Album pertama, dapat dianalogikan sebagai sebuah kelinci percobaan; sebuah barang tes pasar. Sementara album kedua, dibuat untuk memperlihatkan eksistensi diri sang artis. Di album keduanya, Kunto Aji bukan hanya melaksanakan ‘tugas’ tersebut, tetapi juga menunjukkan pendewasaan dalam bermusik yang sangat menarik untuk ditelaah.
Tepat di pukul dua belas pagi pada tanggal 14 September lalu, Kunto Aji mengumumkan bahwa Mantra Mantra—album kedua beliau—resmi dirilis di semua platform streaming musik digital. Album ini berisi sembilan lagu segar karya beliau. Lima lagu pada album ini sebelumnya sudah diperdengarkan pada publik dalam bentuk demo, di sebuah mini album yang diberi nama Overthinker (dirilis secara digital), dengan setiap lagu dinamakan Mantra 1, Mantra 2, dan seterusnya.
Album follow-up dari Generation Y (2015) ini memiliki warna yang jauh berbeda. Jika pada Generation Y Kunto Aji menyanyikan lagu-lagu dengan tema yang dekat dengan para pendengarnya—seperti lagu tentang orang yang patah hati, tentang orang yang kesepian, tentang orang yang sulit memahami hati lawan jenisnya, tentang orang yang bokek, dan tentang orang yang berusaha move on—Mantra Mantra lebih bersifat personal. Ini adalah album yang—secara langsung maupun tidak langsung—memperlihatkan Kunto Aji yang mengatakan; inilah diriku.
Dari segi musik, Kunto Aji menggaet produser-produser yang memiliki ciri khas tersendiri, yang juga sudah memiliki kiprah masing-masing dalam ranah musik. Petra Sihombing, Ankadiov Subran, Anugrah Swastadi, dan Bam Mastro adalah nama-nama yang terlibat. Kunto Aji tampil sebagai perancang konsep, dengan ide-ide lagu pada kedua tangannya. Kemudian ia mengubah konsep yang ia genggam menjadi kanvas putih. Ia pun menyediakan kanvas putih itu untuk bebas dicorat-coret oleh produser-produser yang ia percaya di atas.
Di album ini, bisa dibilang Kunto Aji mencoba melepaskan diri dari bayang-bayang album pertama. Musik pop merdu yang dibalut elemen jazz di Generation Y seperti Mercusuar atau Terlalu Lama Sendiri, tidak akan ditemukan di Mantra Mantra. Kunto Aji memberanikan diri (dan memuaskan diri) bermain-main dengan keys, beat-beat yang diproduksi secara digital, dan sampling; tanpa meninggalkan instrumen-instrumen seperti piano, gitar (akustik dan elektrik), bass, dan drum sepenuhnya.
Untuk lirik, Kunto Aji konsisten, bahkan mengembangkan diri, dalam ciri khasnya menulis lirik yang gamblang dan jujur. Namun bedanya, Kunto Aji kini gamblang dan jujur dalam menuliskan dirinya; apa yang ia rasa, yang ia alami, sebagai seorang musisi, sebagai seorang pemimpi, sebagai (mungkin) seorang kekasih, dan sebagai dirinya sendiri.
Lagu pertama dan terakhir (Sulung dan Bungsu) cukup identik, dengan aransemen yang agak berbeda. Keduanya mengulang-ulang bait-bait lirik yang sama: “cukupkanlah ikatanmu / relakanlah yang tak seharusnya untukmu”, dan: “yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri”. Pada Sulung, aransemen gitar akustik dan piano yang sederhana, membawa kita larut dalam pesan yang dibawakan dalam repetisi ciamik. Sebuah prolog yang menarik; santapan pembuka yang tidak membuat kita terlalu kenyang dan merangsang kita untuk segera mencicipi hidangan utama. Sementara Bungsu adalah pencuci mulut yang menyegarkan, meluncur dengan lembut di tenggorokan. Dibuka tanpa basa-basi oleh rentetan kord pada keys, kemudian diikuti oleh vokal Kunto Aji, menyanyikan pesan yang sama seperti pada Sulung.
Lagu-lagu berikutnya, meluahkan isi hati sang artis lewat berbagai cara yang indah. Judul-judul seperti Rancang Rencana, Konon Katanya, dan Rehat membawakan pesang-pesan optimisme yang menarik.
Judul pertama, menceritakan pengejaran cita-cita yang seiring waktu seolah mulai menjadi momok dalam diri, dan Kunto Aji menunjukkan optimismenya dalam menapis segala rintangan dalam pengejaran cita-citanya.
Kemudian Konon Katanya, yang sebelumnya sudah pernah dirilis dalam bentuk single, adalah lagu yang energik dan melankolis di waktu yang sama. Dibalut suara gitar elektrik, bass, dan drum yang dimainkan dalam ketukan swing, frasa “konon katanya” yang dinyanyikan berulang-ulang, dan bait-bait seperti “hidup bukan tentang angka” merasuk ke dalam jiwa, memberi asupan energi baru ke dalam diri untuk memulai kembali langkah-langkah mencapai tujuan semula.
Rehat mengandung suara kepasrahan dan keikhlasan yang positif. Bait seperti: “yang ditunggu, yang diharap, biarkanlah semesta bekerja untukmu”, terdengar seperti wejangan sederhana yang berusaha disampaikan oleh Kunto Aji lewat nada-nada bernuansa sentimental. Lagu ini dari segi musik juga cukup unik. Penutupan berupa sebuah outro instrumental bernuansa ambient yang sangat memanjakan telinga, yang juga memakan hampir separuh dari seluruh lagu, merupakan eksperimen menarik dan cukup diluar ekspektasi dari Kunto Aji. Di lain sisi, outro instrumental ini juga bisa diinterpretasikan sebagai interlude menuju lagu selanjutnya; Jakarta Jakarta.
Lagu tersebut, seolah menceritakan kota Jakarta, tempat tinggal sang artis. Namun Kunto Aji sebenarnya tidak bernyanyi tentang kota tersebut; ia menyanyikan hubungan hatinya dengan Jakarta: kota yang sibuk, kota yang penuh kenangan, kota yang penuh impian, dan “kota yang sama yang membuatku merasa sepi”.
Dua lagu yang berjudul Pilu Membiru dan Topik Semalam, memiliki suasana romantis yang hampir sama. Lirik-lirik pada Pilu Membiru seperti “masih banyak yang belum sempat aku katakan padamu”, dan metafora-metafora klise seperti “tak ada yang seindah matamu / hanya rembulan” dinyanyikan Kunto Aji dengan suara khasnya, yang memang cocok untuk melantukan lirik-lirik semacam itu. Sementara Topik Semalam lebih jujur dan personal, menceritakan kisah cinta lucu dan kikuk yang ‘dikerjar deadline’. Kunto Aji bernyanyi dengan ringan: “tapi tunggu dulu / kurangkai dengan waktu / kusemai harapanmu / sebelum kutemui / ayahmu”.
Dan akhirnya, di antara lagu-lagu di Mantra Mantra, ada sebuah lagu menarik yang berjudul Saudade; lagu yang—jika dibandingkan dengan Generation Y—sangat ‘tidak Kunto Aji’. Diproduseri oleh Bam Mastro, lagu ini dibentuk di atas sample biola orkestra yang indah dan harmonis. Beat-beat digital yang mengikutinya, membuat pembangunan lagu ini semakin menarik. Lirik-lirik Kunto Aji disini sedikit abstrak, menari-nari pada vokal Kunto Aji: “dikatakan awan hitam / sebelum datangnya hujan / biarlah aku dikutuk dan engkau yang dirayakan”.
*****
Dari Sulung hingga Bungsu, lagu-lagu pada Mantra Mantra bersifar warna-warni, berbeda-beda. Namun yang menarik adalah setiap lagu saling berpegangan satu sama lain, sehingga seolah menciptakan sebuah kronologis yang urut. Formula ini bisa jadi terinspirasi dari Generation Y yang juga membentuk kronologis serupa. Tetapi perlu diakui, Mantra Mantra memiliki konsep yang lebih kuat, memperlihatkan eksistensi dan identitas sang artis dengan baik.
Eksplorasi dan eksperimen yang dilakukan, dari segi musik dan lirik pada album keduanya ini, merupakan usaha yang bagus dari Kunto Aji. Beliau sebenarnya punya celah untuk merilis single-single yang kelak akan jadi hits, karena perlu diingat beliau dulunya adalah jebolan ajang pencarian bakat di televisi. Dan juga perlu diingat bahwa kebanyakan jebolan ajang pencarian bakat televisi berujung menjadi one hit wonder atau hanya sibuk merilis single-single lalu akhirnya hilang, atau jadi driver ojek online. Tetapi Kunto Aji tidak; ia berani mengambil resiko dalam berkarya, mencoba hal-hal baru, menampilkan dirinya sebagai musisi yang mandiri, mencipta mantra-mantra yang menyihir pendengar sehingga menjadi lebih berani, nyaman, positif, dan optimis.(*)