Mega-mega mendung berarak beriringan di atas langit jingga. Farhadin terus mengulang-ulang kalimat itu dalam kepalanya, tanpa mengerti sepatah kata pun. Dalam pikirannya, gadis-gadis cantik jelita bernama Mega, Mendung, dan Jingga sedang melakukan sesuatu di atas langit, layaknya para bidadari. Kalimat itu ditemukan Farhdin pada robekan kertas koran pembungkus kacang rebus yang dibeli dari kantin sekolahnya. Begitu terpesona oleh bayangan dalam kepalanya, ia tak peduli apakah itu sebuah penggalan cerpen atau puisi. “Mega, Mendung, dan Jingga. Siapa mereka ini?” tanyanya terpukau. Di desa, mereka jarang berbahasa Indonesia. Begitulah, walaupun di sekolah mereka diharuskan menggunakan Bahasa Indonesia dengan ancaman hukum jemur jika ketahuan berbahasa daerah, tapi tetap saja pikiran dan ucapan mereka berbahasa ibu. Jadi, tidaklah mengherankan jika pemahaman mereka tak sepadan dengan penggalan cerpen dalam sobekan koran itu.
“Farhadin!” bentak guru matematikanya. “Cepat maju ke depan!’’
Wajah Bu Lindun sudah tidak bisa ditebak, keringat melunturkan bedak putih yang ia taburkan untuk menutupi kulit cokelat sawo mudanya. Lipstik merahnya terhapus makan siang, dan celak hitam yang ia gariskan di kelopak matanya terlihat celaka.
Berbicara dalam bahasa daerah mereka, Munajim, Saban, Karun, dan Farhan berbisik-bisik. “Mati sudah dia,” kata Munajim. Munajim adalah murid tertua di kelas itu, ia sudah tinggal kelas selama tiga tahun. Oleh karena itu, ketenarannya sebagai pembuat onar, bengal, bodoh, dan kurang ajar tak dapat lagi ditandingi. Kemashyuran ini jugalah yang menyebarkan kepercayaan yang kemudian dianut oleh para guru, penjaga sekolah, bahkan warga desa yang tinggal di sekitar sekolah. Mereka percaya, bahwa di sekolah itu hanya anak-anak dengan kualitas seperti Munajim inilah yang mengalami nasib seperti itu. Jadi menjauhlah dari Munajim dan jangan pernah bermain atau mendengarkan perkataannya, karena nasib buruk bisa menular seperti penyakit. Begitu perintah guru-guru kepada para murid yang semangat belajarnya tak kalah tinggi dari tanaman padi di musim kemarau.
“Cepat maju!” bentak Bu Lindun yang diikuti suara pukulan pengaris kayu di atas meja.
Farhadin menatap Munajim memohon pertolongan. Farhadin dan semua anak laki-laki di kelas itu tahu bahwa di balik ketenarannya sebagai pembuat onar, bengal, bodoh, dan kurang ajar, Munajim sangat pandai berhitung. Itulah mengapa mereka tak bisa membohonginya tentang jumlah kelereng atau kembalian uang belanja. Namun, pengalamannya duduk di kelas yang sama setelah hampir tiga tahun, mengajarkan Munajim untuk jangan pernah berbuat onar saat guru—terutama guru wanita—mulai memukuli meja. Jadi, Munajim diam saja, menatap Farhadin dengan tatapan penuh doa. Sementara itu, kaki Farhadin gemetar; ia berdiri perlahan, kaus kaki putihnya terasa mengencang, tali sepatunya terlepas, dan langkahnya lesu.
“Kerjakan nomor tiga!” perintah Bu Lindun yang sudah lelah membentak-bentak. Sejak nomor 1 tadi, hanya Yuanida yang ikut menyelesaikan soal dengan benar. Hasim, anak pemilik toko terbesar di desa itu berhasil menyelesaikan pertanyaan nomor 2 dengan susah payah, cucuran keringat, dan keberuntungan yang datang tanpa sengaja. Apa daya Farhadin yang sejak tadi memikirkan Mega, Mendung dan Jingga? Ia mulai memanjatkan doa-doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar terlindung dari marabahaya dan godaan setan yang terkutuk.
Papan tulis hitam menggantung di hadapan Farhadin, tengkuknya dingin, lututnya mulai lemas, ia menengadah, matanya mencari jawaban dari pertanyaan nomor 3.
“Kamu ndak tahu nomor tiga!” Bu Lindun kembali berteriak. “Mau jadi apa kamu semua, ha?” Kali ini sambil mengangkat kapur tulis berwarna biru. “Ini nomer tiga… Tiga!” kata Bu Lindun sambil melingkari nomor 3 dengan kapur biru. Debu kapur berguguran jatuh di rambut Farhadin. Tentu, Farhadin tahu mana nomor 3 yang dimaksud Bu Lindun.
3 x 7 + 20 – 15 = ?
Tulisan Bu Lindun di papan tulis diam membisu. Farhadin semakin gemetar.
“Ya, Allah,” kata Bu Lindun lirih, menahan geram. “Tiga kali tujuh berapa Farhadiiin?” Huruf i pada akhir nama Farhadin ditekan Bu Lindun bagai pegangan untuk menekan amarahnya sendiri. Sudah dua minggu ini kesialan dan nestapa datang menghampiri hidup Bu Lindun. Gaji seorang guru di desa itu tidaklah seberapa. Hutang-hutangnya terus bertambah. Sementara gajinya yang tak seberapa itu belum terbayarkan selama tiga bulan ini. Soal matematika yang diberikannya kepada murid-murid ini adalah cara baginya untuk membagi penderitaan itu, agar mereka setidaknya mengerti betapa banyak masalah yang bisa timbul akibat satu hutang ditambah dua hutang yang sudah dimiliki, terlebih lagi jika tiga hutang yang sama diambil berkali-kali. Hal itu juga dilakukannya sebagai bekal bagi mereka ketika dewasa nanti.
Farhadin yang sudah sejak awal dilanda ketakutan semakin tak berkutik. Pikirannya kosong, bahkan Mega, Mendung, Jingga tak lagi ada di sana. “Tiga kali tujuuuuuuh,” gumamnya sambil berpikir. Namun, tetap saja ia tak menemukan jalan mengalikan kedua angka itu.
“Tiga kali tujuh berapa?” tanya Bu Lindun di hadapan kelas.
“Dua puluh satu!” seru Yuanida yang kemudian diikuti oleh kawan-kawannya yang lain.
“Tulis, dua puluh satu!” kata Bu Lindun yang sedikit terhibur oleh jawaban Yuanida.
Farhadin melangkah ke depan menuliskan angka itu.
“Nah, sekarang dua puluh satu tambah dua puluh, berapa?” tanya Bu Lindun.
“Empat puluh,” jawab Farhadin dengan kepercayaan diri yang mulai tumbuh.
“Ya, Allah!” seru Bu Lindun yang merasa tersinggung sekaligus putus asa dan mulai memecut kaki Farhadin dengan lidi daun kelapa. “Dari tadi kamu pikirkan apa, ha?!”
Lecut lidi itu terus mendera kulit Farhadin, terasa panas sekaligus perih yang membuatnya meloncat-loncat. Semakin lama lecutan itu semakin kuat. Farhadin berusaha melindungi betis dengan tangannya, tapi sia-sia. Kini rasa sakit malah menjalar ke tangan dan kakinya. Semakin ia menghindar, semakin leluasa lecutan lidi menyayat kulitnya.
“Suuuun…” pekik Farhadin sambil meringis serta mengosok-gosok wajahnya.
“Sun apa? Sun apa!” Bu Lindun melotot dan kembali melecuti Farhadin.
“Sunda, Bu. Sunda!” teriak Farhadin sambil memohon ampunan. Tentu saja Farhadin sebenarnya akan memekikkan kata sundal.
Melihat Farhadin meloncat-loncat dan hampir mengumpat, Munajim tak bisa lagi menahan tawa. Munajim sejak awal sudah selesai menghitung jawaban kelima pertanyaan di papan tulis itu, tapi ia malas menuliskan apa-apa di buku tulisnya. Tak ingin terus-menerus diminta maju ke depan menyelesaikan semua soal seperti Yuanida, ia pun tetap berlagak bodoh. Kini, ketika ia kembali melihat Farhadin kebingungan setengah mati, dan melompat-lompat kesakitan, ia terbahak-bahak. Bu Lindun pun berhenti melecut dan melotot ke arah Munajim. “Apa yang lucu, ha?! Maju kamu Munajim!”
Bu Lindun segera berbalik, mengambil kapur putih dan menuliskan nomor 6. Ia sudah cukup lama membimbing Munajim dan tahu bahwa Munajim pintar berhitung. Kesadaran itu memberikan harapan kepada Bu Lindun bahwa setidaknya ia juga bisa membagikan bekal matematika miliknya kepada Munajim.
Farhadin memanjatkan puji syukur kepada Tuhan karena tawa Munajim berhasil membebaskannya dari hukum pecut itu. Sementara Munajim—yang sejak awal bangkit dan berjalan penuh percaya diri—melihat soal yang baru dituliskan, kepercayaan dirinya pun langsung runtuh. Ia tahu, Bu Lindun tidak akan membiarkannya lolos dengan mudah.
6). 5 x 20 : 10 = ? Munajim terkejut. “Pembagian?” katanya dalam hati. Ia gemetar. Munajim tak menyukai pembagian. Sebagai anak nomor 4 dari 7 bersaudara, Munajim sering dilupakan. Pembagian uang, jajan, makanan, atau apa pun tak pernah adil bagi dirinya. Begitu juga upah yang didapatnya ketika selesai bekerja untuk salah seorang tuan tanah di desa. Pembagian hasil yang dijanjikan tak pernah datang dengan utuh, pengurangan ini dan itu harus dilakukan. Pengalaman buruk itu membuatnya memutuskan bahwa tak ada gunanya mempelajari bagi-membagi, karena kenyataan hidup mengajarkan bahwa tak peduli sehebat apa ia berhitung hasilnya tetap akan kurang juga.
“Ayo kerjakan nomor enam!” kata Bu Lindun mendesak.
“Tapi Bu, nomor empat belum dijawab,” kata Munajim, mencoba menawar. Tapi upayanya sia-sia saja. Bu Lindun mulai habis kesabaran.
“Saya bilang jawab nomor enam!” bentaknya.
Anak-anak lain dalam kelas itu berusaha menghilang dari tempat duduk mereka; tak ingin menjadi korban pecut, tak satu pun dari mereka berani bersuara. Mereka menunduk, berpura-pura menyelesaikan nomor 6 di buku tulis masing-masing.
Tak ada lagi jalan keluar dari perkara itu. Munajim mengambil kapur tulis dan mulai berhitung. Namun, sejak awal ia yakin bahwa jawaban yang akan dituliskannya pasti keliru. Dalam kondisi yang nyaris putus asa itu, sesekali ia melayangkan pandang pada Farhadin yang masih menggosok-gosok lengan dan wajahnya karena rasa sakit. Munajim membayangkan hal yang sama.
Angka 8 dituliskan Munajim di papan tulis, sebelum kemudian ia meletakkan kapur tulis putih kembali ke tempatnya. Bu Lindun menatap tajam ke papan tulis. Dikuasai amarah. Kini, ia mengangkat lidi daun kelapa tinggi-tinggi, dan mendaratkannya ke tengkuk Munajim. Pecutan pertama Bu Lindun melecut umpatan di lidah Munajim. Umpatan itu menyulut amarah Bu Lindun yang merasa terhina membuatnya mendaratkan lecutan-lecutan berikutnya. Farhadin pun ikut terlecut. Mereka berdua menari-nari, berusaha menghela lecutan. Bu Lindun belum juga reda, ia terus melecut mereka. Udara panas membakar ketegangan di benak seluruh siswa di ruang kelas itu. Sementara di luar, terik matahari membersihkan langit. Tak ada mega-mendung siang itu, dan langit jingga masih delapan jam jauhnya. ()












