Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Cerpen · 9 Feb 2025 16:16 WIB ·

Pelajaran Menjahit


 Wikiart.org Perbesar

Wikiart.org

Toko baru setengah jam dibuka, tapi pagi-pagi begini sudah terdengar deru motor berhenti di depan rumah. Gegaslah saya menengok. Ternyata orang itu lagi.

Melihat kedua tangannya menjinjing kantong kresek besar, sebagai penjahit saya sangat dongkol. Sudah tiga kali dalam seminggu ini, dia datang membawa beragam pakaiannya yang aneh. Kemarin dia ingin permak long dress sleeveless menjadi berlengan, beberapa hari lalu dia menyuruh membuat slayer menjadi rok. Setan! Hari ini apa lagi?

“Nisa mana? Kok gak bisa dihubungi?”

Sialan. Orang itu bicara sambil menaiki undakan toko. Sejak pertama kali datang, dia seenaknya sendiri dan seolah-olah menganggap rumah ini miliknya. Saya lupa siapa namanya, karena memang tidak penting pula untuk diingat. Yang jelas, dia tengil—mirip pemeran orang kaya di sinetron tahun 2000-an

“Ada, di belakang,” jawab saya

“Ya udah sama dirimu saja. Ini lo, baju-bajuku…”

“Saya panggil Mbak Sulis dulu.”

Sengaja saya potong ucapan perempuan itu, biar saya terbebas dari keluhannya. Di belakang, saya hampiri majikan saya yang sedang menjemur baju-baju anaknya. Sebelum memanggil, saya amati tubuhnya yang minim daging, sendi tangan dan kakinya yang tak terbalut daster tampak menonjol. Begitu kepalanya menoleh, saya lemparkan pandangan ke setumpuk keranjang berisi seprai dan selimut—sepertinya semalam ada yang mengompol.

“Ada apa?” tanyanya.

Saya menatap wajahnya letih.

Kalau sudah begini, naluri kemanusiaan saya tergugah. Tidak tega saya sampaikan kabar kalau temannya datang lagi membawa banyak pakaian yang menunggu dipermak. Pasti Mbak Sulis akan meninggalkan pekerjaannya, lalu terburu-buru menyambut temannya itu. Bukan tak mungkin, dia akan menutupi rasa lelahnya, sebagaimana yang sering dia tunjukkan ke suami dan mertuanya.

Namun, jika saya tidak menyampaikan kedatangan perempuan itu, saya akan kewalahan melayani kemauannya. Saya tidak suka orang cerewet.

“Itu, Mbak. Ada pelanggan.”

“Siapa?”

Langsung, Mbak Sulis lari ke depan, meninggalkan saya bersama cuciannya. Saya tak bisa mencegah. Majikan saya ini memang terlalu baik sehingga saya belum pernah menyaksikan dia mengecewakan orang lain. Ingin sekali saya memiliki sikap seperti dirinya, tapi sepertinya tak mampu. Saya mengedar pandang ke tiang jemuran, ke keranjang pakaian dan seprei, ke bak-bak yang masih tercecer, ke selang yang masih dialiri air. Usai terdiam sesaat, saya bereskan semua itu.

***

Jujur. Selama satu tahun saya bekerja di sini—menjadi karyawan jahit sekaligus penjaga toko peralatan jahit, saya kerap mendapati para pelanggan yang menyebalkan. Ada yang meminta permakannya langsung jadi, ada yang menawar harga murah, ada juga yang berkonsultasi model pakaian dalam waktu yang cukup lama. Namun, semua itu masih bisa saya maklumi. Berbeda dari perempuan itu yang empat hari lalu tiba-tiba datang ke sini.

Siang itu, tampak Vario hitam berhenti di depan toko. Seorang pengendara perempuan yang bersetelan cardigan rajut dan celana kulot itu berteriak memanggil nama majikan saya. Mbak Sulis yang sedang membuat pola di sebelah saya langsung beranjak. Mereka berdua berpelukan sambil histeris. Sementara saya hanya menatap rambut orang itu yang sepertinya gagal dipirang.

Mereka masuk, berbincang-bincang dan lewat pembicaraan mereka, saya jadi tahu kalau mereka berteman dekat sejak SMK. Perempuan itu baru datang ke Ponorogo di malam tahun baru, setelah menuntaskan pekerjaannya di Bali. Berhubung gaya berpakaian di sana berbeda dengan daerah ini, dia bilang hendak mengubah model dress-nya.

“Ini baju mahal, tapi ya sudah potong aja. Yang bawah di potong, terus disambung ke sini biar ada lengannya. Modelnya terserah. Biar patut gitu.”

“Yakin dipotong?” goda Mbak Sulis. “Cuaca di sini kadang panas.”

“Bukan panasnya. Orang-orangnya itu lho.”

Daripada mendengar celotehan tentang seringnya orang-orang Ponorogo yang nyinyir terhadap penampilan orang lain, saya lebih tertarik menatap rambut setengah pirangnya. Rambut itu pasti salah warna semir dan gagal dicatok. Warna gold yang ditingkahi warna merah, serta setiap helainya yag masih tersisa warna hitam, membuat rambutnya seperti karatan.

“Pinggangnya sekalian dikecilin. Pokoknya tak ambil besok.”

“Besok?” tanya saya.

Hari itu, mau tidak mau, saya harus mendedel benang jahit yang telah terkait di kain. Sungguh mendedel adalah pekerjaan paling membosankan. Jika dijenis kain katun toyobo, wolfis, atau crinckle airflow, hanya cukup memutus dua benang, lalu ditarik sisinya hingga lepas. Namun, dijenis kain baby doll dan rayon twill semacam dress ini, harus melepaskan satu persatu jahitan agar kainnya tidak ikut robek.

Selama saya mendedel, perempuan itu terus mengoceh tentang pekerjaan, masalah pertemanan, dan keinginan memiliki pasangan di waktu dekat. Setiap ceritanya melompat-lompat hingga membuat saya atau barangkali Mbak Sulis, juga jenuh dan kewalahan. Berkali-kali saya berpidah tempat, berulang kali Mbak Sulis pamit ke belakang, tetapi perempuan itu tidak kunjung paham bahwa dirinya sedang diusir.

Terpaksa kami meladeninya hingga sore. Tentu saya rugi hanya mendedel dan memotong dua pakaian sehari. Sistem gaji borongan tidak cocok digunakan seperti ini. Saya pun yakin, Mbak Sulis juga tak untung. Selain, dia harus menelantarkan pekerjaan rumah, dia akan keteteran mengurus anak dan mertuanya yang sakit-sakitan di kamar. Terlebih ketika suaminya pulang dari proyek, sudah saya duga waktu istirahat Mbak Sulis terpangkas habis sampai akar-akarnya.

“Model lengannya kok gak bagus. Lenganku jadi gendut,” keluh perempuan itu saat datang ke toko ini lagi.

Saya hanya menatapnya, menduga-duga apa yang akan dia katakan selanjutnya. Dan, benar, dia meminta merubah model lengan lonceng menjadi lengan suai. Padahal jahitan sudah saya setel rapat dan bagian dalam saya obras hingga rapi. Gila, kalau saya harus bongkar jahitan itu lagi.

“Sama ini,” Dia menunjuk bagian pinggang. “Tolong lebarin 1 senti kanan kiri.”

“Satu senti?” tanya saya.

“Iya. Biar agak longgar gitu.”

Saya lirik jengkel ke arah Mbak Sulis. Darah di otak saya terasa mendidih.

“Ya, nanti dibenerin. Duduk dulu yuk,” kata Mbak Sulis lembut.

Perempuan itu minum es teh yang dibawanya, lalu mengeluarkan selembar slayer untuk dibuat rok. Ketika Mbak Sulis membuka lebar slayer berserat setengah tenun itu, dia menawarkan untuk memberi lapisan bagian dalam rok agar tidak terlalu tipis. Saya sepakat, tapi perempuan itu mengatakan tidak setuju. Saat saya coba menanyakan bagaimana modelnya, dia mengatakan terserah.

***

Sejak kejadian itu, saya malas bekerja. Tidak saya temukan lagi kenyamanan duduk di depan mesin sambil memutar album Kerispatih. Tidak ada lagi obrolan seputar mitos-mitos di daerah ini, atau cerita-cerita tentang perintisan usaha jahit Mbak Sulis dulu. Kini, sepanjang hari, dari pagi sampai sore, selama Mbak Sulis berada di dekat saya, hanya perempuan itu yang terus diceritakannya. Saya kecil hati ketika dia mulai memberi nasihat kepada saya tentang kesabaran bekerja dan cara-cara menghadapi pelanggan seperti temannya.

“Ini nanti diubah, ya. Roknya diberi pelapis biar agak tebal,” kata Mbak Sulis ketika saya kembali ke depan. Rok yang baru selesai saya jahit ternyata sia-sia.

“Diubah? Katanya kemarin gak perlu dilapisi?”

“Iya, setelah dicoba ketipisan, Dek.”

Saya lihat perempuan itu hanya cengar-cengir.

“Gimana, Dek?” ucap Mbak Sulis ke arah saya. Saya bilang akan lebih bagus jika tidak diubah.

Baru kali ini saya lancang menjawab. Saya bukan jin dalam botol yang bisa menuruti permintaannya dalam sekejap. Menjahit itu bukan perkara mudah, karena memang tidak ada pekerjaan yang gampang di dunia ini. Semua pekerjaan itu sulit. Apalagi jika yang dikerjakan berhubungan dengan kreativitas. Bisa jadi, hasil yang unik menurut seseorang, itu aneh bagi orang lain. Bisa juga apa yang saya anggap bagus, belum tentu menarik di mata orang lain. Saya benci sekali jika ada orang mengatakan terserah ketika dimintai pendapat, tapi mengeluh saat karya sudah selesai dibuat. Ini sungguh melukai hati.

Maka, ketika perempuan itu membuka lebar-lebar satu kantong kresek hitamnya, saya menatap dengan muka masam. Saya dengarkan dia berbicara mengenai pakaian yang hendak dipermak. Saya lihat Mbak Sulis dengan penuh harapan, tetapi Mbak Sulis justru tersenyum mematahkan harapan saya.***

Yeni Kartikasari, tinggal di Ponorogo. Saat ini bekerja sebagai pengajar freelance. Dapat disapa melalui Instagram @yeni_kartikasarii

Artikel ini telah dibaca 70 kali

Baca Lainnya

Sella

2 March 2025 - 02:51 WIB

WikiArt.org

Bulu

31 December 2024 - 16:53 WIB

Norval Morrisseau, Two Owls and Two Chicks, via WikiArt.org

Catatan Akhir Tahun yang Tidak Kutulis Saat Akhir Tahun Tapi Tetap Saja Akan Kutulis Karena Sebenarnya Tidak Ada yang Benar-benar Berakhir.

30 December 2024 - 19:38 WIB

Ilustrasi: Ahmad Redho Nugraha

Finus Jadi Sarjana

15 December 2024 - 20:01 WIB

Kent Monkman, The Three Bachelors, via WikiArt.org

Ssst!

1 December 2024 - 06:22 WIB

WikiArt.org

Hal-hal yang Baik

1 December 2024 - 05:24 WIB

Trending di Cerpen