Aku ingin menulis tentang sesuatu yang tiba-tiba, yang aku belum tahu akan menceritakan apa di selembar kertas kosong.
Halah! Sok puitis! Kau hanya sedang berhadapan dengan Google Docs, bukan selembar kertas yang diolah dari serat pohon. Apalagi membayangkan pena bulu yang dicelup ke tinta, terlalu historis-melankolis! Di depanmu hanyalah papan tombol yang langsung terhubung dengan perintah-perintah matematis komputer apalah namanya itu.
Apa katamu?
Jangan melankolis!
Bukan, sebelum itu?
Google Docs?
Setelahnya?
Bulu!?
Iya, bulu! Aku akan memulainya dari bulu!
***
Pagi-pagi, aku melihat sehelai bulu ayam di pelataran hotel mewah tempatku bekerja, di kawasan pusat bisnis paling elit di kota ini. Dari mana bulu ayam ini berasal? Pikirku. Sudah enam bulan aku bekerja di sini, cukup untuk mengetahui bahwa tak ada situasi sosial yang memungkinkan ada bulu ayam terbang dan terbaring di selasar. Empat kilometer dari tempatku berdiri, tak ada juga roda dua atau mobil pick-up pembawa ayam hidup bisa lewat. Ia sudah akan dicegat polantas atau satpam, lalu diberi edukasi soal penyakit menular. Dan lagi, tahinya bisa kemana-mana. Ke dasi pria berkemeja, misalnya. Padahal ia sedang buru-buru berjumpa dengan klien yang hendak memberinya proyek senilai 3.402.902,77 Somoni Tajikistan.
Sebagai cleaning service, aku baru hendak memungut bulu ayam itu, tapi ia terlebih dulu terbang cepat ke arah jalan raya. Aku berlari mengejarnya tapi sudah tak bisa kulacak lagi jejaknya. Lagi pula, mobil lalu lalang di jalanan. Aku tak bisa sekenanya berlari ke sana kemari mencarinya.
Kutanya koki hotel di dapur, “Apakah aktivitas kalianlah yang menyebabkan ada bulu ayam di pelataran hotel?” Koki itu mengelak, “Kami tidak mengerti.” Kulihat potongan-potongan ayam segar yang baru diantar dari rumah pemotongan hewan. Ayam yang sudah tewas itu terlalu bersih, bahkan sepertinya bisa langsung dimasak tanpa dicuci. Mustahil sehelai bulu bisa lolos.
Kutanya resepsionis, “Apakah kalian pernah melihat tamu membawa bulu ayam?” Mereka menggeleng.
Kutanya valet, si petugas parkir. “Apakah kamu pernah memarkirkan mobil yang di dalamnya tercium aroma ayam hidup sehingga memungkinkan bulu ayam ada di pelataran hotel?” Dia diam saja. Kutanya sekali lagi. Dia menggeleng.
Sebelum kucecar lagi yang lainnya, bahuku ditepuk ibu-ibu dari manajemen personalia. “Kenapa kamu hilir mudik sedari tadi? Bukannya bekerja!?” Aku langsung ngacir mengambil sapu dan pel setelah menunduk-nunduk meminta maaf.
Bulu. Bulu. Setengah hari itu aku terbayang, mungkin saja bulu ayam itu terbang ke sini sejauh empat kilometer, dan tidak ada sistem dari aparat keamanan yang memungkinkan ia tak menerobos masuk.
Diam-diam aku menyesal kenapa tidak aku kejar saja si bulu, mempertaruhkan nyawaku di jalanan yang bising demi membongkar hal-ihwal sang bulu. Andai saja aku berhasil memungutnya, aku akan pergi ke seorang zoologist, dokter hewan, ahli peternakan, atau dukun. Lalu menanyakan analisis mereka tentang sehelai bulu ayam misterius.
Di mana ia sekarang? Apakah ia sedang menunduk lesu di jok mobil convertible yang atapnya terbuka? Atau menempel di dinding kaca restoran dan menyaksikan dua orang pasangan tak punya anak yang sedang menyantap Samundari Khazana Curry? Atau secara tak sengaja masuk ke tempat hiburan dan menyaksikan orang melakukan hal tak senonoh, dan para pengusaha bau tanah yang mengatasi keberlebihan uang dengan main judi (dan berharap kalah)? Atau ia berhasil tiba di atap gedung tertinggi di kawasan ini? Atau ia sedang terbaring di selasar hotel mewah lainnya? Dan, apakah para cleaning service di sana juga buncah karena mendapati sehelai bulu ayam?
Waktu siang tiba, istirahat. Semestinya aku memakai kesempatan ini untuk makan siang, tidur-tidur ayam atau sekadar menyelonjorkan kaki dan bercakap-cakap dengan teman sejawat sesama petugas kebersihan. Tapi aku memilih untuk melanjutkan penulusuranku tentang bulu ayam di pagi hari tadi.
Kutanya security, “Apakah Bapak belakangan ini pernah melihat orang mencurigakan yang bertampang seperti ayam?” Ia tak menjawab apa-apa, tapi tangannya menyentuh pentungan yang menempel di sisi kiri ikat pinggangnya seperti hendak memukulku. “Bagaimana kalau tampangmu kusentuh menggunakan tongkat ini? Seperti apakah nanti bentuknya?” Kumisnya menari-nari. Aku lari.
Rasa penasaran telah mengalahkan rasa lelahku.
Aku lihat ada mobil pick-up baru saja sampai di belakang hotel, membawa beberapa pendingin ruangan yang baru. Juga ada televisi dan kulkas kecil. Kutanya pada para staf maintenance yang mengangkat barang-barang elektronik itu, “Pernahkah kalian secara tidak sengaja mengira yang kalian bawa adalah microwave, ternyata baru sadar itu adalah kandang ayam?”
“Tidak pernah,” jawab salah satu dari mereka. “Kalau kandang ayam tidak pernah. Tapi kalau kami tidak sengaja membawa kardus berisi selebaran brosur caleg yang di-ceklek dengan amplop berisi uang, pernah.”
“Kamu apakan kardus beserta isinya itu?”
“Kami diamkan saja. Semua staf maintenance malas mengembalikannya. Cuaca kota akhir-akhir ini panas sekali.”
“Bagaimana nasib caleg itu?”
“Kalah.”
“Apakah caleg itu beternak ayam?”
“Kami tidak tahu. Kami tidak kenal.”
Jam dua siang, tiba-tiba semua karyawan hotel yang sedang tidak sibuk diminta ke aula. Ternyata hanya aku dari kru bersih-bersih yang sedang santai. Seorang mbak-mbak waitress kafe hotel hari ini ulang tahun. Sembari para karyawan hotel menyantap hidangan bakso, ibu-ibu manajemen personalia yang jadi host meminta kepada dua-tiga orang yang hendak memberi ucapan khusus kepada mbak-mbak waitress.
Aku maju ke depan setelah mbak-mbak resepsionis yang menawan menyampaikan ucapannya.
“Ehm… ehm…” aku memulai sambutan. Sudah lama tidak berbicara lewat mikrofon, mungkin terakhir pada saat lomba menyanyi waktu sekolah dasar. “Izinkan saya mengucapkan selamat ulang tahun kepada Saudari yang sedang merayakan hari lahir. Sudah barang tentu Saudarilah yang paling berbahagia hari ini. Menurut almarhum Ibu saya, hati yang bahagia asal jangan berlebihan, membuat pikiran jernih. Pikiran yang jernih, membuat otak bisa menjawab hal-hal yang rumit. Dan dengan demikian, saya ingin memberikan pertanyaan kepada Saudari.”
“Ekhm!!! Cuit-cuit.”
“Mau ngapain nih? Cieeee.”
“Ah, pasti mau mengungkapkan cinta! Seperti di FTV siang-siang!”
Aku meneruskan, “Saya sangat membutuhkan jawaban ini. Jadi, tolong pikirkan jawabannya betul-betul.”
Semua lalu diam, walau raut wajah mereka masih menunjukkan sebuah senyum.
“Baiklah. Saya akan menyampaikan pertanyaan itu!”
Perempuan waitress yang kepalanya dililit bando kertas bertuliskan “happy birthday” membisu. Tangannya yang memegang piring kecil berisi potongan kue, tak bergerak. Dia nampak gugup, mengira-ngira. Berdiri sekitar dua ribu milimeter dariku.
“Saudari, apakah malam tadi, saat Saudari tidur, Saudari bermimpi di kafe kita yang menjual kopi itu, tersedia menu baru yaitu kopi susu gula aren beraroma ketiak ayam?”
Potongan kue kecil itu terbang meluncur ke wajahku. Hidungku bercelemot krim. Entah mengapa pesta ulang tahun itu bubar lebih cepat dari biasanya. Aku bersungut-sungut keluar dari aula, kembali ke janitor room.
Aku lantas bekerja lagi sampai terang mulai terusir oleh gelap. Shift-ku hendak berakhir. Di janitor room yang juga berfungsi sebagai markas kami, para petugas kebersihan baik yang mendapat giliran siang sepertiku, maupun yang mendapat giliran malam, bertemu.
Aku baru ingat belum menanyakan perihal bulu ke teman-teman satu profesi. Ah, mereka lebih mungkin tahu. Karena siapa yang paling memperhatikan lantai dibandingkan para kami-kami?
Seperti biasa, di awal malam, kami melakukan semacam rapat kecil yang membahas evaluasi dan rencana. Evaluasi, kira-kira apa yang perlu kami perbaiki dan perhatikan setelah seharian bekerja tadi? Rencana, kira-kira apa hal khusus yang harus dilakukan di shift malam ini? Siapa tahu ada artis yang akan menginap, Youtuber pula, maka kami harus menyiapkan hal-hal di luar kebiasaan.
Kubiarkan setiap orang menyampaikan apa yang mereka ingin utarakan. Setelah semua selesai, kini aku yang mengambil waktu.
“Aku tadi melihat bulu ayam!” seruku lantang.
Sebagai sesama cleaning service, aku berharap mereka terkesiap. Bagaimanapun ini persoalan darurat dalam kebersihan, bukan? Tapi semuanya hanya terdiam, atau menganga kebingungan.
“Kenapa kalian diam saja?” tanyaku heran.
“Kami tak mengerti.”
“Seperti apakah bulu ayam itu?”
“Iya, bulu ayam itu seperti apakah?”
“Bulu seperti ayam itu apakah?”
Aku menghembuskan nafas banyak-banyak.
“Kalian tidak tahu bulu ayam?”
“Kalau melihat bentuknya, mungkin kami tahu.”
“Iya, iya. Seperti para tamu yang sering bolak-balik ke tempat ini. Kami tak tahu nama mereka, tapi kami hafal wajahnya.”
Aku membuka Google, mengetik “bulu ayam”. Lantas keluarlah rupa-rupa bulu ayam dari foto sampai ilustrasi, beragam warna. Aku menunjukkan layar ponsel ke mereka.
“Oooh!”
“Kami tahu itu!”
“Aku sering melihat itu di pagi hari!”
Nah, ini baru yang membuatku antusias! “Kalian tidak tahu kalau benda ini bulu ayam?”
“Kukira itu kertas.”
“Kalau saya mengiranya itu bungkus saset!”
“Atau koin zaman purba?”
Dungu! Dungu semua! Tapi aku tak menyalahkan mereka. Ayam hidup memang dilarang masuk.
“Nah sekarang, menurut kalian, apa penyebab bulu ayam ini ada di selasar hotel kita?” ujarku memberi pertanyaan yang paling penting.
“Tak tahulah aku.”
“Dari percikan korsleting listrik?”
“Kiriman alam gaib?”
“Atau mungkin, dari bersin para pejabat?”[]
Muhammad Ilfan Zulfani lahir dan tumbuh di Banjarmasin. Sempat tinggal di Depok, demi belajar sosiologi. Sejak 2023, ia mulai belajar menulis sastra secara serius. Karya-karyanya yang lain bisa dijumpai melalui akun Instagram (@ilfanzulfani98).