Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Budaya · 1 Oct 2023 15:57 WIB ·

Masa Lalu Televisi I Cerpen – Daviatul Umam


 Masa Lalu Televisi I Cerpen – Daviatul Umam Perbesar

Sudah menjadi rutinitas setiap malam, sehabis isya orang-orang di kampung itu akan berdatangan memenuhi emper rumah Haji Rakib. Mereka berangkat dari rumahnya masing-masing atas dorongan satu niat yang sama: ingin menonton televisi. Sebagai tuan rumah, Haji Rakib dengan senang hati menerima kedatangan mereka dan melayani ‘kebutuhan’ mereka. Begitu selesai melaksanakan kewajibannya kepada Tuhan, Haji Rakib punya kewajiban lain yang dianggapnya sebagai kewajiban sosial, yakni mengeluarkan televisi beserta segala perangkat lainnya ke emperan.

Orang-orang dengan beragam usia, laki-laki maupun perempuan, berkumpul penuh semringah. Mereka siap menonton dua sinetron pilihannya. Satu sinetron utama yang menjadi kesukaan bersama, satu lagi sinetron alternatif apabila sinetron utama sedang berseling tayangan iklan-iklan. Tiap malam kamis, serial Angling Dharma adalah sinetron paling top. Sedangkan malam senin seolah menjadi malam kekuasaan Mak Lampir. Malam selasa beda lagi, Nyi Pelet tidak boleh terlewatkan. Begitu pun malam rabu, giliran Nyi Roro Kidul ambil bagian.

Semua penonton sangat terhibur. Kehadiran televisi membuat hidup mereka jadi lebih berwarna. Tidak lagi menjemukan seperti tahun-tahun lalu jauh sebelum aliran listrik masuk perkampungan, meski pemakaiannya masih sangat terbatas. Biasanya, usai isya mereka hanya berbincang ringan sekeluarga di serambi rumah mereka sendiri. Rumah gelap-gulita, di mana sebuah damar yang terbuat dari kaleng bekas cat, bersumbu pintalan kapuk, dimanfaatkan sebagai penerang kecil ala kadarnya. Cuma beberapa rumah tertentu yang memakai lampu dop dengan menggunakan tenaga mesin diesel milik Pak Kadus. Salah satunya rumah Haji Rakib. Tentu saja itu bukan gratisan. Sedangkan sebagian besar warga belum mampu buat membayar uang solar perbulan.

Suatu hari, alangkah hebohnya orang-orang ketika mendengar kabar kalau Haji Rakib hendak membeli televisi. Spontan mereka gembira, akhirnya televisi bisa masuk ke kampung kecil mereka. Itu artinya mereka bakal punya kegiatan sekaligus hiburan baru. Saat mengetahui Haji Rakib dan istrinya sudah tiba di rumah beserta televisi yang dibelinya di kota, beberapa orang tetangga bergegas menghampiri. Mereka menanyakan harga barang unik itu, kapan mulai bisa ditonton, dan pertanyaan-pertanyaan remeh lainnya.

Wajar belaka para tetangga antusias atas kepuasan yang baru saja Haji Rakib dan istrinya peroleh. Sebab, barang tersebut tidak akan dinikmati si pemiliknya saja. Itu barang, jelas akan dinikmati bersama—orang satu kampung—sesuai apa yang pernah Haji Rakib wartakan kepada orang-orang yang biasa menjual hasil panen padanya, “Bulan depan insyaAllah saya mau beli TV. Nanti kita tonton bareng-bareng di sini.” Sehingga menyebarlah kabar baik itu dari bibir ke bibir.

Begitulah Haji Rakib, perbuatannya adalah cerminan dari namanya. Dan nyatanya, sewaktu bernama asli Sadrukun dulu, dia memang sudah dikenal bertabiat baik oleh warga. Sebagai tengkulak biji-bijian, dia sangat dipercaya oleh semua pelanggannya. Haji Rakib tidak pernah curang soal timbangan, tidak pernah pula mempermainkan harga beli yang dipatoknya. Dia katakan secara jujur terkait naik-turunnya harga biji-bijian yang ditetapkan di pusat pemasaran. Barangkali itulah sebabnya—menurut pandangan orang-orang—hidup Haji Rakib dan istrinya tampak berkah.

Aura keberkahan itu pun kian jelas terasa tatkala rumah Haji Rakib selalu ramai tiap malam selama tujuh bulan terakhir. Orang-orang duduk bersama di empernya yang cukup luas menampung 40-an penonton. Bahkan masih terasa lapang dan nyaman jika sebagian orang duduk selonjoran, bertelungkup atau tidur-tiduran. Terlebih, mereka sama-sama tahu diri dengan mengatur posisi yang baik, berbagi tempat, dan saling mengerti satu sama lain. Keharmonisan pun tercipta di antara mereka.

Semula, saat awal-awal siaran televisi mengisi malam-malam mereka, Haji Rakib sendiri yang bertugas menyalakan dan mematikan layar kaca itu sekaligus pemegang remot. Bukan saja karena dia pemiliknya, melainkan karena cuma dialah yang tahu mengoperasikannya. Lama-lama, Haji Rakib menularkan ilmunya kepada Wahyu, keponakannya yang masih kelas empat SD. Setelah Wahyu paham, Haji Rakib tak pernah lagi ikut campur urusan televisi. Tugasnya hanya mengeluarkan televisi dan memasukkannya kembali selepas semua orang bubar. Selebihnya, dia memasrahkan semuanya kepada Wahyu dan para penonton yang lain.

Apabila siaran televisi terganggu—buram, bergelombang, tersendat-sendat, dan semacamnya—itu menjadi tugas penonton laki-laki untuk mengatasi. Dua orang akan memutar-mutar bambu antena sampai ujung antena jenis lima-jari itu mengarah pada titik mata angin yang tepat, sehingga kualitas tayangan televisi kembali normal. Di saat-saat seperti itu kegaduhan pecah membentur dingin malam. Bersahut-sahutan antara suara petugas antena di pekarangan dan suara penonton yang menunggu normalnya tayangan televisi di emperan.

“Gimana? Beres?”

“Belum!”

“Gimana?”

“Belum!”

“Gimana?”

“Nah!”

“Beres?”

“Lagi, lagi! Dikit lagi!”

“Gimana?”

“Udah, udah!”

Perkara semacam itu tidak hanya terjadi satu-dua kali sepanjang waktu tonton. Kendatipun sedikit mengganggu, justru pada detik-detik itulah momen nonton bareng jadi makin seru. Terkesan begitu kompak dan hangat. Keakraban antar sesama tetangga terjalin sempurna.

Lambat-laun, keseruan dan kehangatan malam-malam mereka, diperkokoh dengan terlaksananya inisiatif Bu Suni untuk jualan rujak di halaman rumah Haji Rakib. Beralaskan tikar anyaman daun pandan, Bu Suni menggelar usaha kecil-kecilan itu. Tersedia rujak kacang dan rujak petis sesuai permintaan pembeli. Alhasil, rujak Bu Suni sangat laris manis.

Bocah-bocah yang baru datang dari langgar Ustaz Sufyan nyaris tak pernah absen minta dibelikan rujak sama orang tuanya. Nanti, mereka makannya sambil nonton televisi. Demikian pula ibu-ibu penggemar sinetron laga. Rujak kacang adalah favorit mereka. Setiap hendak berangkat nonton, biasanya mereka membawa sepiring nasi jagung dari rumah untuk kemudian dimakan dicampur rujak kacang. Berbagi nasi pun menjadi pemandangan yang sangat hangat di antara mereka, bilamana salah satu dari mereka membawa nasi dengan porsi lebih banyak.

Untuk menambah penghasilan, Bu Suni juga menjual kerupuk segi-empat ecer. Seratus perak perlima biji. Disediakannya sambal ulek sebagai pelengkap dagangan biar pembeli semakin tergiur. Dan betul, kerupuk Bu Suni laku keras di tengah keramaian itu. Hampir tiap malam satu kantong kerupuk yang dibelinya dari juragan kerupuk di pasar dipastikan habis. Selain karena kerupuknya memang enak dan gurih, kata orang-orang, sambal ulek buatan Bu Suni sangat mantap dan bikin nagih. Cocok sekali dijadikan ‘teman’ nonton.

Sungguh, malam-malam di rumah Haji Rakib menjadi momentum spesial yang tidak akan pernah terlupakan. Malam-malam yang sangat menyenangkan dan terasa sulit melewatkan satu malam saja kecuali dalam kondisi terpaksa. Selagi tubuh sehat dan tidak ada rintangan apa pun, orang-orang akan tetap berangkat membelah pekat malam dengan sebuah obor.

Hingga setahun kemudian, penonton televisi di rumah Haji Rakib hampir separuh berkurang. Pasalnya, Pak Kadus juga membeli televisi demi mengabulkan keinginan anaknya yang setengah mengamuk minta dibelikan televisi. Sebab itulah warga peminat televisi terpecah menjadi dua kubu. Hal ini membuat Haji Rakib sempat sakit hati. Walau jumlah penonton tetap lebih banyak di rumah Haji Rakib, tetapi jelas, keramaian di emper rumahnya menyusut. Dagangan Bu Suni tidak selaris dulu. Suasana pun tampak berbeda sekali dari biasanya.

Bagaimanapun, momen nonton bareng di masing kubu sama-sama asyik. Hanya saja, di rumah Pak Kadus tidak ada orang jualan rujak atau makanan apa pun. Penonton yang terbiasa mengikuti tayangan televisi sembari makan rujak atau kerupuk di rumah Haji Rakib jadi merasa ada yang kurang.

Seiring bergulirnya waktu, suasana malam di rumah Pak Kadus lebih hidup ketimbang di rumah Haji Rakib. Satu-persatu penonton televisi di rumah Haji Rakib berpindah haluan ke rumah Pak Kadus. Televisi lama yang dijual oleh Pak Kadus dan televisi baru yang dia beli sebagai gantinya, menjadi alasan kenapa orang-orang lebih banyak memilih nonton di rumah dia. Selain karena kualitas gambar televisi barunya itu jauh lebih bagus ketimbang yang lama—dan tentu juga dibanding televisi Haji Rakib—lama-lama dia juga membeli VCD Player sekaligus kaset-kaset ludruk teranyar. Wajar saja warga makin tertarik dan betah.

Sementara itu, agar dagangannya tetap lancar sebagaimana sedia kala, pindah jualan di rumah Pak Kadus adalah pilihan yang tepat bagi Bu Suni. Tak heran jika kemudian malam-malam di rumah Haji Rakib kian hari berangsur sepi. Wahyu yang dipercaya sebagai pemegang remot pun sudah berpaling pula ke rumah Pak Kadus. Pada akhirnya Haji Rakib memutuskan menjual televisinya, dan uang dari hasil penjualan barang itu dia pakai buat beli burung perkutut.

***

Tahun demi tahun berlalu. Selalu saja ada yang berubah dari masa ke masa. Zaman berkembang pesat. Bersamaan dengan itu, perekonomian masyarakat melonjak tinggi berkat adanya sebuah usaha baru yang begitu menjanjikan di Jakarta. Kini, apa yang selama ini diimpikan oleh orang-orang dusun betul-betul terkabul. Energi listrik sudah bisa digunakan sepuasnya secara mandiri. Setiap orang memasang meteran listrik di rumahnya. Bermacam alat elektronik mulai mengisi dan mempercantik ruangan-ruangan rumah mereka.

Nyaris tidak ada rumah tanpa antena parabola. Bila ada dua-tiga rumah berjajar, maka berdiri pula antena parabola di masing halaman rumah yang berdempetan itu. Seolah-olah televisi sudah menjadi barang yang wajib dimiliki setiap orang. Sayangnya, televisi-televisi yang mendiami rumah mereka jarang sekali dinyalakan. Sebab, pemiliknya lebih banyak menghabiskan waktu di perantauan. Sulit bagi mereka meninggalkan satu-satunya pekerjaan di tanah seberang sana, yang telah mengentas mereka dari jurang kemiskinan sekaligus memanjakan segala keinginan mereka kini.

Tua-muda sama-sama menggandrungi pekerjaan itu. Mereka menambah kepadatan Jakarta dan berbaur dengan hiruk-pikuknya. Orang lansia seperti Pak Kadus (sekarang bukan kepala dusun lagi) berdiam saja di rumah, tinggal menunggu kiriman uang dari anaknya yang juga menekuni bidang usaha yang sama, sebagaimana tetangga-tetangganya di ibu kota. Sedangkan Haji Rakib yang tidak dikaruniai buah hati hingga dirinya bau tanah, menikmati sisa-sisa hidupnya yang terlunta. Sesekali Wahyu mengiriminya sedikit uang dari perantauan sebagai balas-budi karena dulu Haji Rakib sangat perhatian sama keponakannya itu.(*)

Daviatul Umam, lahir dan tinggal di Sumenep, Madura. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Kini bergiat di Komunitas Damar Korong, Sumenep. Buku puisinya yang telah terbit bertajuk Kampung Kekasih (2019). Bisa disapa di Instagramnya: @daviatul.umam

Artikel ini telah dibaca 128 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Ssst!

1 December 2024 - 06:22 WIB

WikiArt.org

Hal-hal yang Baik

1 December 2024 - 05:24 WIB

Peliknya Kehidupan Saya

1 December 2024 - 05:16 WIB

WikiArt.org

Kisah-kisah Menjelang Pulang dari Borobudur Writer Cultural Festival (BWCF) 2024

24 November 2024 - 16:26 WIB

Hasbunallah Haris, prosais, novelis harapan bangsa

Sendirian ke Festival

24 November 2024 - 15:25 WIB

The Venyamin membawakan "From Behind the Iron Bars"

Harta Karun Pulau Senja

24 November 2024 - 14:13 WIB

Roy Lichtenstein, Figures with Sunset via WikiArt.org
Trending di Cerpen