Edo baru saja selesai mengaji di surau. Ia berjalan kaki menuju rumah bersama teman-temannya, Beni dan Rian. Mereka berkelakar sepanjang jalan. Malam ini bulan tampak terang, mereka berjalan dengan riang gembira.
“Untuk PR membuat cerita tentang Hari Ibu, aku sudah memiliki rencana.” Beni memulai ceritanya dengan menggebu-gebu. “Aku akan membuat kalian semua terguncang dengan apa yang kulakukan untuk merayakan Hari Ibu nanti.”
“Aku juga,” Rian menyela tak kalah jumawa. “Aku juga sudah menyiapkan suatu hal yang spesial untuk merayakan Hari Ibu.”
Edo menanggapi cerita kedua temannya dengan tertawa. Mereka memiliki PR untuk membuat cerita mengenai apa saja yang dilakukan untuk merayakan Hari Ibu. Bu Guru menyuruh mereka untuk melakukan suatu hal yang spesial pada masing-masing ibu, lalu menuangkannya menjadi sebuah cerita. Kemudian, cerita-cerita tersebut akan dibacakan di depan kelas. Mereka bertiga sangat bersemangat untuk mengerjakan PR tersebut.
“Bagaimana denganmu Edo?”
Edo mengangkat bahu, sejujurnya ia belum tahu akan melakukan hal spesial apa di Hari Ibu nanti.
“Aku belum tahu.” Jawab Edo terus terang. “Akan aku pikirkan nanti di rumah.”
Mereka bertiga berpisah di persimpangan. Edo lurus saja melanjutkan perjalanan, sedangkan Beni berbelok menuju ke arah utara dan Rian ke arah selatan. Letak rumah mereka memang berjauhan, namun hal tersebut tidak sedikitpun mengurangi rasa persahabatan mereka.
Sesampainya di rumah, Edo menemukan ibunya yang sedang membaca Al-Qur’an di ruang tamu. Tidak ada televisi di rumahnya. Satu-satunya hiburan yang Edo miliki hanyalah sebuah radio tua milik mendiang kakeknya. Melalui radio tersebutlah, Edo mendengarkan lagu-lagu dari dunia yang menurutnya sangat jauh untuk dijangkau.
Edo menyalami ibunya. Ia tidak beranjak setelahnya karena memperhatikan apa yang sedang ibunya lakukan. Ibunya sedang membaca Al-Qur’an dengan dahi berkerut-kerut. Ia heran, biasanya sang ibu selalu menggunakan kaca mata untuk membaca. Sudah sejak lama matanya rabun.
“Kenapa ibu tidak menggunakan kaca mata?”
Ibu menengadah, ia kaget karena sejak tadi Edo memperhatikannya. “Oh, kaca mata ibu sedang rusak.”
Edo mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kenapa tidak diperbaiki saja? Sepertinya toko Koh Acing masih buka di pasar.”
Ibunya tersenyum. “Nanti dulu, tunggu Bapak selesai panen. Mentimun di ladang masih baru berbuah, mungkin sekitar 2-3 minggu lagi baru bisa dipanen.”
Edo kembali mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kemudian beranjak dari hadapan ibunya. Berjalan menuju sebuah dipan tua tempat ibunya biasa menyimpan kacamata.
Edo mengambil kacamata tersebut, melihat-lihat sebesar apa kerusakannya. Ternyata, yang rusak hanya bingkai depan kacamatanya. Edo melihat bahwa kacanya ternyata baik-baik saja. Ia kemudian mengambil selotip, melilitkannya pada kacamata tersebut. Berhasil! Tapi, Edo yakin hal ini tidak akan bertahan lama.
Lalu, sebuah ide terlintas dalam kepala Edo. Sekarang, ia tahu apa yang harus dilakukannya untuk mengerjakan PR.
*
Edo melihat ke atas buah kedondong di belakang rumahnya. Buahnya lumayan lebat. Bapaknya membiarkan saja kedondong tersebut masak dan membusuk di pohonnya. Alasannya karena harga kedondong sangat murah dan banyak masyarakat yang juga memiliki buah kedondong. Jadi, dijual pun juga percuma saja.
Namun, Edo memiliki sebuah ide. Ia tahu bagaimana caranya agar kedondong tersebut bisa bernilai jual tinggi. Setiap musim buah kedondong, ibunya sering sekali membuat manisan. Rasanya sangat enak. Teman-temannya juga berkomentar seperti itu.
Dengan berbekal tali dan sebuah ember, Edo memanjat buah kedondong tersebut dengan hati-hati. Dipilihnya buah kedondong yang masih muda dan belum terlalu tua. Kedondong yang terlalu tua dan matang tidak cukup enak untuk dijadikan manisan karena rasa asli buahnya sudah manis.
Setiap embernya penuh, Edo menurunkannya ke bawah. Di sana, ibunya sudah menunggu. Ketika dirasa sudah cukup, Edo memutuskan untuk turun.
“Untuk apa buah kedondong sebanyak ini?” Tanya ibunya. Edo memang belum memberitahukan rencananya pada sang ibu. Ia ingin hal tersebut menjadi kejutan.
“Nanti akan Edo beritahu. Sekarang, Edo minta tolong untuk dibuatkan manisan ya, Bu.” Edo meminta dengan wajah memelas.
Ibunya hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu apa yang direncanakan oleh anaknya ini.
“Ibu akan pergi ke warung dulu untuk membeli bahan-bahan membuat manisan. Kau kupaslah dulu kulit buah kedondongnya.”
“Tidak perlu,” Edo mencegah ibunya. “Edo sudah membeli semua bahan-bahannya tadi. Edo mengambil beberapa uang di celengan.”
Ibunya kembali terheran-heran. Ia kemudian membantu Edo mengangkat buah kedondong tersebut ke dapur.
*
Edo dengan yakin berdiri di depan pintu rumahnya. Di sebelahnya, terdapat banyak manisan keodngdong yang sudah dibungkus rapi dan diletakkan dalam dua kantong plastik besar. Edo yakin, misinya hari ini pasti berhasil.
Bapak Edo bingung melihat barang bawaan Edo yang banyak. “Itu untuk tugas sekolah?” tanyanya sambil menunjuk pada dua kantong plastik di kiri-kanan Edo.
Edo hanya tersenyum, tidak berniat menjawab pertanyaan tersebut. Ia kemudian menyalami Ibu dan Bapaknya, lalu berpamitan untuk berangkat ke sekolah. Hatinya merasa senang dan bergembira.
Sesampainya di kelas. Edo membuka dua kantong plastik tersebut di atas bangkunya, lalu berteriak, “Siapa yang mau beli manisan kedondong. Murah, hanya lima ratus rupiah saja per biji.”
Tak ayal, bangku Edo langsung dikerubungi oleh teman-temannya. Banyak dari mereka yang membeli dua hingga tiga biji sekaligus. Manisan kedondong buatan ibu Edo memang sangat enak. Menurut teman-temannya, rasanya pas. Tidak terlalu manis, namun juga tidak asam dan pahit.
“Wah, sering-sering saja kau jualan manisan kedondong ini Edo,” sahut Beni sambil mengunyah buah kedondong yang kedua. “Kalau teman-teman di kelas ini tidak ada yang beli, biar kuborong semuanya.”
Teman-teman sekelas tertawa mendengar kelakar Beni. Edo juga menawari guru-guru untuk membeli manisan kedondongnya. Tak disangka, banyak guru-guru yang juga suka. Mereka bahkan memborong dan memesan untuk hari esok.
Edo tersenyum. Misinya berhasil!
*
Edo keluar dari toko Koh Acing dengan perasaan senang tiada tara. Di tangannya, terdapat kacamata ibunya yang sudah diganti bingkai dan sekarang tampak seperti baru. Mulai nanti malam, ibunya tidak perlu lagi membaca Al-Qur’an menggunakan kaca berselotip.
Edo berjalan dengan langkah ringan. Di kantongnya, terdapat sisa uang hasil pembelian kacamata. Rencananya, uang tersebut akan ia tabung di celengan sebagai pengganti karena telah ia ambil minggu lalu.
Edo tidak sabar untuk segera sampai di rumah dan melihat reaksi ibunya. Ia juga tidak sabar untuk segera mengerjakan PR menulis cerita tentang apa saja yang ia lakukan untuk merayakan Hari Ibu. Ia yakin, ceritanya pasti jauh lebih spesial dan hebat dari pada cerita Beni dan Rian.(*)
Siti Halwah, Lahir dan dibesarkan di Pulau Madura. Suka menulis apa saja, baik esai, artikel, cerpen, cernak, puisi, resensi, reportase dan kisah-kisah dalam kehidupannya yang menurutnya perlu dibagikan untuk orang lain.












