
(Sumber Gambar : Pinterest.com)
Pembicaraan seputar Tere Liye dan buku-bukunya kembali ramai dibicarakan setelah seorang sastrawan gaek membicarakannya di akun Facebook miliknya, dan menimbulkan berbagai macam respon masyarakat, baik pelaku sastra maupun orang biasa seperti saya.
Salah seorang penulis muda yang bergiat di mengatakan kalau ia pernah beberapa kali ingin membahas karya sastrawan a untuk dibahas dalam “tugas” nya dan dimintai oleh dosennya untuk membahas Tere Liye saja. Ia juga menawarkan akan membahas sastrawan b dalam tugasnya namun kembali direkomendasikan dosennya untuk membahas Tere Liye saja. Penulis muda tadi mengalah dan menuruti keinginan dosennya.
Salah seorang pedagang buku online di Facebook bilang kalau buku-buku karya Tere Liye termasuk salah satu karya laris dan menunjang perekonomiannya, meski ia jarang membaca buku Tere Liye (dan berkemungkinan jarang pula “ikut” mempromosikan bukunya), Tere Liye punya pasar sendiri, dan memang jamak digandrungi.
Guru menulis saya yang belakangan lebih sering menjahit kain ketimbang menjahit kata-kata pun ikut berkomentar meski di bawah tulisannya ia mewanti-wanti kalau ia sebenarnya tidak sedang membahas ribut-ribut soal sastrawan gaek dan fenomena Tere Liye ini, tulisan soal Tere Liye menjadi tulisan awalnya di Facebook, dan membuat beberapa kawannya bilang, Welcome Back, Rio!
Salah seorang penulis kenamaan dalam sebuah sesi lepas bilang ke saya, “Anjrit, buku Tere Liye lagi yang dibahas, ini akan bikin Tere Liye sedikit banyaknya dapat perhatian publik, ia dibicarakan, dan tentu saja, berpengaruh pada penjualan bukunya”, saya respon perkataan penulis kenamaan itu dengan: ok, sip. Dibicarakan atau tidak dibicarakan, Tere Liye akan tetap jadi Tere Liye, dengan segala misterinya.
Dibicarakan atau tidak dibicarakan, Tere Liye adalah Tere Liye, dan ia akan terus menulis semaunya, dan akan terus berlipat ganda. Puluhan bukunya terus dicetak dan diterbitkan, dan memang, termasuk salah satu penulis yang dikenal publik. Tere Liye tak hanya menulis novel, ia pun menulis banyak jenis tulisan seperti kumpulan puisi, kumpulan cerpen, dan bahkan kumpulan kata-kata mutiara. Beberapa karyanya bahkan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang!
Tere Liye pun sejauh ini (dari yang saya amati sekilas) belum pernah mempermasalahkan kalau apa yang ia tulis itu sastra atau tidak, sejauh pengetahuan saya yang sempit, buku-bukunya terus dicetak, dan yang paling wah, buku-bukunya jarang masuk ke dalam jajaran buku-buku bazar. Penulis kenamaan tadi malah bilang kalau Tere Liye sekarang sudah mencetak buku-bukunya sendiri, sudah punya penerbit sendiri, dan akun media sosialnya, akun toko onlinenya, diminati banyak orang.
Pencarian buku bekas Tere Liye pun biasanya masih “mahal” untuk ukuran saya, di atas 30 ribuan, itu pun ketika buku bekas itu dipromosikan lewat grup Whatsapp, sudah pasti ada yang beli. Tak jarang, bukunya sudah habis terjual sebelum 24 jam!
Saya belum banyak pengalaman dengan Tere Liye, hanya sekali membaca bukunya, buku puisi beliau, dan jujur saja, bukunya tidak masuk selera saya. Meski punya buku-buku novel beliau, saya belum saja sempat membacanya, mungkin bisa lain kali, sebab, saya penasaran juga kenapa ia bisa begitu digandrungi. Saya cenderung visual, selama ini, sampul-sampul buku Tere Liye amat layak disebut bagus.
Rasanya, membaca buku Tere Liye juga bukan dosa, kenapa malah orang-orang pada ribut begitu? Bahkan, tanpa dibicarakan pun, karya Tere Liye bisa saja masuk ke daftar panjang bacaan pengagumnya, apalagi malah dibicarakan. Istri penulis kenamaan yang bersama saya tadi bahkan bilang kalau istrinya punya hampir seluruh karya Tere Liye. Anjai.
Mengkritisi Tere Liye tanpa membaca buku-bukunya saya rasa juga tidak begitu arif, karena mana mungkin kita bisa tahu tanpa membaca. Aneh amat!
Buku-buku Tere Liye bahkan terus dicetak, dan Tere Liye sekarang sudah punya penerbit sendiri, dan akun instagramnya masih terus mempromosikan buku-bukunya yang banyak itu. banyak promosi bukunya juga diminati pembaca, dan rasanya itu membahagiakan bagi iklim buku, bagi literasi kita yang itu ke itu saja!
Tere Liye tidak melawan? Mungkin. Tapi untuk apa pula Tere Liye melawan, tidak ada untungnya buat dia. Bukan lawannya, bukan “target pasar” mungkin.
Sependek pengetahuan saya, Tere Liye pernah melawan kok. Ia melawan buku-bukunya dibajak, ia melawan pdf buku-bukunya (kemungkinan ilegal) disebarkan serampangan di beberapa perpustakaan, ia melawan orang-orang yang mencari keuntungan atas karya-karyanya.
Tulisan pendek ini mungkin bisa jadi “mempertebal” Tere Liye dibicarakan, dan sebenarnya saya pribadi senang juga. Saya senang buku-buku penulis pada akhirnya bisa laku “dan dibeli” meski penulisnya tidak sedang mempromosikan bukunya. Hihi.
Tere Liye akan berlipat ganda, dan menanti pembacaanmu. Hari ini kamu tidak minat, barangkali nanti waktu akan menjawabnya.
Disayangkan atau tidak, saya sih tetap bersyukur kalau masih ada yang membahas penulis lain. Sehingga si penulis tersebut terbantu sendirinya untuk branding.(*)