[Yah, beras habis.]
Beberapa menit kemudian.
[Yah, tadi tukang listrik nagih tunggakan. Kalo nggak segera dibayar, listrik terpaksa diputus.]
Beberapa menit kemudian.
[Yah, Aisha bulan Januari masuk sekolah. Beli seragamnya kapan?]
Beberapa menit kemudian.
[Yah, nanti sore jadi kondangan?]
Beberapa menit kemudian, kepalaku berdenyut, tapi gegas kualihkan pandangan ke sekerumunan orang-orang dan kendaraan yang lalu lalang. Lalu, selayar poto anakku, Aisha dan istriku. Nyeri di kepalaku perlahan pudar.
Sudah jam sembilan pagi, tapi belum satu pun ibu-ibu memanggil namaku untuk menyewa jasa ojek.
[Doain aja Ayah hari ini dapat rejeki.] Terkirim.
Motivasiku dalam hidup kini hanya membahagiakan anak dan istri. Setiap kali ada yang lewat kutawarkan tumpangan. Akan tetapi, kebanyakan orang sudah punya langganan. Ada juga yang lebih suka pakai ojek online. Sebagai orang transmigran, tak mudah untuk menyesuaikan segalanya.
Udara panas membuatku cepat berpeluh. Halte bus beratap biru menjadi tempat untuk beristirahat sejenak. Namun, di belakang halte itu ada parit kecil tempat orang-orang suka membuang limbah, terutama limbah dari lapak ikan. Aroma yang membuat perut mual tak ayal halte ini jadi sepi. Orang-orang lebih suka menunggu di lain tempat.
Pasar tradisional di seberang jalan itu masih ramai, tapi sebentar lagi pasar itu akan dirombak menjadi sebuah pusat belanja yang lebih nyaman.
Sejurus kemudian, seorang lelaki berbadan tambun duduk di sampingku. Tas hitam besar berlogo burung garuda diletakkannya di sisiku.
“Ojek, Mas,” tawarku.
“Oh, makasih. Saya lagi nunggu jemputan teman saya,” jawabnya singkat sebab kemudian ia sibuk membuka tas itu dan menghitung sesuatu berlembar-lembar warna merah. Aku terperangah. Itu uang yang sangat banyak sekali. Satu tas!
Jiwa hayalku langsung meronta-ronta. Jika aku punya uang sebanyak itu, akan kubelikan seragam paling bagus untuk Aisha. Aku juga pasti akan segera membeli rumah terbaik agar tak ada atap yang bocor dan aroma kotoran kucing berseliweran. Lalu, aku juga akan, …. Hmmm. Pasti ada banyak hal yang bisa kubeli.
“Masih utuh,” gumamnya.
Aku meliriknya, tapi ia segera merapatkan zipper dan sibuk dengan gawainya. Sebaiknya hayalanku itu berhenti sampai di sini sebab perutku sudah minta diisi. Percuma juga melamunkan sesuatu yang tak kumiliki. Kepalaku malah jadi tambah pusing sesaat setelah kembali ke realita. Maka tak kusia-siakan panggilan seorang ibu yang meminta dibawakan belanjaannya. Pada saat itu juga, lelaki berbadan tambun itu beranjak tepat saat sebuah Inova putih berhenti di hadapannya. Ia pergi begitu saja tanpa membawa tasnya. Tas berlogo burung garuda itu tertinggal. Seketika itu, dua sisi hatiku berperang. Satu sisi berteriak lantang, Mas, tas! Tasmu itu! Satu lagi bersorak senang, Pergi, pergilah cepat! Akan kujaga tasmu.
Lelaki itu pun pergi. Entah kenapa ada rasa sedih juga senang.
“Mas, bisa nganter pulang nggak?” tegur ibu itu menyadarkan lamunanku.
“Tunggu sebentar ya?”
Aku segera mengambil tas itu. Kudekap di dada.
Beberapa menit kemudian, berkantong-kantong belanjaan kubawa dari pasar, termasuk seragam Aisha. Kebutuhan lainnya pun turut kubeli. Aku anggap ini rejeki, bukan mencuri. Loh, jelas-jelas kau mengambil apa yang bukan hakmu. Kan, aku nemu. Nemu berarti, sesuatu itu tidak dimiliki. Siapa saja bebas mengambilnya. Tapi, kau harus mengembalikannya! Buat apa, toh uang itu, ya, buat dibelanjakan, bukan untuk disimpan. Tapi, kan, …. Halah!
Aku menuju tempat parkir.
“Sumpah, tadi di sini!”
Halte tiba-tiba riuh. Seorang lelaki yang tak asing tengah mencari sesuatu. Kuyakin, ia sedang mencari tas yang kugendong ini. Kakiku gemetar. Napas tersengal. Namun, entah kenapa badanku susah sekali digerakkan, bahkan hanya untuk menoleh saja rasanya berat. Tidak, aku tidak mencuri.
Hal yang aku takutkan pun terjadi. Lelaki itu menatapku.
“Nah itu dia. Itu lelaki yang duduk di sampingku.”
Duh, mati aku! Semua orang menatapku. Lelaki itu menghampiriku, tapi aku hanya mematung tak tahu harus bagaimana. Matilah aku! Aku akan dicap sebagai pencuri, tapi aku tak peduli dan memang aku bukan pencuri. Pikiranku malah melayang jauh memikirkan dua orang yang aku sayangi. Jika aku dipenjara, bagaimana nasib mereka?
Melihat tas berlogo burung garuda di punggungku, lelaki itu segera memelukku.
“Bung, terima kasih, kau telah menjaga tasku.”
Hah?
“Kalau tas itu jatuh di tangan orang yang salah, aku tak tahu bagaimana nasib rakyat.”
Ia mengendurkan rengkuhannya. Aku merasa tak nyaman.
“Ma-af. Tapi, kan, uang ini s-sudah…”
“Pokoknya aku sangat berterima kasih sekali. Kau ini pahlawan. Orang selugu dirimu tak mungkin berbuat macam-macam. Jadi, ayo ikut saya!”
Aku segera digiring ke mobil tanpa bisa mengelak. Sepuluh menit kemudian aku sampai ke tempat yang sangat kukenal. Balai desa.
“Rekan-rekan sekalian,” lelaki itu memulai bicara di dalam gedung di mana banyak orang, termasuk polisi. Lagi-lagi, aku hanya bisa mematung, menelan ludah yang pahit, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. “ini adalah pahlawan kita! Aku tak tahu nasib rakyat kalau uang bansos senilai satu miliar itu hilang dan uang itu masih utuh. Jadi, sebagai apresiasi, aku mengangkat saudara sebagai pegawai di balai desa ini. Kebetulan kita masih kekurangan tenaga.”
Semua orang riuh bertepuk tangan, sementa aku malah bengong layaknya orang tolol, tapi lantas aku berterima kasih dengan sebesar-besarnya karena setiap bulan ada jaminan untuk anak dan istri. Kami juga termasuk salah satu penerima bantuan itu.
“Selamat! Mulai besok saudara sudah bisa bekerja.”
Aku menepuk pipi berkali-kali dan ternyata ini memang bukan mimpi. Baru pertama kali ini aku merasa sangat senang.
Lelaki berbadan tambun itu bernama Anton. Ia menempatkanku di bagian keuangan.
“Kau itu jujur dan lugu. Aku mempercayakan itu padamu,” tuturnya. Lantas, aku menatap berlembar-lembar catatan. Berkali-kali kutatap jumlah dana yang dikucurkan dari pemerintah yang totalnya dua miliar, bukan satu miliar. Akan tetapi, yang satu miliar itu lenyap ke mana? Total bantuan per keluarga pun seharusnya satu juta, bukan enam ratus ribu, tapi kenapa Pak Anton menyuruhku untuk tak memberikan semuanya?
“Yang penting, kan, dana itu disalurkan. Berapa pun jumlahnya harus disyukuri, toh itu uang segar, bukan uang hasil kerja yang harus panas-panasan, hujan-hujanan. Kalau sudah dikasih masih protes, itu tandanya kufur nikmat. Mau jadi apa negara kita kalau rakyatnya suka mengeluh? Tinggal bersyukur aja, kok, repot!” sentak Pak Anton.
“Baik, Pak. Siap.” Aku segera mencatat semuanya. Huh, benar-benar kerjaan yang merepotkan. Ada benarnya juga kata Pak Anton bahwa segalanya harus disyukuri dan yang namanya kerjaan, ya memang merepotkan. Akan tetapi tiba-tiba bulu kudukku merinding melihat jumlah sisa uang yang masih banyak itu, juga ketika Pak Anton merapatkan bibirnya ke telingaku.
“Tapi ingat,” bisiknya membuatku merinding. “cuma kita berdua yang tahu.”
Aku menoleh, jari telunjuknya dirapatkan ke bibirnya yang hitam.[]
Tanggamus, 08 Desember 2022
Firman Fadilah, tinggal di Lampung. Karya-karyanya berupa cerpen dan puisi telah tayang di berbagai media. Baginya menulis adalah salah satu cara untuk menyeberangi kesendirian