Judul: Nasida Ria: Sejarah The Legend of Qasidah 1975-2011
Penulis: Listiya Nurhidayah
Penerbit: Penerbit Dramaturgi (Pemalang)
Tahun Terbit: Februari, 2019
Tebal: xii+93 halaman
ISBN: 978-602-53450-1-2
Menjaga eksistensi sebuah kelompok musik sama seperti kisah Sisifus mendorong batu ke puncak gunung, membiarkan batu itu jatuh setelah mencapai puncak, dan memulai lagi dari awal: kutukan dan harus dilakukan dengan kesadaran. Berbagai cara dilakukan kelompok musik untuk menjaga eksistensi, mulai dari menjaga kualitas karya yang dirilis (terkadang dengan sedikit eksperimentasi), menjaga kedekatan dengan pendengar, menjaga suasana internal kelompok, hingga bongkar-pasang personel. Yang disebut terakhir adalah cara paling jamak dilakukan untuk mempertahankan eksistensi sebuah kelompok musik. Sepengetahuan saya, hanya satu kelompok musik yang bisa mempertahankan eksistensinya dengan komposisi personel yang sama seperti pertama kali dibentuk yaitu band punk asal Amerika Serikat, The Addict.
Hal menarik muncul dari sebuah kelompok musik qasidah Nasida Ria, yang berasal dari Kauman, Kota Semarang. Kelompok musik ini mampu menjaga eksistensinya sejak tahun 1975 dengan berbagai strategi. Usaha ini dirangkum dalam buku Nasida Ria: The Legend of Qasidah karya Listiya Nurhidayah yang mencoba mendokumentasikan bagaimana Nasida Ria berdiri, menggaet atensi publik, dan mempertahankan eksistensi.
Setelah didirikan pada 1975 oleh H. Muhammad Zain dan istrinya, Hj. Mudrikah Zain, Nasida Ria sering mengisi acara-acara pernikahan, sunatan, dan kampanye partai-partai politik. Nasida Ria memiliki lagu-lagu tematik sesuai dengan acara yang mereka hadiri: ketika mereka menghadiri pernikahan, lagu Pengantin Baru yang muncul dan ketika menghadiri sunatan, lagu Khitanan akan ada dalam song list mereka. Ketika mereka merayakan Perang Dunia 3, lagu Bom Nuklir dinyanyikan.
Khitanan
Adikku sayang oh adikku sayang
Kini masanya kau kan dikhitankan
Adikku sayang oh adikku sayang
Kini masanya kau kan dikhitankan
Menjalankan syari’at Nabiallah Ibrahim
Sebagai abal anbiyya yang dikasihi Allah
Tersebut Khalilullah
Teteskan darahmu sebagai saksi
Demi sunnah Rasul yang harus ditaati
Uswatun hasanah sebagai teladan
Sungguh mulia menjalankan teladan
Oh adikku sayang
Selayaknya kelompok musik qasidah, Nasida Ria memproduksi lagu-lagu dengan lirik berisi dakwah. Namun, kita akan menemukan lagu-lagu dakwah Nasida Ria tidak hanya berisi petuah agama. Isu-isu sosial seringkali hadir dalam lagu-lagu Nasida Ria. Bom Nuklir, Wartawan Ratu Dunia, dan Tahun 2000 adalah tiga judul yang bisa kita ambil dari lagu-lagu “sosial” Nasida Ria yang sudah memiliki 35 album ini.
Ratu dunia ratu dunia, oh wartawan ratu dunia
Apa saja kata wartawan mempengaruhi pembaca koran
…
Wartawan dapat membina, pendapat umum di dunia
(Wartawan Ratu Dunia)
Tahun dua ribu kerja serba mesin
Berjalan berlari menggunakan mesin
Manusia tidur berkawan mesin
Makan dan minum dilayani mesin
…
Penduduk makin banyak
Sawah ladang menyempit
Mencari nafkah makin sulit
Tenaga manusia banyak diganti mesin
Pengangguran merajarela.
(Tahun 2000)
Pada tahun 1985, tahun lagu Tahun 2000 rilis, Nasida Ria sudah membicarakan agenda otomasi yang berkait kelindan dengan kapitalisme global dengan mempertanyakan “Apakah benar saat robot melakukan seluruh pekerjaan manusia bisa meringankan kehidupan manusia atau malah membuat kita pusing bagaimana melanjutkan hidup?”.
Dengan bahasa yang lugas dan sederhana, Nasida Ria bisa membawa dakwah dan persoalan sosial – bahkan isu yang terkesan futuris – menjadi mudah dicerna publik luas. Hal tersebut menjadikan Nasida Ria lebih populer. Apalagi dalam perjalanannya, Nasida Ria sudah mencapai publik nasional dengan sering mengisi acara di Televisi Borobudur dan diundang ke acara Aneka Ria Safari di TVRI yang menjadi acara musik populer utama di Indonesia saat itu. Bahkan Nasida Ria sempat menjadi bintang tamu di Hong Kong, Malaysia dan Berlin.
Namun, menjaga eksistensi tetaplah kutukan. Pasar telah bergeser dan popularitas Nasida Ria mulai meredup. Pada awal 2000-an, pasar musik reliji mulai dikuasai oleh musik selawat yang dimotori oleh Habib Syekh bin Abdul Qadir bin Abdurrahman Assegaf. Selain itu, terdapat pula konflik-konflik internal personel Nasida Ria yang menyebabkan keluarnya beberapa anggota Nasida Ria – ya, masalah klise kelompok musik.
Untuk menjaga eksistensi, manajemen Nasida Ria menggunakan cara regenerasi. Dengan cara inilah Nasida Ria masih tetap hidup. Kelompok Kasidah Tanpa Nama (untuk usia 12-15 tahun) dan Ez-Zura (usia 19-23 tahun) adalah wadah awal pelatihan bermain qasidah sebelum menjadi anggota Nasida Ria. Sistem ini cukup manjur menjaga bara Nasida Ria tetap menyala. Ditambah lagi, kelompok Kasidah Tanpa Nama dan Ez-Zura pun mendapatkan berbagai panggilan manggung.
Dengan cara itulah Nasida Ria mampu terus eksis. Bahkan Nasida Ria mencapai puncak baru popularitasnya ketika mereka mulai digandrungi banyak anak muda setelah meledaknya lagu Wajah Ayu untuk Siapa? yang mengandung kata “kampret” dalam liriknya. Kata tersebut dirasa lucu dan menarik oleh banyak anak muda. Pada 2014 Nasida Ria menjadi pengisi festival musik rutin garapan kolektif seni kontemporer, Ruangrupa Jakarta, Ruru Rec Festival. Lalu pada 2018, Nasida Ria mengisi panggung utama Synchronize Festival, salah satu festival musik terbesar anak muda Ibukota. Nasida Ria yang hadir bersama NDX A.K.A menginfiltrasi panggung ibukota dan membawa musik qasidah juga dangdut koplo pada publik yang lebih luas. Sampai-sampai Soni Triantoro menulis dengan judul “Musik Indonesia Akan Baik-baik Saja Tanpa Jakarta” di Tirto.id.
Hal yang disayangkan adalah diundangnya Nasida Ria ke Ruru Rec Festival 2014 dan Synchronize Festival 2018 tidak dicantumkan di buku ini. Padahal, akan sangat menarik jika kita mengetahui alasan diundangnya Nasida Ria dengan musik qasiah-nya untuk tampil di dua festival musik anak muda besar itu. Belum lagi jika kita melihat Gus Choliq, manajer Nasida Ria saat ini, diundang oleh ruangrupa Jakarta untuk mengisi materi pengelolaan kolektif seni pada Januari 2019. Beberapa peristiwa pun terasa terlalu terburu-buru diselesaikan, serasa dirangkum ter
Meskipun seperti itu, Listiya Nurhidayah dan Penerbit Dramaturgi telah memberikan dokumentasi awal yang menarik atas kelompok qasidah asal Semarang ini. Mereka telah menyumbang pendokumentasian perjalanan kelompok musik asal Indonesia, terutama nonibukota yang saat ini masih cukup jarang ditemukan di Indonesia.***
Gregorius Tri Hendrawan Manurung, sehari-hari nongkrong di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang sambil bergiat di Kelompok Coba-Coba (Instagram: @lagi.cobacoba) dan Highvoltamedia.com