Tepat tanggal 1 bulan januari tahun 2019 pukul 00:00 aku memutuskan untuk bunuh diri. Dari apartemen sederhana yang kutinggali berketinggian 6 lantai. Aku sudah memutuskan rencana ini semenjak januari tahun 2018, melompat dari atas sana ketika malam para kembang api meledak merekah diantara hening malam dan dinginnya ibukota, saat suara trompet dan tawa manusia saling terjaga dari tidurnya sekedar merayakan ritual yang telah diulangi berkali-kali entah dari kapan. Tepat malam itu seluruh semesta ikut seta merayakan pergantian tahun, entah itu kau merayakannya dengan berada di rumah membakar sate bersama keluarga diiringi obrolan basa-basi yang terus diulang antara ayahmu dengan pamanmu atau sekedar berkumpul bersama kawan yang sebenarnya tidak kau kenal atau jika opsi tadi kelihatan begitu menyulitkan kau memilih sendirian saja dirumah, tidak ada yang penting, semua sama saja bagiku. Sementara semuanya merayakan kehidupan, aku akan merayakan kematian sendirian.
Sudah kubilang dari awal aku sudah menyusun rencana ini dengan sangat matang, sedari pagi aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Dari sekian cara untuk menghancur leburkan diri melompat dari ketinggian menurutku adalah yang terbaik. Coba kau bayangkan, hanya memerlukan gedung yang cukup tinggi dan kebulatan tekad, waktu dan tempat ada pada genggamanmu, ketika sudah bertemu dengan tanah satu hal yang pasti darahmu yang sudah lama kau simpan akan keluar, warna merahnya yang menenangkan dan bau besi yang khas memenuhi ruang teras depan apartemenmu. Dan ketika itu juga pejalan kaki sekitar dan tetangga yang sedang tertawa ria terkagetkan oleh suara tubuhmu yang berteriak, mengejutkan yang didekatnya. Tidak perlu embel-embel mencari barang lah atau tempat dan waktu yang khusus lah, kematian yang memerlukan prosuder dan birokrasi yang berlibet hanya akan mengkotori kematian itu sendiri. Kematian singkat yang tidak memerlukan basa-basi adalah cara paling indah untuk merasakan kematian.
Jadi begini kurang lebih rencananya. Sebelum segala kegiatan dimulai pastikan segala macam gangguan disingkirkan seperti handphone dan hal-hal yang berpotensi menganggu, aku tidak ingin selama proses ini ada hal-hal yang tidak perlu merusak suasana. Lalu ketika jarum jam menunjukan pukul 22:00 aku akan mulai menulis didalam secarik kertas kata-kata terkakhir berupa terima kasih, minta maaf untuk keluarga, kawan, pacar, tetangga, kenalan, rekan kerja, dan semacamnya. Hanya sekadar formalitas saja. Dilanjutkan pada pukul 23:45 aku akan bergegas menuju atap apartemen yang biasanya hanya menjadi tempat berjemur pakaian yang sudah dicuci, pada jam segitu biasanya tidak ada orang. Dan setelah itu menunggu pelepasan dan merasakan menit-menit terkahir, mendengarkan gemuruh angin malam yang kian keras tiap detiknya hingga pukul 00:00 januari 2019. Dan ketika waktunya tiba aku akan mulai melompat dan menyelesaikan hidupku ini.
***
Sekarang waktu menunjukan pukul 21:00 dan malam ini seperti malam-malam tahun baru kemarin dan tahun baru kemarinnya lagi dan kemarin kemarinnya lagi. Aku duduk didepan televisiku menonton berita-berita tidak perlu membicarakan perihal politik ah sudah mau masuk tahun politik ya, pantas berisik sekali. Sembari memakan bakso yang biasa lewat depan apartemenku aku menghitung mundur jam menuju rencanaku, yah hitung-hitung untuk membunuh waktu sebelum membunuh diri sendiri.
Bangsat kenapa waktu berjalan lama sekali! makiku dalam hati menunggu tengah malam tiba. Dan kutengok jam dinding kembali menunjukan pukul 21:30 Ah! ini akan membutuhkan waktu selamanya!. Lalu cepat-cepat kutandaskan saja bakso yang dihadapanku agar tidak keburu dingin sementara pembawa acara berita masih mengoceh mengenai politik.
Masih dalam posisi duduk ku masih menonton dan program tv sudah berganti menjadi sinetron picisan. Dalam sela drama dalam tv terlintas dalam pikiranku mungkin lebih baik aku membaca saja novel-novel yang sudah lama aku beli tapi tak pernah aku selesaikan juga.
Beranjak dari tempat duduk aku menuju rak buku berisikan koleksi buku-buku yang sudah lama aku bel. Ketika hendak memilih kulihat buku Haruki Murakami yang berjudul Kafka On the Shore. Mungkin ini bagus untuk menunggu tengah malam tiba. Tanpa pikir panjang ku bawa buku itu menuju kasur dimana biasa aku tidur. Dengan melepas kacamata aku memulai bacaanku.
Tenggelam aku dalam kata-kata yang dialirkan oleh Murakami. Cerita dan karakternya dibangun secara hati-hati namun kokoh, atmosfer yang disuguhkan begitu nyata dan lekat. Lembar demi lembar ku balikkan hingga halaman 96. Dan saat itu juga aku berhenti membalikkan lembar bukuku dan terlelap.
***
Dengan posisi yang masih persis seperti semalam aku terbangun oleh suara berisik dari cleaning service yang sedang membersihkan lorong depan pintu depan. Cahaya masuk dari sela-sela jendela tempat tidurku dan waktu sudah menunjukan pukul 8 pagi.
Bajingan aku ketiduran!! Aku terlalu menghayati ketika membaca Kafka On the Shore hingga akhirnya tertidur pulas. Agh betapa bodohnya aku, sudah lama aku menunggu kesempatan ini dan semua terbuang sia-sia hanya karena ketiduran!. Aku yakin sekarang Murakami sedang tertawa lepas melihat kebodohanku.
“Yah sepertinya, aku akan bunuh diri tahun depan saja”
Kemal Fasas, terlahir menjadi anak Jakarta. Alamat di Kebon Jeruk, Jakarta Barat.