Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Puisi · 15 Dec 2024 17:38 WIB ·

Puisi Leya Kuan


 Willi Baumeister, Africa I, 1942 via WikiArt.org Perbesar

Willi Baumeister, Africa I, 1942 via WikiArt.org

Ibu Kotaku & Ibu Negerimu

Jangan tinggal ibu kota—
Aku masih merenung dalam mimpi setahun selalu,
Mundar-mandir di antara jalan dan pelabuhan,
Namun izinkanku merinduimu sepenuh sejiwa,
Jangan biarkanku tenggelam dalam selaut nestapa,
Aku masih benamkanmu dalam setiap pikiranku.

Jangan tinggal ibu kota—
Di sini mereka masih meriah dan mengombak,
Pada waktu malam yang sunyi begini masihkah
Kamu mengenang waktu kami berdua di ibu kota,
Apakah kamu masih dalam pelukanku di kereta,
Jemariku yang mengenang sentuhan jemarimu.

Jangan tinggal ibu kota—
Kota milik kami berdua walaupun asing dan tua,
Di antara kapan dan di mana, ku menyelimutimu,
Di bawah langit yang sama, dua dunia nan berbeda,
Sewaktu mentari sore bersinar jadi rembulannya muram,
Kami begitu berbeda, kecuali dalam kasih dan cinta.

Jangan tinggal ibu kota—
Gedung-gedung yang menyembunyi kecerahan sehari,
Tanah kelahiranku menyuruhku dengan ratusan pesanan,
Seakan Dia yang memanggil-manggil setiap minggu,
Dengan dirimu adanya jawaban yang pasti kembali,
Ku meneliti langit untuk pesawat terbang lagi.

Cinta

Aku pernah jatuh cinta,
Aku pernah bayangkan acara pernikahan diriku dan
Coba merasakan bunga yang akan hiaskan sanggulku,
Aku pernah memeluk dan memegang bayi yang akan
Menangis di pangkuanku, dia pakai nama yang telah
kupilih bersama namamu, aku mengagumi senyumannya
Yang empuk, aku mengejar bayangan yang sempurna,
Karena saat itu aku pernah jatuh cinta.

Aku tidak akan jatuh cinta,
Aku tidak akan berlangkah salah cuma untuk peluang
Bahagia, aku hidup dengan kenangan saja, di luar
Ingatan tiada lagi yang konkrit, malam kian berlalu dan biru,
Lilin lampu terpendam sudah, bunga layu, jejak langkahmu diam hingga hilang,
Kutukarkan kenangan manis kepada bayangan gelap,
Karena kini aku tidak perlu bercinta.

Aku akan jatuh cinta,
Aku mengumpulkan lagi sisa janji dan tinggalan surya,
Pernah kamu janjikan sehidup sematanya mewah,
Pernah aku menjadi seorang remaja yang patah hati,
Akanku melangkah dan mengejar, menggapai hidup
Yang masih aku bayangkan, dan menghidu harum bunga
Di harapan depan, kupeluk hari-hari yang akan datang,
Karena saat nanti aku bisa jatuh cinta lagi.

Bioskop

Aku kunjung ke bioskop sore ini, menonton film yang
Telah kunonton sepuluh ataupun seratus kali, aku pergi
Bersama diriku sendiri, tiketnya murah sekali, jadi aku
Berharap aku bisa ketemu kembali bersama peran yang
Sering aku berfantasi, kutahu ini caranya kubisa berlari.

Aku duduk di antara dua keluarga, mereka meneliti aku
Tidak pasti dengan rasa apa, mungkin suami itu ingin
Menggodaku, atau anak mereka tertawa pada aku yang
Bersendirian antara pacaran penonton, mungkin mereka
tidak/belum tahu, aku sudah nikah sama aktor di layar.

Aku menikmati film ini, seolah pertama kali aku
Menontonnya, aku coba mengesampingkan bisikan yang
Kian bising dari dua sisiku, istri tua dan anaknya yang
Jauh nyaring daripada suara film, aku coba benci namun
Gagal, ibuku sudah lelah dan tidak ingin menonton film ini lagi.

Aku menangis di tengah film ini, aku selalu menangis
Tiba di adegan ini, saat yang sama, untuk alasan yang
Tetap, ciuman hangat di layar, cinta itu nyata buat
Sementara, aku menjangkau jemari, hampir tiba
Menggapai realitas ini tapi tetap jebak di fantasi.

Film ini bukan tentang aku, meski puisi ini bukan
Tentang aku, selepas tayangan ini aku sesat di kota yang
Jauh dari kenangan, aku berlangkah di jalan tanpa
Melihat atau mendengar, aku ditinggalkan di bioskop
Lagi, bersama imajinya indah, bahagianya hidup bersama suami.

Tukang Puisi

Sorot sore, aku tidak bisa menyelematkanmu,
Aku tidak pasti siapa yang perlu minta maaf,
Aku tidur pukul sepuluh, dan bangun pukul sepuluh,
Terlalu perlahan, terlalu pantas–meski aku tidak akan insaf,
Kamu tinggalkan nama saja setelah tinggal samaku.

Cerai waktu siang dan malam, jangan jadikan aku halang,
Saat aku merenung, kalau inilah takdir yang telah ditentukan buatku,
Jadi aku tukar tunai kepada kredit, kebencian kepada sayang,
Kalau kau ragu, mungkinlah ini ujung jalan buat kita berdua, kau
Menciptakan cuma untuk merampas semula, suara kataku makin hilang.

Pagi tanpa sinar cahaya itu tetap pagi, jadi hari tanpamu tetap hari,
Sepertimu, pernah seorang mubaligh yang janjikan Nibbana kepadaku,
Jadi hidup tanpamu sudah kulihat dan alami: Neraka yang tidak berapi,
Dibalik jendela, langit sudah mendung, derai hujan yang menyelimutimu,
Binasa sudah ide dan cerita, janganlah dicurimu, datang dan pergi.

Aku tulis tentang “telah” dan “sudah”, aku sudah lambat, aku tahu,
Aku bukan pemberani, siapakah aku untuk mengarahkan “akan”?
Siapakah aku, memakai kata mewah untuk mengusir rindu?
Siapakah kau, muncul dari lirik yang tidak pernah dinyanyikan?
Begitu cantik dipandang, merdu didengar, tapi masih lolos daripadaku.

Kau. Kau tidak pernah bercinta secara tuntas,
Kau masih pakai celana hitam dan baju yang sama, mondar-mandir stasiun dan bandara,
Kau yang berkecil-kecilan tapi berjalan besar-besaran saat sesat, langkah terlepas,
Kaya tipu daya, miskin makna kata, kau hitung hari dan tempat tanpa masa atau arah,
Setelah ini hari ulang tahunmu, namun kau dibelenggu, sudah aku bebas.

Leya Kuan, mahasiswa dan penulis. Ia sering menulis tentang orang-orang yang pernah ia temui dan tempat-tempat yang akan ia kunjungi. Penulis favoritnya adalah Aan Mansyur dan Lu Xun.

Artikel ini telah dibaca 133 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Puisi Moch Aldy MA

9 February 2025 - 15:11 WIB

Nicolae Tonitza, child head, via Wikiart.org

Puisi Ade Faulina

19 January 2025 - 20:01 WIB

WikiArt.org

Puisi Yana Risdiana

31 December 2024 - 17:18 WIB

WikiArt.org

Puisi Yana Risdiana

31 December 2024 - 17:12 WIB

WikiAart.org

Puisi Andy Sri Wahyudi

22 December 2024 - 23:02 WIB

George Stefanescu, Fishes at the Japan Sea, via WikiAart.org

Puisi Muhamad Kusuma Gotansyah

15 December 2024 - 17:48 WIB

Urban Landscape, 1922 via wikiArt.org
Trending di Puisi