

***

Ujung Gurun, 2017

Jeni Fitriasha, lahir di Padang 1989. Beberapa cerpennya pernah terbit di koran lokal dan koran Tempo. ‘Seseseorang yang Keluar dari Perutnya’ adalah buku kumcer pertamanya yang pernah diterbitkan oleh Penerbit Basabasi. Kini sedang fokus menjadi penyeduh teh sekaligus Tuan rumah di kedai teh kecil bernama MonAmi Tea House di Padang.

Artikel ini telah dibaca 70 kali

Baca Lainnya

Pemenang Lomba Menulis Cerpen Peringatan 100 Tahun AA Navis Taman Budaya Sumatera Barat Tahun 2024

3 October 2024 - 16:17 WIB

Tiga Lelaki Bejat

29 September 2024 - 03:01 WIB

WikiArt.org

Cinta dan Benci

22 September 2024 - 20:39 WIB

Around the circle, by Wassily Kandinsky via Wikiart.org

Cerita Horor

20 September 2024 - 23:35 WIB

TC Cannon, The Ghost Figures via WikiArt.org

Ikan-ikan Menggelepar Lalu Mati

15 September 2024 - 07:18 WIB

Niko Pirosmani, Party by the River Tskheniszkali (fragment) via WikiArt

Penyewa Rumah yang Aneh

8 September 2024 - 02:35 WIB

Trending di Cerpen