Gadis itu bernama Sella. Kata bapakku, biar terdengar lebih modern ketimbang Rasniti, Turinih, atau pun Darinih. Bapakku berseloroh pastilah nama panjang anak itu Sella Mat Malam Duhai Kekasih. Lalu ia mulai bersenandung lagu Evi Tamala dan langsung membuatku bergidik. Sella seumuran denganku, dan entah sebab itu atau bukan, bapak sering penasaran apakah aku sempat menaruh hati pada gadis itu, dan kubilang tidak, sebab ia sama sekali tidak mencolok. Kukira, pemuda-pemuda di blok Sigong ini sepakat kalau Sella, meskipun elok, telah menunjukkan penuaan dini.
Bapakku seperti tidak gampang menelan perkataanku. Kulihat ia sempat mengerutkan dahi. Tak bisa kuartikan raut seperti itu—apakah ia ragu aku masih tertarik oleh perempuan, atau malah ia sendiri terangsang dengan Sella. Ngomong-ngomong soal bapakku! Dari dialah aku mendapat kabar mengejutkan tentang Sella. Tetangga kami itu.
Bapakku—sebagaimana juga ibuku—memiliki hobi menggunjingkan orang lain, terutama tentang Sella. Bibir mereka bisa balapan, bilamana ada ribut-ribut di lingkungan tetangga. Maka aku maklum jika Mang Turdono—bapak Sella—pernah mengatakan orangtuaku bermulut pedas. Yang tidak ia sadari betul adalah mulut bapakku berada pada pedas level lima jika diibaratkan dengan bubuk cabe instan rencengan yang dijual di warung-warung.
Pernah satu malam—ketika aku sedang main HP dan ibuku selonjoran di teras, dan kebetulan Mang Turdono baru pulang dari ojekan—bapakku menceletuk, “Turinih kemarin mengeluh, ia kesakitan di bagian pentil setelah kau remas-remas susunya di toang Tambi.”
Ibuku melotot ke arah bapakku. Lantas dengan sekali kibas, satu tamparan mendarat ke pipi bapakku. Seperti kusangka, sikap Mang Turdono biasa saja, sebab ia tidak seperti lelaki umum. Ia tidak menanggapi perkataan bapakku, apalagi membalas dengan tinju. Mang Turdono dengan sangat kalem menuntun sepeda motor naik ke teras rumahnya, dan tenggelam dalam keheningan bersama empat anak perempuannya.
Padahal, rumah kami itu berjarak beberapa meter, dan begitu juga dengan rumah-rumah lain, sehingga—andaikan saja—Mang Turdono mengeluarkan batang hidung dari jendela dan kubidik dengan batu kerikil dari teras rumahku, bisalah kena tepat sasaran mengenai salah satu lubang hidungnya. Padahal tidak sekali bapakku mencelutuk pedas seperti malam itu, apalagi dengan tingkat suaranya yang terbiasa berteriak di tengah laut, pastilah tetangga kanan-kiri kami ikut mendengar juga.
Di dalam rumah, sudah barang tentu celetukan iseng bapakku menjadi drama di antara kedua orang tuaku. Ibuku tidak terima dengan tingkah bapak, tetapi bapak malah cengar-cengir. Dan barulah aku tahu kemudian, sebelum celetukan itu lepas landas dari mulut bapak, ibuku menceritakan kabar burung tentang dugaan ada seorang perempuan dari blok Sampit dilecehkan oleh seorang tukang ojek dari blok Sigong—di mana RT kami bertempat. Lalu bapak, dengan semena-mena mengarang-ngarang nama Turinih.
“Kalau sampai istri Turdono dengar kasak-kusuk itu bagaimana? Itu gara-gara kau!” keluh ibuku. “Kasihan dia.”
“Istri Turdono itu sedang berada di antah berantah.”
“Dasar kurangajar! Justru dia berada entah di mana, orang lain akan gampang lapor kepadanya. Mau kapan kau bisa mengerti perasaan perempuan?!”
Sebetulnya, aku tahu niat bapak berkelakar seperti itu, ia ingin memanas-manasi Mang Turdono tentang kabar burung lain seputar dirinya yang menduakan istrinya yang sedang berada di Taiwan. Dan ujung dari kelakar itu adalah ia ingin agar batang hidung Sella tampak dari sela pintu rumahnya, atau sekadar ngomong, atau sekadar nimbrung, atau sekadar mengeluh semacam ‘Aaah … mbuh …’, atau apalah itu, agar ia menampakkan diri sebagaimana seorang tetangga kepada tetangga lain. Tapi, aku bersumpah bapakku tidak akan mendapatkan apa pun sebagaimana ia idam-idamkan terhadap Sella.
Sella adalah teman sepermainanku semasa kecil. Kami bertiga. Satu lagi adalah Cardi. Tetapi meskipun kami bertetangga, ia tidak lebih dekat denganku daripada Cardi denganku, dan sebab itulah aku tidak menemukan sisi menarik dari Sella. Lepas SD, ia sempat melanjutkan SMP tapi cuma bertahan setahun. Lalu berhenti dan hilang entah pergi ke mana. Sekali dua kali orang tuaku menceletuk ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta, sampai aku mendaftar di perguruan tinggi, barulah aku melihatnya lagi.
Libur semester adalah masa-masa ketika aku dapat menjumpai teman-teman bajinganku di tongkrongan. Sella masih tampak, ‘tampil’, ada, meskipun sekelebat dua lebat setiap aku nangkring di teras rumah. Ia berubah, tentu, dan semakin tampak lebih tua dari gadis-gadis lain yang sepantarannya. Kudengar dari ibuku ia memang seperti sapi perah. Bagaimana ia mengurus badan sendiri jika badan-badan lain juga ia urus. Pagi-pagi, ia melesat dengan sepeda untuk bekerja di perumahan orang-orang Pertamina. Sore jelang magrib, ia mengurus seisi rumah sendiri, menata piring-sendok Mang Turdono, dan baju-baju ganti tiga adik perempuan—Siti Maemunah, Siti Marhamah, dan Siti Nurlaela.
Demikian itu aku tahu, selagi Sella tidak berada di rumah, Mang Turdono—kecuali sedang ada tarikan ojek—tampak seperti biduan organ tunggal, dan seolah-olah membiarkan ketiga anak perempuan kecil-kecil berkeliaran di luar rumah dan tampak seperti gembel. Musik stereo disetel dan pelantam suara dicolok. Bisa kukira-kira, mulut bapakku dan ibuku pastilah juga ikut bersaing dengan suara karaoke Mang Turdono.
Tapi, entah siapa lebih bajingan daripada siapa. Pernah kulihat bapakku mengumpat ke arah rumah Mang Turdono, “Kirik Turdono! Sampean pikir sampean itu siapa? Biduan duet Suzzy Arzetty?! Enggak ada receh di sini! Matikan organ tunggalmu itu!” Suara stereo itu tidak langsung mati. Beberapa saat kemudian kulihat Mang Turdono membuka pintu, berdiri saja dia di ambang, tanpa memegang mic—demikian itu, kutahu ia sedang memutar rekaman suara sendiri—dan membiarkan ia dilihat oleh bapakku utuh-utuh.
Setelah itu tidak terjadi apa-apa. Tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Tidak melotot. Tidak mangap. Tidak melihatkan raut muka tersinggung, pun terganggu. Sebagaimana biasa, ia menutup pintu dengan kalem, lalu matilah sudah suara stereo itu. Lalu bapakku memberikan satu kalimat pamungkas, “Kalau mau ngentot dan enggak mau kedengeran suara ceplak-ceplokmu, bawa telembukmu ke saungmu!”
Memang bapakku sudah keterlaluan. Ia selalu cemburu setiap ada kasak-kusuk Mang Turdono juga berprofesi anjelo—antar jemput lonte—sehingga ia berpikir pastilah Mang Turdono dapat jatah dari salah satu lonte. Kecemburuan itu jelas kutahu sebab ibuku bukanlah tipikal pesolek. Ketika aku memastikan apakah bapak pernah melihat Mang Turdono memasukkan perempuan ke rumahmya, ia menggeleng. Tapi dengan segenap keteguhan hati, ia berkata, “Susu Tursinih kesakitan itu pasti ulah si Turdono. Siapa lagi tukang ojek di RT ini selain dia.”
Dan ketika kukatakan lagi apakah nama Tursinih itu bukan karangan, ia cuma menggusah, lalu ssssstttt!!!!! Begitulah bapakku. Juga bisa kuduga, cara ia mengalihkan pembicaraan soal perselingkuhan Mang Turdono adalah dengan bicara soal Sella: apakah gadis itu sama sekali tidak menarik perhatianku? Kali itu keacuhanku tidak mempan lagi membungkam mulut bapak. Ia malah bilang aku sudah belok lantaran bergaul dengan teman-teman bajingan di tongkronganku.
“Di kosan kampusmu, kamu bergaul dengan banci-banci juga?” tukas bapakku.
“Ngomong apa sampean?”
“Jangan pura-pura budeg!”
Aku melengos, daripada diinterogasi dan berakhir dengan adu mulut. Aku tahu yang disebut bapakku sebagai banci adalah Cardi—salah satu teman tongkronganku di sini—dan, ia tersohor berpengalaman di dunia perlendiran. Njing! Kata-kataku menjadi terdengar kasar makin ke sini! Bapakku percaya Cardi pernah dibobol oleh lelaki sejak ia bocah dan sekarang sudah bisa menikmati pembobolan itu, dan senantiasa mengincar kontol bapak-bapak pengangguran, termasuk Mang Turdono.
Lantaran itulah, ia menuduhku pernah mengangkangi Cardi. Persetan! Selain memang dia keperempuan-perempuanan, dia sangat baik hati. Yang kurang ajar adalah mulut bapakku. Justru dari Cardi, aku memperoleh kabar apa-apa dari pelosok blok Sigong ini sampe ujung desa Tegalurung.
Pernah satu malam—ketika nongkrong di angkringan depan pom bensin Tegalurung—aku penasaran apakah ia sempat menaruh hati kepada Sella. Ia menggeleng, lantas menambahkan, “Padahal dia cantik kalau sedikit saja berdandan.”
“Terus kenapa kau tidak suka?” sambungku.
“Dia teman dolan, mana bisa aku ngaceng?”
Lebih dari itu, Cardi berkomentar bahwa Sella tidak pantas menjadi tumpuan keluarga. Kata Cardi, Bi Sumaenah—ibu Sella—memang bekerja di Taiwan. Bertahun-tahun sejak kami lulus SD belum juga pulang. Tapi, aneh, bertahun-tahun bekerja di luar negeri, keluarga Sella masih begitu-begitu saja. Orang-orang bahkan ragu apakah ia memang di Taiwan atau tidak. Termasuk bapakku malah bilang, Bi Sumaenah cuma pura-pura ke Taiwan agar tersohor, padahal ia mbujang di Tegalega. Ibuku ikut nimbrung—menambah kecepatan laju bibir—dengan berkata, “Menjadi pekerja perempuan itu susah, menjadi Sumaenah itu sulit, dan lebih apes lagi andaikan terus bertetangga denganmu.”
Cardi juga menegaskan bahwa ia memang bekerja di luar negeri, tapi entah Taiwan entah Brunei. Yang jelas gaji kecil, sehingga ia sulit pulang. Kalau pulang pun tidak akan lama di Tegalurung ini, dan orang-orang tidak akan sempat melihat Bi Sumaenah walaupun cuma sekelebat. Cardi tahu Bi Sumaenah sempat ribut-ribut di telepon dan menggegerkan lingkungan tetangga akibat Mang Turdono ketahuan pernah memukuli Siti Maemumah dan Siti Marhamah. Ekor dari keributan itu, Sella ikut menanggung. Badan mentah Sella ikut kena sabet dengan menggunakan celana jin. Bisik Cardi, “Padahal ketika itu susu Sella baru numbuh.”
“Tapi, bagaimana mungkin sekalem dan sependiam Mang Turdono itu tega memukul?”
“Mbuh, siapa sangka, memang siapa sangka? Bahkan Siti Maemunah dan Siti Marhamah pun tidak menjerit kok dipukuli begitu.”
Terdengar aneh, tapi memang begitulah keluarga mereka. Kata Cardi, anak-anak itu akan tutup mulut sampai pemukulan itu terjadi lagi dan dilaporkan oleh Sella. Lantaran tidak bisa disambar melalui sambungan telepon, dua mingu kemudian Bi Sumaenah pulang, memberang, mengubrak-abrik seisi rumah, juga melabrak Mang Turdono dengan gila. Pertikaian itu tidak saja menghebohkan RT-ku, tetapi juga seantero Tegalurung.
Kuingat, bapakku bilang ia adalah saksi betapa Bi Sumaenah bisa menjadi lebih singa betina daripada ibuku. Cardi dan aku sepakat kalau Mang Turdono itu memang se-berbeda-beda dari jenis lelaki mana pun. Kehebohan itu tidak membuat ia mengeluarkan pembelaan, erangan, rintihan, aduh, adidah atau apalah, sehingga orang-orang pun ragu siapa salah siapa benar, meski luka memar memang menempel pada tubuh Siti Maemunah dan Siti Marhamah.
Rumah keluaga mereka tidak besar, tidak juga se-tertutup dan re-redam rumah Kaji-Kaji sugih juragan beras. Biasa saja. Malah terkesan melarat. Oleh Bi Sumaenah, kaca dipecahkan, kotak TV dibanting, perabot dan perkakas dihempaskan ke lantai. Tetapi ajaib, Sella, Siti Maemunah dan Siti Marhamah, dan Siti Nurlaela tidak menangis sama sekali. Pun sikap kalem dan mulut pendiam Mang Turdono membuat keluarga itu menjadi semacam misteri, sehingga—alih-alih penasaran dengan bagaimana Mang Turdono menggilir lonte-lonte sebagai ganti Bi Sumaenah—bapakku malah penasaran bagaimana Sella bisa sesabar itu, karena sejak kehebohan besar itu, ia tiba-tiba menjadi sama-sama pendiam dengan Mang Turdono.
Lebih aneh lagi, kata bapakku, kehebohan itu bukan membuat keluarga itu berantakan, malah mempererat. Bapakku bilang kepadaku—meski aku tidak begitu peduli—malam-malam setelah rumah itu porak-poranda, Turdono dan Sumaenah malah esong–esongan. Maksud bapakku adalah ‘bercumbu’. Bagaimana ia bisa tahu? Tentu saja karena rumah itu tidak lagi redam oleh suara-suara. Tentu saja bapakku masih bisa membedakan antara rintihan tangis dan erangan enak. Dan aku mulai peduli ketika Cardi mengiakan dugaan itu. Ia bilang, “Biarlah, kalau memang demikian itu membuat mereka bahagia.”
Keadaan rumah itu jelas berubah tidak sebagaimana bapakku pikirkan. Bapakku jelas tidak tahu kalau Bi Sumaenah menghentikan kiriman uang ke Indonesia. Dan, kata Cardi, itu menjadikan Sella pergi gelap-pulang terang ke perumahan orang-orang Pertamina, sekaligus menjadikan Mang Turdono tak lebih dari seonggok daging hidup, yang bernapas asap, yang rebah di sofa tamu sepanjang hari. Sialnya, bapakku justru iri dengan kontol nganggur macam Mang Turdono.
Apakah Bi Sumaenah pulang sekali itu saja, lima tahun lalu itu?
Kata Cardi tidak, ia pernah melihat sekelabat lagi Bi Sumaenah setahun kemudian, atau dua tahun kemudian, ia lupa. Tapi kepulangan Bi Sumaenah tidak lebih cepat daripada kunjungan seseorang menengok kakus.
“Memang begitu kok,” kata Cardi. “Tapi, bukan buang hajat betulan. Pulang jinjing uang sambil gendong jabang. Itu sih Siti Nurlaela.”
“Jadi, Siti Nurlaela itu dari benih Mang Turdono atau bukan?”
“Mang Turdono lah,” kata Cardi.
“Jadi, sekarang Bi Sumaenah tidak pernah kelihatan pulang lagi?”
“Kudengar sih mereka sudah bercerai.”
“Masa? Bapakku bilang Mang Turdono cuma serong.”
“Mbuh. Tapi toh, akur atau cerai, mereka sama-sama begitu kan?”
Cardi betul juga. Ia mengatakan Mang Turdono cuma sekali-kali datang ke Sigong. Sekadar menengok anak-anak. Ia lebih sering menetap di rumah istri muda—atau salah satu lonte—di blok Sampit. Sementara itu, masih simpang siur apakah kiriman uang Bi Sumaenah itu mengisi dompet Sella atau Mang Turdono.
Kupikir, kasihan sekali Sella kalau memang ia menjadi tulang punggung keluarga. Biarlah, bukan porsiku meragukan pola asuh Bi Sumaenah dan Mang Turdono. Toh, mereka tidak pernah minta makan dari bapak dan ibuku. Jika memang pola asuh demikian itu membuat Sella tegar dan mandiri, maka biarlah. Semoga potensi itu menurun kepada Siti Maemunah dan Siti Marhamah. Mereka kini sedang menginjak usia gadis. Lalu, kita lihat saja bagaimana Siti Nurlaela tumbuh tanpa kehadiran ibu dan bapak.
Pada satu sore, sebuah kesempatan langka terjadi padaku. Sella tiba di rumah sebelum gelap. Sengaja aku duduk-duduk di teras sembari mengisap rokok. Dari pelataran rumahnya, tampak Siti Nurlaela baru saja pulang bermain dengan anak-anak lain. Pakaian kotor, muka dan pantat sama-sama cemong bekas lumpur, lalu menubruk dan melendot-lendot kepada Sella. Dirangkullah anak itu dan digandenglah ia sampai masuk rumah. Tanpa kata-kata. Persis Mang Turdono setiap habis dicela oleh bapakku.
Tak lama kemudian Siti Maemunah dan Siti Marhamah keluar rumah sembari mendekap qur’an masing-masing. Tali mukenah mereka masihlah menggantung belum diikat. Sella keluar, mengikat mukenah mereka satu-satu, dengan mulut agak berantakkan sambil memegang gincu. Lamat-lamat, masihlah terdengar olehku, “Selesai ngaji langsung pulang bareng. Jangan mau diajak ke mana-mana kalau ketemu bapak!”
Perhatianku bertumbuk pada Sella yang memang tampak lebih tua dari usianya, apalagi dengan riasannya yang menor dan dandanannya yang kendor. Entah belajar bersolek dari mana, tapi kurasa ia tampak tidak peduli tampil begitu. Dan andaikata ada orang mencemooh, dan kurasa pula, pastilah ia pernah berjumpa dengan orang macam bapakku, ia akan tampak enteng saja berjalan melenggang.
Ba’da Magrib, kudapati lagi Sella keluar rumah. Kali itu ia bersalin pakaian dengan agak ketat; mengenakan celana jin, kaus merah delima, dan sepasang selop jinjit. Melihat langkah mantap perempuan itu sedikit membuat hatiku gusar. Benar-benar melangkah dengan tanpa keraguan. Ia menoleh ke arahku, lantas melambaikan tangan. Mustahil ia melambai bukan kepadaku. Kusambut ia dengan turun dari teras untuk sekadar bertukar sapa. Ketika itu, kebetulan aku sedang ngopi sembari menghabiskan sisa rokokku.
“Kamu baru kelihatan. Ke mana saja?” ujar Sella.
“Yang jarang kelihatan itu kau, Sella.”
“Ya sih,” ia mengangguk sembari mengikik pelan. Lalu kulihat kanan-kiri sebab agak gusar akan ada tetangga melihat kami bercengkerama dalam keadaan memalukan seperti ini: ia berdandan begitu cantik dari ujung kaki sampai ujung kepala, sementara aku cuma bercelana kolor dan bertelanjang dada.
“Siti-Siti sudah pulang?”
“Sudah bisa diatur mereka sejak bapak tinggal di rumah pelacur di Sampit.”
“Oh.”
“Siti kecil bagaimana?”
“Ah, kamu,” ujar Sella agak genit. “Kamu penasaran juga soal Nurlaela?”
Aku tidak mengatakan apa-apa. Tetapi, malah Sella lanjut berkata, “Memang benar dia anakku. Ibuku gugat cerai kan setelah tahu bapakku bikin aku hamil. Memang ibumu tidak bilang apa-apa begitu?”
Aku tetap tidak mengatakan apa-apa sampai ia hilang ditelan jarak.
Minanto, domisili di Indramayu. Bukunya yang telah terbit, Aib dan Nasib (2020) dan Kemelut Rondasih dan Dua Anaknya (2024).