Saya besar dan dilahirkan dalam peliknya kota kecil, jauh dari jangkauan orangtua. Masa kecil saya, saya tak ingat. Sebab Bapak saya istrinya tiga, sehat-sehat semua. Ibu istri pertama, dan sebenarnya masih sehat, cantik, dan penuh pesona.
Saya dan ibu saya menjual pakaian di pasar. Rumah kami dikasih Bapak memang dekat pasar. Ibu saya cuma ada waktu istirahat dari pukul 22.00 sampai 23.59 wib. Setiap hari kami lewati begitu saja, datar. Hal ini terus berlanjut sampai saya memutuskan untuk berangkat kuliah.
Saya kuliah di kota besar, dan tidur dengan seorang laki-laki yang mencintai saya. Cintanya pada saya melebihi apapun, tidak bisa dilukiskan dengan seluruh kata yang ada di kamus. Cinta saja memang tidak cukup, makanya saya mengandung. Mengandung bayi.
Lelaki itu kerjanya cuma—tiduran, kuliah, tiduran, kuliah—dan saya sendiri yang menghidupi diri dan lelaki itu dan anak yang saya kandung, dengan tangis dan dia. Sama orangtua, saya terus kirim uang biar mereka tidak curiga. Saya kasihan sama ibu saya, sama bapak tidak. Tapi, bagaimana pun, orang tua harus tahu kalau saya masih di bumi, meski keras kepala. Orangtua di kampung tidak boleh tahu kalau saya lumayan menderita.
Dia tidur terus, pas bangun, saya minta biaya lahiran. Minta biaya kos juga (kami masih mahasiswa). Saya sudah tidak sanggup cari uang lagi. Apalagi banyak. Dia mau ke luar kota, katanya, cari uang, katanya. Cari kerja. Cari makan, juga. Mudah-mudahan nanti dapat, katanya. Saya mengangguk balam, dan berdoa lebih keras untuk saya, bayi saya, dan dia.
Dua minggu, dia tidak kembali. Dia ke mana aku tak tahu. Anjing. Saya cari dia ke mana-mana. Naik kereta saya hamil, berat. Dasar anak sapi. Saya cari dia ke tempat saudara. Saya ke rumah orangtuanya. Saya ingin bertemu lelaki saya, itu saja!
Di rumah ibunya, saya dimaki-maki. Saya dilempari batu yang muntah-muntah dari mulut ibunya. Tidak peduli saya mengandung, ibunya pakai kata-kata kasar. Saya ingin balas, tapi saya perempuan. Tidak baik.
Tidak bisa tidak, saya harus mengiba sedikit, saya tak mau, bayi ini mati di dalam perut saya, ia harus bisa sehat, baik, kuat, dan jadi orang tidak seperti bapaknya.
“Saya hanya ingin bilang sesuatu ke anak ibu, tolonglah”
“Ini handphone. Kau pakailah. Aku kasih waktu tiga menit”
“Tapi…”
“Apa? Kau tidak bisa pakai android? Ketiklah “sesuatu” di kotak pesan, lalu tekan “send” sesudah kau memasukkan nomor handphone anakku. Lagipula, waktu tiga menitmu sudah berjalan.”
Kami tidak mungkin menikah. Kami beda agama. Hijab saya ditarik-tarik. Ibunya mau A, harus A. Tidak bisa B. Saya pulang ke kos, ganti baju dan merokok. Dua batang, dan tidur. Tidur sambil mengandung bayi. Anak saya nanti saya titip ke panti asuhan. Itu yang ada dalam mimpi saya. Saya tidak mungkin cari uang untuknya. Saya tidak mau ibu saya di kampung curiga.
Saya tidak mau, selain menanggung kemiskinan tahunan, ibu saya juga harus menanggung malu, pelik sekali.
Saya mohon maaf. Saya ke clubbing. Minum-minum yang lebih berat. Saya merasa have fun. Besoknya saya ingat lagi, anak saya nanti harus di panti asuhan. Dan itu harus. Harus!
Anak baik harus dibesarkan dengan beribu kebaikan, beribu doa-doa. Hal ini sulit ia dapatkan dari ibu seperti saya.
Saya terpaksa dekat dengan lelaki hidung belang. Namanya siapa saya lupa. Tapi dia baik, dan yang penting, dia banyak uang. Saya mohon maaf. Saya tidak punya kerja. Sejak ditinggal lelaki itu, lelaki yang lari itu, saya tidak punya uang sama sekali.
Lewat kabar burung, belakangan saya tahu kalau dia sedang di Aceh, belajar agama Islam agar hidupnya jadi lebih arif, lebih bagus.
Lelaki yang bersama saya kini, dia paling baik, meski hidungnya belang tiga. Dia yang belikan susu anak saya nanti, belikan saya apa yang saya mau. Dia, meski hidung belang, tapi baik sama saya. Saya butuh uangnya. Saya kasih apa yang dia mau, kecuali itu. Saya selalu bilang kalau saya halangan. Dan hamdalah, dia percaya. Kandungan saya makin besar. Dia bisa bayar dokter. Beli kain juga.
Tempat persalinan pun sudah ia rekomendasikan dari konten viral yang sempat ia tonton.
“Abang janji akan menerima aku apa adanya?”, saya tanya.
“Keperawanan bukanlah sesuatu yang keren lagi di zaman sekarang. Semua bisa kita bangun dari sekarang. Kau hanya perlu membuat aku yakin.”
Saya semakin yakin dengan pilihan saya, untuk bersamanya, meski tidak selamanya bersamanya.
Tengah malam, saya ingat, laki-laki yang menghamili saya, belum ada kabar lagi setelah kedatangannya ke Aceh. Anjing. Saya minum lagi. Intisari rasanya bisa bekerja untuk malam-malam hebat begini.
Lelaki yang bersama saya kini juga alhamdulillah bisa menanggung hobi minum saya ini.
***
Hari berganti, meski hanya Senin sampai Minggu. Kuliah pun meski membosankan, tetap harus saya jalani. Pulang kuliah saya langsung clubbing. Saya sadar, air mata yang ada di gelas ini, kapan habisnya. Tapi lumayanlah, saya mulai sadar.
Sedikit demi sedikit saya mulai menata hidup saya, bismillah.
Entah siapa yang bilang, orangtua saya di kampung akhirnya tahu saya main-main. Saya pasrah kalau nanti akan ditampar, dibunuh, di apa-apakan. Saya cuci kaki ibu saya. Saya mohon. Saya akan bertanggung jawab. Sebadan-badan, selemah-lemah iman, saya akan meminta maaf.
Ibu saya, subhanallah hatinya. Kasih sayang ibu memang sepanjang masa. Saya tarik anak saya dari panti asuhan, nanti. Saya titip ke ibu saya. Saya mau berubah. Tapi bagaimana? Harus ada caranya. Harus.
Ibu memang lebih dari apa pun. Ibu mau menerima kekurangan saya, pun juga memaafkan kenakalan saya. Bagi ibu, apa yang telah berlalu, biarlah tetap menjadi urusan masalalu. Ibu berpesan, aku harus pandai menata hidupku lagi, ke arah yang lebih baik.
“Apa aku harus mengenalkan ibu pada lelaki baik yang menolongku dari keterpurukan?”
“Tidak usah. Ibu yakin, kau telah belajar dari kesalahan. Yang terpenting sekarang, kau harus segera pulih.”
Ternyata, zina memang dekat dengan kemiskinan. Ampuni saya ya Tuhan. Maafkan saya ya Ibu. Saya ingin umur panjang. Menurut saya, inilah pesan moral cerita ini. Setidaknya bagi saya.
Nanti, saya ingin hidup baru dengan anak saya. Saya beri dia nama Sapi. Sapirudin Burhan. Biar ia tahu, dalam hidup, kadang harus berkorban. Dan biar ia tahu, kalau hidup ini dekat dengan air mata. (*)
Maulidan Rahman Siregar, lahir di Padang 03 Februari 1991. Menulis puisi dan cerpen di berbagai media. Bukunya yang telah terbit, Tuhan Tidak Tidur Atas Doa Hamba-Nya yang Begadang (2018) dan Menyembah Lampu Jalan (2019)