Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Cernak · 15 Dec 2024 20:34 WIB ·

Cerita dari Candi Borobudur


 Ilustrasi: Rahmat Hidayat Perbesar

Ilustrasi: Rahmat Hidayat

Langit kota Magelang, Jawa Tengah tampak cerah. Surya baru saja naik sejangkal tangan orang dewasa. Rombongan dari Sekolah Dasar Negeri 1 Pangkal Ponorogo Jawa Timur baru saja turun dari bus. Hari ini mereka akan mengunjungi candi Borobudur. Mereka adalah siswa kelas VI dengan didampingi wali kelas, Ibu Dewi dan beberapa guru lain, seperti Pak Sanusi.

Sambil menunggu antrian tiket masuk, Bu Dewi memberitahu murid-muridnya bahwa candi Borobudur merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia. Borobudur dibangun pada masa pemerintahan dinasti Syailendra. Mendengar ulasan dari Bu Dewi, muridnya semakin antusias segera masuk kawasan candi. Mereka tidak sabar ingin melihat relief-relief candi yang pernah dilihat dari buku ensiklopedia candi-candi di Indonesia. Hari ini, mereka akan melihatnya secara langsung.

“1.460 relief di dinding candi Borobudur berkisah tentang kehidupan Budha. Kisah kelahiran Budha menceritakan kisah relief Jataka dan Awadana.” Salah satu tulisan di papan informasi dibaca nyaring oleh Anita.

Tidak kalah penasaran, Dino pun turut membaca tulisan lain, “Candi Borobudur diampit oleh dua pasang gunung, yaitu Gunung Merapi dan Merbabu, Gunung Sindoro dan Sumbing.”

“Anak-anak ini adalah kesempatan kalian mencari tahu tentang candi yang luar biasa itu. Kalian bisa mencatat apa saja yang ada di sana. Kalau lelah boleh istirahat karena kalian akan menyusuri tiga tingkatan candi,” pesan Bu Dewi.

“Tiga tingkatan? Apa saja itu, Bu?” celetuk Anita ingin tahu.

Bu Dewi menjawab sambil memberikan buku Panduan Wisata Candi Borobudur. “Paling bawah dinamakan kamadhatu, lalu rupadhatu, dan paling atas arupadhatu.”

Usai mendapat pengarahan, semua siswa berpencar sesuai kelompok yang telah dibentuk. Setiap kelompok terdiri dari 3-4 siswa ditambah satu pendamping. Pak Sanusi adalah pendamping kelompok Anita. Anita bersama tiga teman lain Rama, Ulin, dan Tamika mulai memasuki kawasan depan candi yang berumput. Di padang rumput yang menghijau itu banyak digunakan pengunjung untuk berfoto.

Memasuki tingkat paling bawah, kamadhatu, mereka menikmati setiap relief yang ada.

“Coba lihat relief ini!”  teriak Rama berjalan paling belakang. Seketika rombongan kelompok Anita terhenti.

“Seperti gambar orang sedang berbisik,” komentar Anita.

“Wajah orang-orang itu jelek sekali,” tambah Ulin ikut berkomentar.

Tak berapa lama, Pak Sanusi menjelaskan relief yang ditunjuk Rama dengan ringan.

“Ukiran batu itu menceritakan tentang sekelompok orang sedang berbisik, menguping, dan membicarakan orang lain. Wajah mereka tampak buruk rupa. Hal itu petanda, bahwa membicarakan orang lain adalah kebiasaan yang tidak baik.”

“Anita itu Pak sering berbisik-bisik,” celetuk Rama.

“Enak saja. Kamu juga sering menguping kalau ada teman ngobrol,” protes Anita.

Suasana tiba-tiba saling menuduh. Segera Pak Sanusi menghentikan perdebatan mereka dengan menunjukkan relief lain.

“Nah, kalau ini seperti orang mengikat tangannya ke belakang membawa sesuatu sambil menunduk. Makna ukiran itu menggambarkan tindak pencurian. Mengambil barang milik orang lain adalah perbuatan tercela. Gambar orang ini menunduk karena merasa malu atas tindakannya,” jelas Pak Sanusi sambil menunjukkan relief candi yang dimaksud.

“Apakah setiap relief di dinding candi ada maknanya, Pak?” tanya Ulin sambil mencatat.

Pak Sanusi tersenyum, lalu menjawab, “Tentu saja. Tidak ada sesuatu yang diciptakan tanpa maksud dan maknanya.”

Anita dan ketiga temannya mengangguk mengerti. Mereka tak lelah selalu mencatat apa yang dikatakan Pak Sanusi. Termasuk  ada cerita dan makna di balik relief Candi Borobudur. Begitu menemukan gambar yang unik mereka membuka buku panduan yang diberikan Bu Dewi. Sesekali, mereka juga bertanya kepada pembimbing kelompok.

Pak Sanusi senang. Kelompok Anita memiliki semangat keingintahuan tinggi. Sampai Pak Sanusi merasa lelah harus menjawab semua pertanyaan mereka.

“Relief di Candi Borobudur ada sekitar 2.672 buah. Jadi, ada hampir 3.000-an makna di balik mahakarya itu.”

Hampir satu jam lebih keliling Candi Borobudur, Anita dan teman-temannya tahu banyak tentang Candi Borobudur. Mereka beruntung didamping Pak Sanusi karena beliau selalu berusaha menjelaskan hal yang membuat Anita dan ketiga temannya bingung. Bahkan, Pak Sanusi juga memberikan penjelasan di balik ribuan relief yang ada.

Merasa lelah ditambah sengatan matahari cukup panas, mereka berhenti sejenak di tingkat ketiga, rupadhatu. Dari ketinggian, mereka dapat memandang alam bebas.

“Indah sekali. Lihat, apakah itu gunung Merapi?”

Ulin tampak tercenga melihat pemandangan di sekitar candi. Tampak gunung berderet-deret mengelilingi candi. Hijau kebiruan dari kejauhan. Beberapa gunung karena terlalu jauh hanya tampak keputihan. Ulin menunjuk pada salah satu gunung besar dan tinggi..

“Bukan. Itu gunung Merbabu, Nak. Di sana ada padang savana yang hijau kala musim penghujan, dan kecoklatan pada musim kemarau.  Ada juga bunga adelweis yang cantik,” terang Pak Sanusi. Segera Ulin mencatat dalam bukunya. Begitupula dengan Anita, Rama, dan Tamika.

Keliling candi Borobudur membuat Anita dan teman-temannya mengetahui lebih jauh tentang candi. Cukup menelusuri candi, Pak Sanusi mengajak kelompok Anita melepas lelah sambil keliling pasar Borobudur.

Pasar tradisional Borobudur menjadi kunjungan terakhir. Di sana, Anita dan teman-temannya membeli pernak-pernik, seperti gantungan kunci, baju bertuliskan I Love Borobudur, batik khas jawa tengah, dan masih banyak lagi.

“Ulin beli ini yuk! Cantik ada bonekanya,” ajak Tamika menunjukkan pensil gaul yang diberi hiasan kepala boneka.

“Ayo, kita belikan juga Pak Sanusi sebagai hadiah karena telah menemani kita jalan-jalan.”

Usai keliling candi dan pasar, rombongan kembali ke parkiran. Mereka tampak senang. Tibanya di sana, mereka saling memamerkan catatan dan barang oleh-oleh. Bu Dewi senang dapat mengajak mereka wisata ke candi. Ia yakin muridnya akan lebih bangga dan cinta wisata di Indonesia. (*)

 

Suci Ayu Latifah. Alumni STKIP PGRI Ponorogo. Penggerak Sekolah Literasi Gratis Ponorogo. Beberapa cerita anak termuat di berbagai media sejak tahun 2017.

Artikel ini telah dibaca 36 kali

Baca Lainnya

Enaknya Menikmati Kembuay

31 December 2024 - 17:54 WIB

Zine Ramah Anak

23 December 2024 - 02:58 WIB

Mukena Pemberian Ibu

24 November 2024 - 01:34 WIB

Ilustrasi: Rahmat Hidayat

Andai Probolinggo Jadi Ibukota

17 November 2024 - 21:19 WIB

Adi dan Panggilan Salat

13 November 2024 - 20:41 WIB

Tigatelu via iStock

Jangan Malas Olahraga

3 November 2024 - 22:34 WIB

Kazemir Malevich, Sportsmen, via WikiArt.org
Trending di Cernak