Tubuh seorang lelaki ambruk, serupa langit-langit kamar yang runtuh setelah menampung gempuran lari-larian kucing atau musang pada tengah malam. Tidak ada suara yang jelas keluar dari mulutnya. Bahkan tidak juga seperti batita belajar mengeja. Hanya ada lenguh tak tertahankan. Matanya menjadi bandul. Gas pesing melengkapi isi ruangan.
Bahana itu membuat putranya yang berada di kamar sebelah segera beranjak. Dura mencoba menarik tangan bapaknya, membantu bangkit, tapi tangan itu tak bisa bergerak. Ia menatap wajah lelaki tua yang tidak berdaya. Degup jantungnya dan detak jam dinding berkejaran.
Dura memeluk tubuh yang butuh belas kasih itu, terasa dingin dan bergetar. Dengan sekuat tenaga dicobanya mengangkat rangka berbalut kulit yang kendur dan keriput. Setelah itu dibiarkannya tubuh itu mandiri, tapi ibarat daun-daun pada musim gugur, tubuh bapaknya terkulai lagi. Luruh tanpa jeda.
Dura menelepon siapa saja yang bisa membantu, tapi nihil, tidak ada satu pun yang menyambut. Kecemasan melahirkan peluh yang lebih besar dari biji jagung, mengalir dari hulu kepala hingga muara pipinya yang tak ada bendung. Ia mengirim pesan kepada kerabat dan orang terdekat. Ia menahan kantuk hingga bapaknya tak lagi mengangguk. Ia terjaga sampai azan mengembara.
***
Dura mengekori bapak ketika mereka melewati titi kolam ikan Wak Sarjan. Titi itu mirip pematang sawah, bedanya dikelilingi air sedalam lima meter. Tanaman-tanaman liar tumbuh merambat, kadang ada yang berduri, melukai kaki tak beralas. Di ujung jembatan yang berarti daun pintu rumah Wak Sarjan melekat pigura wajah orang tersenyum dengan susunan abstrak, di bawahnya tertulis Amsterdam. Kelakar warga setempat kependekan dari Amplas terus dalam. Udara menguarkan aroma ikan-ikan dan udang yang terpanggang matahari. Panas pekat memantul dari langit menusuk genangan air kolam. Seperti laser memancar dari tangan pahlawan super menghunus jantung monster.
“Dari mana kelen Eb?”
“Biasa Bang, dari rumah Kak Mar, ambil uang sekolah si Dura. Ada kaki, Bang?”
“O, masih siang ini, bentar lagilah.”
Dura tidak begitu paham kaki apa yang ditanyakan bapaknya kepada abang bapaknya itu. Ikan kan tidak punya kaki, lalu udang, buat apa kaki udang yang tipis-tipis itu? pikir anak kelas 2 SMP.
Lepas makan siang Bapak dan Wak Sarjan bertolak ke rumah tetangga. Di sana sudah menunggu tiga orang yang usianya tak jauh beda. Di meja telungkup kartu remi kotak-kotak merah jambu setinggi jari telunjuk.
“Ingat Eb, jangan kau libas uang sekolah Dura,” kata Wak Sarjan sambil mengocok kartu.
***
Desau igau bapaknya meluberkan kolam kerinduan Dura kepada ibunya. Biasanya segala pahit-manis hidup mereka lalui bertiga. Entah bagaimana mulanya, ingatan Dura tak pernah sempurna: apakah kepergian ibunya yang membuat bapak menjadi berantakan atau bapak memang tak bisa menjadi baik makanya ibu putuskan keluar rumah, keluar pulau, bahkan keluar negeri tanpa mencetak jejak, mencari kehidupan yang bisa membuat tenteram? Ibu hanya menitipkan Dura ponsel butut.
“Peganglah ini, nanti ibu akan meneleponmu, jangan ganti-ganti kartunya.” Kalimat itulah yang terakhir kali Dura dengar dari mulut ibunya, sejak kepergian sang ibu sampai detik ini.
Saban pagi ibu sudah menyiapkan dandang besar berisi bubur kacang hijau beserta cedok untuk meraupnya yang akan dijajakan di depan rumah. Dura bertugas menggeser steling, mengangkat kompor, menyusun cangkir dan sendok berbahan plastik sebagai wadah bubur. Kemudian ia mandi untuk bergegas sekolah. Bapaknya masih mendengkur di kamar. Kalau sedang tidur bapaknya menjelma singa yang akan mengaum dahsyat bila digugat. Terlebih kalau tim bola yang dipasangnya dini hari babak belur.
***
Sueb muntah darah di lorong menuju rumahnya. Tubuhnya terkapar di tanah. Orang-orang mengangkatnya ke rumah. Kak Mar segera tiba, dan Sueb langsung dibawa ke rumah sakit.
Kalau gak nyusahin kakaknya gak senang kau ya Eb! Oalah Eb Eb! gerutu Kak Mar di ruang tunggu rumah sakit.
Hasil pemeriksaan menyatakan Sueb diserang tuberkulosis, oleh karena itu ia dilarang merokok dan mesti istirahat minimal seminggu. Sueb harus dirawat inap. Bukannya murung, malah ia merasa beruntung. Kawan-kawannya berdatangan membawa bingkisan: roti, buah, vitamin, dan tak lupa amplop.
Setiap malam sehabis jam besuk selesai, rasa lemas sueb pun berakhir. Duduk ia di tempat tidur, diambilnya amplop-amplop yang diletak acak di bawah bantal. Dikeluarkannya isinya, disusun sembari dihitung.
Seminggu lagi aku di sini, enak juga, katanya bukan kepada Dura.
“Dura, mau makan apa kau? Nah belilah beli apa kepingin kau, mi aceh, lontong, sate, martabak, roti cane, tst, beli aja beli.”
Diserahkannya selembar uang bergambar Soekarno-Hatta.
Di sela-sela makan, bapaknya berujar, “Nanti pulang dari rumah sakit kita mancing di kolam Wak Sarjan ya.”
***
Dura keluar rumah, suaranya memanggil tetangga beradu dengan kicau burung di atas pohon. Nyanyian yang lebih jelas daripada suara bapaknya.
“Yang betul Dur? Ini wak ke sana ya. Jangan lupa kasi tau Wak Mar!”
Dura tak sempat membalas pesan dari Wak Sarjan itu. Cepat-cepat ia pergi ke musala, berharap masih ada sisa jemaah salat Subuh yang bisa dan mau membantu.
Ketika ramai-ramai mereka masuk ke kamar untuk menengok Sueb, dunia terasa dingin, bahkan berkali-kali lipat dari hari-hari biasa paling dingin. Air dalam gelas tiba-tiba membeku, begitu juga air yang bertakung di kolam mata Dura. Ia menjadi panda di kutub utara.
Pesan dari Wak Mar masuk ke ponsel Dura.
“Jangan warisi bakat akting bapakmu, Dur!”
Medan, November 2024
Alda Muhsi, pengelola Kede Buku Obelia, toko buku alternatif di Medan, persisnya di Jalan Amaliun No. 152, Kelurahan Kota Matsum II, Kecamatan Medan Area. Buku tunggalnya kumpulan cerpen Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu (2016) dan Yang Lahir Hilang Menangis (2019). Bergiat di Ngobrol Buku, komunitas sekaligus book launching organizer yang rutin membicarakan buku-buku sastra Indonesia setiap Jumat secara daring melalui instagram, juga secara luring sebulan sekali pada akhir pekan. Akun IG: @aldamuhsi.












