Usai magrib dengan tanda rona jingga tertelan hitam malam. Pada sebuah kursi tepi jalan metropolitan; seorang pemuda berambut keriting gondrong sebahu, berkaos hitam oblong terduduk melepas asap rokok bilahan yang baru dia beli. Bajunya tampak basah pada bagian lengan. Kadang ia goyang-goyangkan pula rambutnya dari percik air yang masih menempel. Matanya legam tanda ia petualang jalan. Sorotnya merujuk pada kerlap-kerlip lampu mobil dan bangunan di seberangnya. Asap keluar bebas tak beraturan dari mulutnya yang hitam ke biru-biruan. Pemuda itu menikmati anggun kehidupannya.
Tak jauh dari pemuda gondrong itu berjalan dengan ekspresi bingung sebuah rombongan berjubah gamis putih baru keluar dari mesjid yang jaraknya mungkin 500 meteran.
Tampak mata rombongan berjubah itu menelisik dan mencari pada setiap sudut-sudut tempat. Salah satu di antaranya pria setengah baya bertubuh gempal, berpeci putih dengan dahi hitam; tanpa alas merekatkan tapak kaki pada semen di trotoar jalan.
Mendekati pria gondrong itu rombongan berhenti dengan tatapan penuh keyakinan.
“Mas??!” panggil seorang pria tanpa alas itu.
Pria gondrong menengok sambil terkekang asap rokok di wajahnya.
“Bukankah sandal yang kau gunakan itu mirip kepunyaanku yang barusan hilang??”
Pria gondrong melihat sepasang sandal miliknya.
“Maaf, Pak. Mungkin sandal kita sama mereknya?”
“Tidak??? Sandal itu milik saya” jawab pria itu lagi.
“Sungguh, Pak. Ini punya saya?”
Rombongan berjubah itu mulai mengerubung. Dengan wajah beku tajam dia memandangi perawakan dan penampilan si pemuda urakan dalam poin recehan.
“Mas coba balik sandalnya?” pinta pria yang kehilangan sandal.
Pemuda itu menuruti. Setelah dibalik ternyata ada tanda asing yang pemuda itu tak kenal.
“Nah iya, bukan? Ada jarum pada penguncinya. Itu sandal saya??” kata pria tanpa alas kaki.
“Mas!? Sampeyan tau tidak orang ini siapa?” tanya seorang lain dengan nada agak meninggi. Belum sempat mulutnya mengatup dia menjawabnya sendiri. “Ini H. Insani, tokoh disegani di sekitar sini? Jangan niat tidak baik, Mas!?”
Ada unsur perdebatan di sana dalam bungkus ketidaktahuan dan pengingkaran. Hal itu tentu membuat warga sekitar penasaran dan ikut mendekat.
“Apa!!!? Ada apa, Pak??”
“Ini maling sandal!!?” timpal pria berjubah gamis lainnya.
“Wah kurang ajar!!! Bawa ke RT saja!!”
“Langsung ringkus ke kantor polisi!!”
“Ah tak perlu! Selesaikan di sini saja!!”
Berbondong-bondong orang merapat mengerumun dan menghardik. Si pemuda gondrong dengan kecemasan tinggi tetap tak mau akui dan sebisanya beri penjelasan.
“Sudah!!!? Sudah!!?” tengahi H. Insani. Dia berkata sambil terus menyabari dengan merentangkan tangannya.
“Mas ini siapa namanya?”
“Arsakha” jawab pria gondrong.
“Woy jangan nyolot! Matanya datar saja Tak belajar adab kau!!” kembali ketus seruan dari seorang pria berbaju gamis.
H. Insani kembali menenangkan. Dia kemudian memberi kesempatan untuk Arsakha bicara.
“Saya pengamen sekitaran jalanan ini. Benar tampilan saya urakan. Dan biar itu wujud rasa merdeka kepada Tuhan yang ciptakan saya. Tuan yang suci kaya ilmu dan berisi. Apakah penuduhan begini sudah jadi budaya dan tradisi? Ibu saya tak pernah berikan air susunya untuk bentuk saya sebagai pencuri. Mungkin sandal itu tertukar di mesjid.”
“Alahhh bacot!!!!Gerandong gondrong ini kuyakin pencuri!! Sudah tak heran dengan berandalan kayak gini” kata satu warga seolah tahu dan senang provokasi. “Banyak kedoknya. Mulai jadi pengamen, pemulung, sales, dan lain-lain. Sudah jangan kasih kendor. Hajar saja!”
“Ya!! Ya!! Ya!!!” teriak persetujuan warga lainnya.
“Tapi memang saya bukan pencuri, Pak. Kalian yang berbaju bersih, apa ini hasil amalan ibadah yang bapak pelajari?” kata Arsakha semakin berani.
“Woyy jangan ajari kami soal ibadah!!! Maling, kau ini tau apa!!” seru satu pria gamis.
“Cukup!!? Cukup!!? Ayo kita lihat ke mesjid. Sabar!!!! Mungkin benar katamu, sandal kita tertukar” kata H. Insani.
Semuanya setuju dan dengan dicengkram tangannya, Arsakha dibawa seolah terpidana tanpa alas kaki. Sepasang sandalnya telah berpindah ke kaki H. Insani.
*
Di halaman mesjid, sudah berapa kali putaran tapi tak ketemu sandal yang dimaksudkan. Wajah Arsakha mulai dingin oleh banjir peluh. Sementara sekitarnya mata-mata garang serigala telah menandainya sebagai santapan.
“Sudah maling!! Mengajari agama lagi!!!” kata satu pria gamis jengkel sambil mulai anarkis menjambak rambut gondrong Arsakha. Pria lainnya ikut terpancing dan mulai satu-satu menganiaya dengan pukulan. Seorang pria yang sedari tadi mengamankan Arsakha dengan mencengkram tangan mulai lebih senang menjambak agar buruannya tak kabur. Tapi tak lama karena sekonyong-konyong aneka batu dan bata hingga balokan mulai terbang mengarah dan menghujam. Dia lepas jambakan Arsakha dan membiarkan pemuda itu berhujan hantaman benda-benda keras nan cadas.
“Tenang saudara!!!! Tenang!!! Astagfirullah!!! Allahu Akbar! H. Insani mulai panik. Kerumunan bahkan dari rekan segamisnya juga bertambah beringas.
Bak!!!Buk!!!! Bak!!Buk!!!
“Ampun!!!! Ampun!!! Pak!!!! Sakit!!! Ampunn!!!’ jerit Arsakha terduduk menahan pilu dan nyeri sekujur tubuh. Melihat kebrutalan itu H.Insani menubruk dan mengelumbuni Arsakha dengan tubuhnya.
“Saya mohon cukup!!! Saudara!! Cukup!!! Allahu Akbar!!!! Cukup!!!” seru H. Insani melindungi.
Hujan batu dan kayu berhenti.
“Haji. Tak pantas Anda lindungi dia. Jangan kasih kendor Ji!!”
“Benar!!! Baru minggu lalu mesjid ini kemalingan ampli speaker. Setiap Jumat juga sandal. Malam ini pun sama. Sudah jadi sarang jarahan rumah Allah ini. Patut jika tertangkap kita bakar seperti dulu-dulu..!!!”
“Ya!!!ya!! ya!!”
H. Insani sebagai tokoh deretan gang sekitar sini memang mengetahui cerita tentang pembakaran pencuri ampli mesjid setengah tahun lalu. Mungkin dari perbuatan itu emosi kerap meledak pada sebagian warga jika mendapatkan kabar tentang penangkapan seorang pencuri.
Dengan wajah biru bengkak dan kucuran darah mencuat dari lubang hidung dan mulutnya Arsakha menukas lemah.
“Luar biasa kalian. Luar biasa??” suara Arsakha terengah-engah. “Inilah karakter kita. Sungguh hina diri kalian dibanding seorang pelacur!”
“Ooohhh mulutmu!!!” teriak satu pemuda gamis dengan sepakan.
Bukk!!!! Mendarat ke uluh hati Arsakha. Dia tersungkur memegang dada lalu tampak memuntahkan sari makanan bercampur darah.
H. Insani masih menenangkan dengan siaga terhadap colongan serangan.
“Ku mohon Ji. Jangan lindungi dia. Sudah jelas buktinya iblis satu ini memang maling!!!”
“Tak berhak kita bicara begitu Sofyan!!! Istighfar!! ” tangan H. Insani mencengkram pundak salah satu muridnya itu. “Aku tak ajarkan kesombongan!”
“Tapi jalanan penuh dengan ketegasan! Budaya itulah yang berlaku sekarang.”
Masih merasa pusing dan mual, Arsakha mencoba untuk kembali duduk. Dari gerai rambut keriting gondrongnya, seutas senyum mengalir merah berpoles darah.
“Lihat gerandong ini!!! Masih tersenyum. Tampang penduduk neraka!!” lanjut Sofyan geram.
“Dia gila menjelang ajal. Itu karmanya!” sergah seorang warga lain..
Sofyan yang sangat geram berapi-api lalu melanjutkan:
“Jika kita biarkan yang seperti ini, Ji. Kita yang akan lemah terhadap penjahat”
“Aku tak setuju. Aku akan bawa dia ke kantor polisi. Ini sandalku. Urusanku! Kalian pulang!”
H.Insani berjalan ke arah Arsakha. Tapi tubuhnya dicegah Sofyan. Hingga satu pekikan muncul disusul pekikan lainnya.
“Hajar!!!!”
“Sudah kalungi ban. Kita bakar seperti dulu!!”
“Setuju!!!!”
“Ambil pertalite!!! Cepat ambil!!!!!”
“Ya!! Ya!! Ya!!!” Seruan gemuruh terdengar kembali.
“Aku pilih kemerdekaan jalanku!!! Aku terlahir tanpa busana. Pulangpun itu pilihanku mau bagaimana!!! Setidaknya aku sembah Tuhanku dengan tiada kemunafikan seperti kalian” desis Arsakha makin pucat.
H.Insani merangsek maju dan berjongkok. Beliau berusaha menopang Arsakha yang lumayan parah dan kuyup oleh keringat bercampur cairan merah.
“Sudah!!! Panggilkan ambulan!!! Ayo kita bawa ke rumah sakit!!!” teriaknya yang melihat hawa dingin menyelimuti kulit Arsakha.
” Lihat sekaratnya susah begitu. Pasti malaikat maut menjambak rambut gondrongnya dan tarik ulur dengan rohnya” kata seorang gamis lagi sambil tertawa. Yang lain juga tak kalah terbahak. Dia lalu menyelinap ambil bata dan melemparnya tepat ke dada Arsakha.
Arsakha tersentak ke belakang tak tertahan. Dia ambruk dan mengejang sebentar menekan bagian dada yang lebam oleh hantaman. Mulutnya terus keluarkan darah merah kehitaman. Wajah H. Insani panik bukan kepalang. Dia minta tolong tapi semua warga masih diam menonton. Mata mereka sungguh angkuh melihat Arsakha merenggang nyawa seolah binatang hina.
Dari mesjid lain tampak kumandang Azan Isa memanggil. Semua jemaah di sini dengan posisi memunggungi mesjid masih fokus menyaksikan tubuh tak bergerak Arsakha di pelataran. Ekspresi H. Insani yang begitu memilukan. Dia merasa hidup tapi mati menyaksikan keanarkisan warganya terjadi di rumah sang pencipta. H. Insani menangis sambil tetap memohon agar Arsakha bangun. Tapi percuma, tubuh itu dingin berselimut malam.
Dari pinggir jalan meluncurlah masuk seorang marbot masjid yang rumahnya hanya berjarak 50 meteran dengan sepeda. Melihat mayat tergeletak bersimbah darah di halaman mesjidnya membuat mata marbot itu membelakak tak percaya.
“Lah!!! Bukankah ini pemuda yang ikut salat Magrib tadi??? masyallah kenapa dia!!?
H. Insani terkejut dan langsung memburu.
“Salat Magrib? Tapi aku tak melihat dia Mang?”
“Dia berada pada shaff belakang paling ujung. Saya tanya mengapa nggak ke depan, katanya barisan depan itu pengemudi sementara dirinya hanya penumpang. Ikut nebeng di mana saja asal sampai itu sudah cukup” jawab marbot itu menirukan.
Sungguh sebuah ekspresi sesal yang mendalam terburai dari wajah H. Insani. Tak terkecuali warga yang lain. H. Insani melihat wajah babak belur Arsakha. Dia seka mata pemuda itu yang sedikit terbuka. Mata H. Insani masih bengkak merebang, ia palingkan wajahnya ke samping. Melalui cahaya lampu putih berembun seperti ruh; H. Insani tanpa sengaja menatap kaki marbot. Bagai tersambar petir, mata H. Insani terperanjat manakala melihat kesamaan sandal yang dipakai marbot tersebut dengan sandal miliknya.
***
Heri Hailing, nama pena dari Heri Surahman seorang guru di SMAN 2 Jorong. Lahir di Kapuas, 17 Agustus 1990 .












