Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Esai · 22 Dec 2024 22:33 WIB ·

MENGINSAFI BATAS(AN)


 Elmer Bischoff, Yellow Sky via WikiArt.org Perbesar

Elmer Bischoff, Yellow Sky via WikiArt.org

Penting mengetahui dan menetapkan batasan. Batasan dari apapun. Tidak cuma karena kemampuan manusia pada kenyataannya (t)erbatas, tetapi juga karena ke(b)erbatasan adalah sifat alami segala materi. Tidak ada unicum tanpa ke(b)erbatasan. Dan seturut pandangan Saussure, bahwa makna muncul karena adanya perbedaan satu tanda dengan tanda lainnya, ke(b)erbatasan bahkan adalah yang memungkinkan bahasa ada—karena batas hanya dapat ditetapkan dalam persinggungan dua objek yang berbeda. Yakni cakupan unicum bisa melebar atau menyempit, tetapi batas jelas tidak bisa dihilangkan tanpa membuat pemaknaan macet.

“Segala yang diniatkan sebagai puisi adalah puisi,” pernah saya baca orang menulis begini. Pada hakikatnya, ungkapan demikian adalah usaha menentukan batas. Bisa dibayangkan niat sebagai tembok yang mengelilingi wilayah pengertian puisi. Di luar tembok itu, bagaimanapun rupa sebuah teks, tidak dapat dikategorikan sebagai puisi.

Batas seperti ini tentu merepotkan, kalau tidak absurd. Karena niat penulis biasanya tidak ditemukan eksplisit dalam tulisannya. Masak kita harus selalu menyurati penulis, menanyakan apa niatannya?

Tidak. Cukup bahwa kita berpegang pada prinsip dan aturan yang telah disepakati. Kalaupun niat dinyatakan secara eksplisit, sebagai contoh keterangan “Puisi Jon Lenong” yang dibubuhkan oleh Jon Lenong di bawah judul tulisannya, yang berarti ‘tulisan berikut diniatkan sebagai puisi oleh Jon Lenong,’ maka itu hanya berarti bahwa tulisan dimaksud bisa atau perlu diuji adakah memenuhi kriteria yang disepakati harus ada dalam puisi. Kalau tidak, maka mungkin perlu dipertanyakan: adakah tulisan tersebut secara revolusioner mengajukan paradigma puitika baru?

Yang secara konkret tiba di hadapan publik adalah teks, yang di rimba pembacaan fungsinya ditentukan oleh latar kebutuhan dan keahlian masing-masing pembaca. Teks menjadi semacam produk smartphone. Ada yang menggunakan kebanyakan untuk memfoto, kebanyakan untuk menulis, kebanyakan untuk menelepon, kebanyakan untuk berselancar. Ada yang menggunakan secara berimbang untuk semua itu. Ada yang menggunakan, pada situasi tertentu, sekadar sebagai benda keras yang bisa dilemparkan ke jidat orang di seberang ruang.

Berikut saya hadirkan dua kutipkan untuk melihat teks dan pemfungsiannya oleh dua oknum pembaca.

***

 Kutipan Pertama

“Puisi bermula dari inspirasi dan puisi yang baik sampai pada kemampuannya dalam memberikan inspirasi bagi pembacanya. Puisi yang besar memberikan inspirasi dan hikmah bagi banyak orang bahkan bisa memberikan inspirasi bagi masyarakat dan bangsa.

Dalam perjalanan sejarah perpuisian modern kita, apakah ada puisi besar pernah tercipta dalam sejarah bangsa ini. la memang tidak pernah dimasukkan dalam pembicaraan puisi yang pernah ada selama ini. Karena ia selama ini tidak pernah dipandang sebagai sebuah puisi. Yang saya maksudkan ialah teks Sumpah Pemuda yang diumumkan pada tanggal 28 Oktober 1928 itu.” (Sutardji Calzoum Bachri)

Kutipan Kedua

“Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah sebuah pusai. Hemat kata, sarat makna, futuristik. Ia menyampaikan pesan kepada dunia tentang masa depan dilihat dari waktu itu. Mari kita simak kembali teks proklamasi tersebut:

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasan dll., diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

 

Jakarta, 17-8-‘05

Betapa hemat kata yang digunakan untuk menyampaikan hajat sebuah bangsa yang begitu besar terhadap dunia  tentang masa depannya. Proklamasi itu adalah pesan kepada publik global (walau waktu itu belum ada istilah globalisasi).

Perhatikan begitu singkat dan padat. Cuma berisi dua kalimat. Kalimat pertama menyatakan kemerdekaan. Kalimat kedua apa yang (akan dan harus) dilakukan. Yakni pemindahan kekuasan. Pun dijelaskan caranya: seksama, secepatnya (dalam tempo sesingkat-singkatnya).

Dua kalimat sederhana itu mewakili niatan, nafas kehidupan berbangsa dan bernegara. Luar biasa bagi perumus teks proklamasi tersebut dan terindikasi para perumus berfikir jauh ke depan secara bijak, mengglobal. Teks proklamasi kemerdekaan Indonesia itu memang sebuah pusai.” (Sugiono Empe)

 

***

Saya yakin kita tidak akan menemukan bukti yang menyatakan teks Sumpah Pemuda dan Proklamasi Kemerdekaan diniatkan oleh para penyusunnya sebagai naskah puisi. Bagaimanapun dua oknum pembaca di atas punya alasan untuk mengabaikan. Mereka bahkan berani mengooptasi kedua teks itu ke wilayah pengertian puisi. Yang satu beralasan bahwa teks Sumpah Pemuda “memberikan inspirasi dan hikmah bagi banyak orang bahkan bisa memberikan inspirasi bagi masyarakat dan bangsa,” sedang yang satu lagi mengajukan alasan bahwa teks Proklamasi “hemat kata, sarat makna, futuristik.” Dengan lain kata: “Terserah apa niat seorang penulis, yang penting tulisannya tercakup dalam paradigma puisi yang kuanut.”

Yang perlu dicatat, di tempat lain Sutardji menulis, “Menulis sajak adalah aktivitas menciptakan keunikan-pribadi, lewat kata-kata puisi. Dengan keunikan itu yang mengandung potensi untuk berbagai penafsirannya, penyair memberi kearifan dan kesadaran personal pada masyarakat sastra pada masyarakat umumnya dan pada dunia.” Sedang Sugiono menyatakan, “Pusai sudah harus puisi. Artinya irama atau melodi diksi tercapai sehingga benar-benar enak dilafal, dibaca, didengar. Banyak penulis yang beranggapan bahwa puisi itu susunan kata-kata, padahal sejatinya ia adalah komposisi irama ‘bunyi’ suku-suku kata dan nonkata.”

Seperti halnya teks Proklamasi Kemerdekaan, teks Sumpah Pemuda disusun bukan oleh individu melainkan kelompok. Karena itu tidak mungkin kita menemukan keunikan-pribadi di situ sebagaimana dinyatakan Sutardji tentang hakikat puisi. Juga, kalau kita taruh teks Sumpah Pemuda dalam paradigma estetika puisi dekade 1920-an, rasanya sulit kita temukan asosiasinya. Bandingkan misalnya dengan puisi-puisi di Poespa Mega karya Sanoesi Pane. Maksud saya, saat kita membaca teks Sumpah Pemuda, kita tidak otomatis berpikir, “Ini kok kayak puisi, ya.” Hal sama terjadi pada teks Proklamasi. Kita bisa menemukan ribuan redaksi surat dan pengumuman dengan karakteristik dan kualitas serupa: lugas, efisien, enak untuk dibaca, dan di saat sama tidak membuat kita mengasosiasikannya dengan puisi.

Puisi hidup dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi, atau (meminjam wacana T. S. Eliot) tradisi dan bakat individu. Dua hal yang, seperti masa lalu dan masa kini, memiliki batasnya masing-masing dan di saat sama berebut pengaruh dalam kreativitas. Alhasil: irisan, wilayah bersama, milik konvensi/tradisi/masa lalu sekaligus milik inovasi/bakat individu/masa kini. Harus dicamkan, irisan ini ada justru sebab batas dua atau lebih domain bisa diidentifikasi. Sekarang, dalam paradigma konvensi atau tradisi macam apa orang merasa berhak mengatakan teks Sumpah Pemuda dan Teks Proklamasi adalah puisi? Kalau niat dan konvensi tidak teridentifikasi, bagaimana bisa kita menghadirkan irisan bernama, katakanlah, meminjam istilah Sutardji, puisi besar?

Malkan Junaidi, penyair, penerjemah, petani dan pekerja bangunan. Puisi-puisinya tersebar di beberapa media dan beberapa dibukukan.

Artikel ini telah dibaca 344 kali

Baca Lainnya

Sendirian ke Festival

24 November 2024 - 15:25 WIB

The Venyamin membawakan "From Behind the Iron Bars"

Optimus: Revolusi AI atau Kiamat Teknologi?

17 November 2024 - 20:56 WIB

Wikiart.org

Beberapa Kesalahan Penulis dalam Mengirim Naskah ke Media

24 September 2024 - 01:12 WIB

WikiArt.org

Forgot Password Hindia dan Representasi Gen Z

13 September 2024 - 22:42 WIB

Sumber Foto: Kapanlagi(dot)com

Pembaca: Keluarga dan Negara

8 September 2024 - 05:33 WIB

Portrait of Frida's Family, Frida Kahlo via wikiart

KONFIGURASI PERSONAL DAN INTERPERSONAL DALAM KUMPULAN CERITA DAMAHUM

13 April 2023 - 23:42 WIB

Trending di Esai