Cerpen Sasti Gotama
Mursal bersiap merapal mantra keseratus enam puluh tiga. Tongkatnya terangkat tinggi-tinggi. “Abrakadabra!” Dari dalam kotak yang sebelumnya kosong, ia mengeluarkan tiga tikus putih, dua tekukur liar, dan juga seikat bunga krisan. Tak ada tepuk tangan, hanya satu dua orang lalu lalang tanpa sekali pun melempar uang.
Ia menurunkan tongkatnya. Kereta terakhir sudah berangkat. Sebentar lagi trotoar stasiun akan sesenyap isi kepalanya. Sebetulnya Mursal sudah sangat lelah, tetapi kakinya harus tetap tegak, semenit lagi atau tujuh menit lagi atau satu jam lagi, paling tidak hingga kaleng uangnya setengah terisi.
Sebulir keringat merayap turun dari dahi, lalu jatuh, lalu menjenuh dalam jubah hitamnya. Dulu, gerah tak pernah hinggap di tubuhnya. Di ruang-ruang hotel berpendingin, kulitnya tetap kering, orang-orang bersorak-sorai, dan rekeningnya tetap gendut hingga akhir pekan.
Lalu, tiba-tiba ponselnya tak lagi menerima panggilan, karena hotel-hotel tak lagi menggelar acara, karena pengunjung-pengunjung tak lagi datang, karena sudah sebulan pagebluk menyerang. Padahal dulu, sejak ia memenangkan kontes sulap di televisi, panggilan manggung tak pernah berhenti. Kini, semua berbeda. Demi Nastiti, ia rela meringkus malu dan pentas di jalanan.
Ia menatap kaleng uangnya. Hanya selembar dua ribuan dan tiga koin lima ratusan. Ia bertanya-tanya, apa yang akan Nastiti ucapkan. Pasti ia akan tertawa. “Tak apa, kita masih punya simpanan,” selalu itu yang Nastiti ucapkan. Padahal Mursal tahu, tabungan mereka tak lagi bersisa. Ia menyadari, kemarin gelang Nastiti mendadak raib. Padahal itu gelang kesayangannya semenjak gadis. “Mungkin jatuh saat ke pasar kemarin. Tak apa, hanya imitasi murahan,” cetus Nastiti. Namun Mursal tahu, itu emas asli, dan mungkin Nastiti sudah menyulapnya menjadi pulsa listrik, iuran BPJS, dan beriris-iris tempe goreng.
Karena trotoar sudah sepenuhnya sepi, ia memutuskan mengemasi bunga-bunga dan tikus-tikus putih itu ke dalam kotak. Baru saja ia mengangkat kotak perlengkapannya itu, seseorang menyenggol sikunya. Kotak itu jatuh dengan suara berdebum. Tikus-tikus putihnya berloncatan keluar. Mursal berusaha meraih ekor mereka, tetapi gagal.
“Maaf, Mursal. Benar Mursal, kan?”
Mursal mendongak. Ia mengenali suara itu, tak pernah lupa. Si Badut. Dengan sigap, lelaki itu membantunya menangkap ekor-ekor si tikus bengal.
“Kupikir penyulap menggunakan kelinci,” cetusnya sambil memegang ujung ekor tikus-tikus seolah itu hanyalah sungut kecoa. Seulas senyum dungu nangkring di wajahnya.
“Ini tren baru. Aku baru saja pulang syuting. Kau pasti jarang menonton televisi. Tikus lebih cerdas dari kelici, mungkin karena stuktur otaknya lebih mirip dengan manusia,” timpal Mursal sambil menerima dan menyimpan tikus-tikus itu dalam kotak. Sepertimu, tambahnya dalam hati. Tak mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, kalau ia tak punya uang untuk membeli kelinci atau merpati.
Si Badut manggut-manggut. “Apa kabar Nastiti?” Ia mengatakannya sambil lalu tanpa jejak emosi sedikit pun, seperti kakak tua yang mengucapkan selamat datang setiap petang.
“Baik,” gumam Mursal. Sebetulnya ia malas menjawab pertanyaan ini. Si Badut, yang memakai seragam wearpack jingga berlogo perusahaan milik negara, menegakkan badannya dan menepuk lututnya yang kotor. Mursal tahu nama lelaki itu Norman, tetapi ia tak sudi mengucapkan namanya.
“Syukurlah. Saat pandemi seperti ini, mendapat uang memang tidak mudah. Banyak negara mengalami resesi.”
Mungkin si Badut hanya mencoba menjadi pengamat ekonomi amatiran atau mungkin ia hanya basa-basi saja atau mungkin ia memang sengaja mencabik-cabikku dengan ejekan, pikir Mursal, sebal.
“Ia baik-baik saja. Kami baik-baik saja. Uang tak menjadi masalah bagi kami,” cetus Mursal. Ia menegakkan punggung dan memamerkan senyum sempurna. Paling tidak begitulah harapannya.
“Ah, tentu saja. Kau ini artis televisi. Salam untuk Nastiti. Pasti sekarang ia sedang menunggumu. Kau keparat yang beruntung,” cetus si Badut sambil tertawa.
Berani-beraninya ia menitip salam. Apakah ia masih merindukan Nastiti? Apakah memukul hidungnya yang bengkok itu akan terasa menyenangkan? Suara-suara bingar itu merundungi kepala Mursal.
Ketika menyadari Mursal tak juga menimpali, si Badut tersenyum, memberi isyarat pamit, lalu berbalik. Mata Mursal mengekori lelaki itu hingga ia naik ke sedan merah yang ia doakan segera berubah menjadi labu.
Seperti dugaannya, Nastiti sudah menunggunya di rumah dengan seember air hangat. “Mandilah dulu. Pasti kau kegerahan,” cetus istrinya sambil membantunya membuka kemeja hitam.
“Aku tadi bertemu si Badut,” gumam Mursal. Nastiti tergelak. “Kau masih saja menyebutnya Badut.” Mursal tak menimpalinya. Ada alasan kenapa ia menyebut lelaki itu badut. Yang pertama, tentu saja karena malas menyebut namanya. Yang kedua karena lelaki itu selalu berhasil membuat Nastiti tertawa. Yang ketiga, karena ia ingin Nastiti menganggap Norman hanyalah lelucon yang lewat di kehidupannya. Hingga saat ini, Mursal masih bertanya-tanya, mengapa Nastiti memilih meninggalkan si Badut dan menikah dengannya. Tetapi ia terlalu takut mendengar jawabannya.
“Ia bajingan yang beruntung. Pegawai negara tak akan bisa bangkrut,” cetus Mursal sambil melemparkan bajunya yang jenuh dengan keringat ke keranjang cucian. Ia teringat Sabri yang di-PHK pabriknya, atau Soni yang kedai kopinya sepi atau dirinya yang tak lagi mendapat panggilan tampil. Ini seperti hujan mortir, tetapi yang ia punya hanyalah tenda usang, sedangkan si Badut memiliki bunker lengkap dengan kolam renang, ruang spa, dan berton-ton cadangan makanan.
“Siapa yang beruntung?” Nastiti mengulurkan handuk kepadanya. “Paling saat ini ia hanya disapa pagar rumah, tidak sepertimu,” cetus Nastiti sambil mengedipkan sebelah mata.
Mursal tak memungkiri itu. Tetapi bagaimana dengan Nastiti? Apakah ia beruntung? Tidak, sepertinya tidak, pikirnya.
Di bawah guyuran air hangat, pikiran-pikiran yang merundung otaknya tak juga menepi. Ia sadar, bahwa pandemi ini mungkin takkan segera lenyap selama orang-orang masih lalu lalang di jalanan. Ada yang memang terpaksa, seperti dirinya, demi memungut keping-keping uang logam. Namun ada pula yang memenuhi jalanan hanya demi membunuh kebosanan. Melihat jalanan ramai, di satu sisi ia sedih, di sisi lain ia lega, karena itu berarti ada harapan kalengnya berisi recehan. Namun ternyata, harapan itu pun harus ia pupus perlahan-lahan. Ia mulai melihat jalan buntu. Kali ini, ia harus memikirkan jalan memutar untuk memastikan Nastiti bahagia.
Esok paginya, Mursal menghadiahi dirinya sendiri liburan. Sejak subuh, ia mulai membongkar gudang. Papan-papan kayu bekas ia bentuk menjadi kotak seukuran dirinya.
“Ini akan menjadi trik paling spektakuler! Kotak bahagia selamanya!”
Nastiti tertawa. “Tanpa kotak itu, aku sudah bahagia, Sayang.”
“Tidak. Ini akan membuatmu bahagia selamanya. Se-la-ma-nya!”
Sekali lagi, Nastiti tergelak. “Tak sabar menunggunya. Kapan ujicoba perdananya?”
“Besok.”
Minggu malam, Mursal mengatur beberapa kursi di depan halaman. Ia memisahkan daerah pentas dengan kursi-kursi penonton menggunakan sebuah tali panjang. Kotak kayu berukuran satu meter kubik itu, ia letakkan di tengah-tengah area pentas.
Ia meminta Nastiti menempati satu di antara 3 kursi yang berjajar paling depan. “Apakah kau mengundang orang lain?” tanya Nastiti heran.
“Iya, tapi sepertinya ia terlambat. Tak apa. Duduklah. Aku akan mulai atraksi sulapnya.”
Nastiti mengerutkan dahinya, tetapi ia menurut dan duduk di kursi miliknya.
Mursal mulai membungkuk dan melambaikan tangannya, seolah itu hal alamiah yang ia lakukan setiap hari usai membuka mata. “Tuan dan Nyonya, saya akan mempertunjukkan sebuah pertunjukan spektakuler yang dapat membuat istri saya bahagia.”
Nastiti bertepuk tangan. Mursal membuka kotak itu, menunjukkan bahwa isinya kosong, tanpa lubang dan tanpa jalan rahasia.
Dengan nada bersekongkol, Mursal berbisik, “Hitung sampai tujuh, lalu ucapkan abrakadabra, setelah itu, voila! Kau akan bahagia.” Setelah mengucapkan itu, Mursal melangkah masuk ke dalam kotak dan menutup kotak dari dalam.
Nastiti menunggu. Ia bertanya-tanya, apakah Mursal akan muncul dengan kelinci-kelinci lucu atau burung-burung dara atau bunga-bunga alamanda? Ia mulai menghitung. Satu … dua … tiga … empat … lima … enam … tujuh. Tak terjadi apa-apa. Nastiti mengulangi hitungannya dengan suara lebih keras. Tak terjadi apa-apa. Sekali lagi. Sekali lagi. Sekali lagi. Tak ada yang terjadi.
“Ayolah, Sayang. Mana kejutannya?” cetusnya dengan suara diriang-riangkan. Mendadak hatinya terperosok ke dalam lubang dalam. Firasatnya tidak enak. Ia memanggil nama Mursal berulang-ulang. Namun tetap tak ada jawaban. Sebuah sedan merah merapat ke halaman. Nastiti dengan gelisah mendekati kotak. Si Badut turun dari mobil. Nastiti membuka kotak. Si Badut ikut melongok. Kosong.
“Ayolah, Sayang. Ini sama sekali tak lucu!” Nastiti memanggil-manggil nama Mursal lagi. Suaranya semakin meninggi. Nadanya semakin sumbang. Ia menyibak semak alamanda, membuka tong sampah, mengintip gorong-gorong, tetapi tak juga ia menemukan Mursal. Si Badut yang kebingungan, mengekori Nastiti dengan wajah dungu.
TAMAT
Sasti Gotama, cerpenis, penerjemah, penyuka sate padang. Kumpulan cerpen terbarunya adalah Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam (Diva Press, 2020). Salah satu karyanya, “Apa yang Dibisikkan Paul McCartney di Telinga Janitra?” masuk dalam karya pilihan Kompas 2020.