Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Cerpen · 6 Feb 2024 04:50 WIB ·

Siasat – Cerpen Windy Shelia Azhar


 Siasat – Cerpen Windy Shelia Azhar Perbesar

Kau mengetuk-ngetuk ujung meja pertanda gelisah. Gelagat yang sama ketika dulu kau menerima telepon darinya pertama kali di hadapanku. Jarimu pada tangan yang satunya membenarkan ujung kacamata. Hampir tak pernah ku lihat kau melepas dua bingkai petak itu setelah suatu malam aku mengatakan bahwa aku suka melihat matamu dari baliknya. Di balik bingkai itu, ujung matamu begitu tajam mencoba menangkap ekor mataku.                                    “Tatap aku.” Ujarmu. Kebiasaanku masih sama, yaitu tak bergeming dari terkaman matamu. Kebiasaan yang demikian kau benci sebab kau tak ku beri kesempatan menyelami pikiranku dari balik dua jendela tersebut. “mengapa kau selalu berusaha lari dariku?”

Aku meringis. Dan ini kebiasaanmu yang ku benci. Kau selalu berusaha membalik fakta seakan kau yang paling terluka dan aku si penjahat nomor satu. Cih, kau bertanya alasan aku selalu berusaha lari dari tatap matamu sementara aku tak pernah bertanya alasan kau pergi dariku dan akhirnya memilihnya.

Lalu kau membuang muka, seolah sadar bahwa kau tak berhak dapat jawaban atas pertanyaan konyolmu. Kau menyesap anggurmu yang kedua. Jelas kau tak tenang di pertemuan kali ini. Aku mengangkat gelasku dan mendetingnya ke gelasmu. Cheers. Bersulang atas rencana kepulanganmu ke kampung besok. Bersulang atas pernikahanmu dengan perempuan itu minggu depan. Bersulang atas keberhasilanmu mengumpulkan uang untuk membeli rumah masa depan kalian. Bersulang atas pembuktian ke orangtuamu dan calon mertuamu. Bersulang atas hebatnya aku menjadi wanita yang berhasil menghantarmu ke gerbang kehidupan yang lebih baik. Di balik lelaki hebat, selalu terdapat perempuan kuat. Pepatah basi berkata demikian. Lelaki akan selalu menerima pujian atas segala hal yang mereka lakukan dan perempuan seperti biasa, mendapat bayangan dan ampasnya.

Mataku memandang entah demi mereka ulang memori yang terputar di benak. Setahun lalu tepat pertama kali mata kita beradu tatap di sini, di bar yang sama dengan kursi dan letak duduk yang sama. Kau dan aku sama-sama serigala kesepian yang saling membutuhkan remah tawa dan lembut belai demi menjalani hidup yang waras di ibukota. Kau lelaki terbaik di antara lelaki bodoh yang silih berganti melempar gombal. Serta aku perempuan yang kau akui demikian berbeda karena terbiasa hidup mandiri dan mencapai apa yang ku mau sendiri. Kau terkesima dengan hal yang tak kau temui dalam diri si gadis penurut yang berasal dari keluarga terpandang dan dipandang sepadan oleh orangtuamu.

“Kau tahulah orangtuaku…”

“Ya. Aku tahu.” Tak perlu kau sudahi kalimat yang berulang-ulang kau lempar tatkala aku tercenung lama dan mulai memikirkan masa depan hubungan ini. Kau mencintai orangtuamu lebih dari apapun dan menuruti perintah mereka adalah sebuah bakti. Bahkan perintah untuk meninggalkan sundal yang tak jelas bapak ibunya dengan rokok yang selalu terkepit di antara jarinya ini. Barang tentu kau juga tak sanggup melepas perempuan berkerudung yang seumur hidupnya terjaga dari kejamnya dunia, tak terjamah dan demikian terhormat. Selalu saja perempuan begitu yang mendapat lebih banyak tempat di hati para mertua. Perempuan yang bisa melengkapi kelaki-lakianmu dalam tatanan khayalan yang dijunjung masyarakat di tempat asalmu. Masa depan bersamaku sama dengan terlempar ke negeri lain jauh dari kumpulan komunal yang selalu kau dambakan.

Aku menuang lagi anggur ke gelas ketigamu. Raut wajahmu dalam-dalam memerhatikan tiap gerak-gerikku. Lalu aku juga menuangkannya ke gelasku yang luang. “kau selalu berkata masa depan adalah misteri, bukan?”                                         “Ya dan yang kita punya masa kini.” Aku tertawa kecil mendengar jawabanmu. Sambil lalu mengambil sebatang kretek kesukaanmu dan meletakkannya di antara bibirmu. Kelenting pemantik menyulutnya lalu aroma tembakau rempah tersebut menyeruak. “mulai besok, rokok Madura ini tak kan dapat lagi ku rasa.”

Bukan hanya rokok itu yang tak dapat lagi kau rasa, mungkin juga aku. Segala rasa yang ku hadirkan ke hari-harimu. Mungkin akan kau matikan juga segala rasa yang juga kau hadirkan untukku. Akan kau simpan rapat-rapat semua kisah bersamaku.

“Jadi ini akhirnya kita?”

“Ya akhir dari masa kini yang kita punya.”

“Kau ingat bahwa kekuasaan Nikita Khrushchev pun ada masanya, bukan?”

“Kali ini saja, apakah bisa kita bicara realitas yang terjadi pada kita?” Kau terbiasa mengalihkan segala perbincangan yang canggung dengan topik yang lebih ku suka, seperti perang, sejarah, atau trivia fakta-fakta dunia. Kita terlalu enggan menjumpai diri kita yang paling jujur.

“Sayang, aku akan bantu kau mencari suami yang benar-benar bisa membahagiakanmu. Akan ku pilihkan yang terbaik.”

“Mengapa bukan kau?” tajam kata-kataku menohokmu. Dapat ku rasakan kerongkonganmu tercekat.

Lalu kita terdiam lagi untuk waktu yang lama. Kali ini kau menuang anggur dan buru-buru menyesapnya. Mengingatkanku pada malam memabukkan di flatku. Kala itu aku jujur menerangkan segala luka yang membekas di badan dan hatiku dalam kendali anggur yang kau tuangkan. Kau berusaha menelanjangiku dari segala hal yang melingkungi pertahananku. Kau berhasil melakukannya hingga itu menjadi caramu masuk dan bertengger di hatiku setahun belakangan.

“Sepertinya anggur ini lebih kuat dari biasanya.” Barang tentu kau sekarang merasakan pusing yang hebat. Barangkali aliran darahmu mulai beku dan dingin mulai menyergap tubuhmu.

Aku mengambil alih botol tersebut dan menuangkannya lagi ke gelasmu juga gelasku. Sayang, kau kira sebegitu mudahnya aku akan mengikhlaskanmu pada hari esok? Kau pikir aku begitu dermawan untuk mengikhlaskan hal yang paling ku suka pada perempuan lain? Kau kira aku sebaik hati itukah?

Kau mungkin selalu menerka meski aku berpenampilan seperti kebanyakan perempuan ibukota yang depresi, bahwa aku hanyalah gadis kesepian yang butuh ditemani. Begitu ringkih dan tak punya kekuatan untuk melawan jahatnya dunia. Kau tak pernah tahu bahwa aku pun memiliki kekuatan rahasia, ya aku mampu bersekutu dengan Sang Malam. Aku adalah penyihir jahat yang dibakar pada masa-masa gelap abad klasik. Aku adalah sundal yang mencuri bayi-bayi. Aku adalah penguasa aji-ajian pengantar mimpi buruk. Aku adalah segala citra jahat yang abadi melekat dari tubuh mati perempuan.

Sebelum tiba di pertemuan ini, aku telah lebih dulu bersiasat dengan Sang Malam. Sungguh mati aku mengharamkan kau menjumpai esok. Maka ku mohon kepada Malam untuk menjebak kita pada 11.59, tepat setahun sejak pertemuan kita di bar ini. Ia setuju dan berkata bahwa selamanya kau dan aku terjebak pada tengah malam dengan penggadaian masa depan. Kau dan aku takkan pernah menatap mentari pagi. Kau dan aku akan berdua saja menikmati malam-malam tak berkesudahan. Ya, hanya kau dan aku, tanpa perempuan itu, ibu bapakmu, calon mertuamu, atau siapapun orang lain yang kau khawatirkan. Aku tak pernah mau lelaki lain. Aku hanya mau kau!

“Lihat jam di dinding, Sayang!”

Kau menoleh lemas dan memperhatikan jarum jam analog yang tetap berputar namun selalu berhenti di 11.59.

“Nikmati anggur dan rokok ini, Sayang. Rasanya jauh lebih sedap daripada biasanya.”                                                                                                         Bar ini telah sepi. Hanya ada kau dan aku. Kita bebas berdansa di lantai dansa. Bercumbu di meja. Bercinta di toilet. Bertelanjang ria tanpa khawatir mata-mata dunia menghakimi cinta kita.                                                                                            “Aku mencintaimu, Sayang.”

 

Windy Shelia Azhar merupakan penulis lepas di berbagai medium. Ia menulis cerpen, puisi, essai, dan opini berkutat pada isu feminisme, lingkungan, kebahasaan, dan sosial. Pernah kuliah di jurusan Sastra Inggris dan saat ini menempuh pendidikan di Ilmu Komunikasi.

Artikel ini telah dibaca 149 kali

Baca Lainnya

Ssst!

1 December 2024 - 06:22 WIB

WikiArt.org

Hal-hal yang Baik

1 December 2024 - 05:24 WIB

Peliknya Kehidupan Saya

1 December 2024 - 05:16 WIB

WikiArt.org

Harta Karun Pulau Senja

24 November 2024 - 14:13 WIB

Roy Lichtenstein, Figures with Sunset via WikiArt.org

Mengusir Syekh dari Kampung

24 November 2024 - 01:53 WIB

Frida Kahlo, via WikiArt.org

Kupon Undian Umroh

17 November 2024 - 20:33 WIB

Islam, 1965 - Carla Accardi, via WikiArt.org
Trending di Cerpen