Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Cerpen · 1 Dec 2024 05:24 WIB ·

Hal-hal yang Baik


 Hal-hal yang Baik Perbesar

Di hari kelima menempati rumah itu, mereka membersihkan ruangan di dekat dapur. Ruangan itu lebih kecil dari dua ruangan lainnya. Di sudut ruangan, sebuah bufet kecil baru saja dibersihkan dari debu oleh Latifa. Pemilik sebelumnya mengatakan bahwa mereka tidak sempat membawa serta bufet itu ketika pindah. Lagi pula mereka tidak membutuhkannya lagi. Oleh karena itulah, Jame dan Latifa boleh menyimpannya atau menyingkirkannya saja. Setelah memeriksa seperlunya, Jame berniat membenahi bagian engsel pintu bufet yang terlepas agar bisa digunakan untuk menaruh dan menyimpan sesuatu. Bufet itu memiliki tiga pintu dan sebuah loker kecil di bagian bawah.
“Kita bisa menggunakannya untuk menaruh buku-buku atau beberapa benda lainnya,” ujar Jame.
Saat Jame membuka pintu ketiga, ia menemukan sebuah benda di dalamnya. Jame meraba benda itu dengan hati-hati lalu membersihkannya dengan kemoceng tali rafia.
“Lihatlah, aku menemukan sesuatu,” ujar Jame. “Aku yakin pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi yang ini unik.”
Untuk beberapa saat Latifa memandangi benda itu. Keningnya berkerut. Ia tampak sedang berusaha memikirkan sesuatu.
“Kau tahu, kan? Ini sebuah seni kaligrafi. Aku yakin, siapapun yang telah memilihnya, pastilah memiliki selera desain yang cukup tinggi.”
Latifa mengangguk kecil mendengar apa yang dikatakan Jame. Ia percaya pada minat Jame menyangkut soal desain—meski Jame memilih jenis pekerjaan yang lain. Dulu, saat mereka masih sebagai sepasang kekasih dan Jame masih tinggal di rumah orang tuanya, Latifa sering berkunjung. Jame selalu senang memamerkan benda-benda koleksi pribadinya yang disimpannya dalam sebuah ruangan khusus. Benda-benda itu adalah berbagai jenis poster, katalog pameran seni atau pertunjukan, berbagai jenis kartu ucapan, prangko, patung-patung kecil berukir, juga berbagai macam souvenir unik yang sering disebut Jame sebagai ‘Hal-hal yang Baik’. Setelah mereka menikah dan harus tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil, Jame hanya bisa membawa sebagian kecil koleksinya. Lima tahun setelah pernikahan, mereka bisa memiliki sebuah rumah dengan tiga kamar itu. Meski cukup jauh dari kantor sebuah perusahaan tour and travel tempatnya bekerja, Jame sangat setuju dengan rumah itu. Salah satu alasannya karena benda-benda koleksinya itu akan memiliki tempat yang baru.
“Kita bisa menaruhnya di tempat ini. Bagaimana menurutmu?”
“Kau yakin?”
“Ya. Aku akan menempatkannya di dinding sebelah sana.”
Latifa memerhatikan benda itu dengan saksama. Kaligrafi itu diukir pada sebuah papan kayu jati yang tebal dan berbentuk empat persegi panjang. Huruf-huruf arab yang disusun sedemikian rupa itu telah membentuk gambar sebuah kapal.
“Kau bisa menjelaskan padaku apa maksud dari susunan huruf-huruf arab ini, kan?”
“Tentu, tentu… aku bisa. Kalimat itu berarti…” ujar Latifa spontan, “dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
“Demi Tuhan, benda ini pantas berada di sini. Kau tahu, ruangan ini akan dipenuhi oleh berkah Tuhan. Kau bisa menjadikan ruangan ini sebagai tempat kerjamu, melanjutkan kebiasaanmu menulis. Kita akan menaruh meja di dekat jendela sana, lalu lemari buku.. “
Latifa setuju dengan gagasan Jame. Saat Latifa mulai melanjutkan aktivitasnya menyapu lantai ruangan itu, ia teringat sebuah patung keramik cantik yang pernah dihadiahkan Jame untuknya. Mereka telah mengoleksi patung-patung keramik selama beberapa waktu dengan sebuah cita-cita sederhana bahwa pada saatnya—ketika mereka memiliki rumah sendiri— mereka akan menaruhnya dalam sebuah lemari pajangan di ruang tamu. Salah satu yang disukai Latifa adalah patung Perawan Maria yang sedang menimang dan mencium bayi Yesus. Jame telah mengirimkan patung keramik itu melalui paket kilat jarak jauh ketika dirinya sedang berada di luar kota beberapa hari karena urusan pekerjaan. Paket itu datang pada suatu pagi, tepat di ulang tahun ke-32 Latifa. Latifa membayangkan, patung keramik itu akan ia pajang di meja kerjanya saja.
“Aku akan menaruh patung itu di meja kerjaku,” ujar Latifa tiba-tiba.
“Tentu, sayang. Itu bagus. Seperti yang sudah kukakatakan, ruangan ini akan dipenuhi berkah Tuhan” sahut Jame. “Oh, tapi aku juga menemukan yang lainnya. Coba kau tebak, apa yang kupegang ini?”
Jame mengeluarkan tangannya dari loker dan memamerkan sebuah amplop berwarna coklat. Jame membuka amplop itu, dan…
“Nah, ini harta karun! Kau ingat, kapan terakhir kali kita mengirim kartu lebaran?”
Latifa menelengkan kepalanya. Keningnya berkerut kembali. Matanya memicing. Tentu ia masih ingat –meski tidak sepenuhnya—kapan terakhir kali mereka mengirimkan kartu lebaran. Itu sudah bertahun-tahun lalu.
“Koleksimu akan bertambah rupanya,” ujar Latifa dengan suara lirih.
Jame tersenyum seraya memandangi lipatan kartu lebaran itu. Kartu lebaran itu dicetak dalam sebuah kertas fancy yang bertekstur jelas dan agak kasar. Jame mengagumi nuansa vintage dalam warna-warna yang dihadirkan pada siluet masjid dan arabic pattern yang menghiasi kartu lebaran itu.
“Kalau dipikir-pikir, aku menyesal tidak pernah mengirim kartu lebaran kepadamu,” ujar Jame.
“Kau belum mengenalku waktu itu.”
“Aku menyesal belum mengenalmu waktu itu.”
Latifa terdiam. Jame mengenal gelagat itu. Jame berpikir mungkin dirinya telah mengatakan sesuatu pada saat yang kurang tepat.
“Kau pasti ingat ibu, ya? Aku tak bermaksud…”
Latifa tersenyum kepada Jame. Jame menangkupkan kedua tangannya di dada, bibirnya bergerak-gerak seolah-olah mengucap kata maaf berkali-kali. Seraya tersenyum, Latifa menggelengkan kepalanya, lalu melanjutkan menyapu lantai ruangan itu.

***

Satu bulan sebelum mereka menempati rumah yang baru, Jame dan Latifa pergi ke sebuah apotek untuk membeli test pack. Awalnya mereka ragu—antara haru, bahagia, percaya dan tidak. Namun dua garis jelas berwana merah dan hasil kunjungan ke seorang dokter, telah membuat mereka berpelukan sepanjang malam. Latifa positif hamil, dan mereka berdua bahagia. Jame melarang Latifa melakukan pekerjaan-pekerjaan berat. Saat pindah rumah, Jame menyewa jasa angkut dan membayar jasa layanannya dengan gembira. Jame dan Latifa mengabarkan berita baik itu kepada ayah dan ibu Jame. Saat Latifa mengabarkan perihal kehamilannya kepada Rahma—kakak kandungnya—Rahma tidak bisa menutupi kebahagiaannya. Rahma kerap menelepon Latifa untuk menanyakan kabar atau memberikan saran tertentu menyangkut soal kehamilan pertama. Latifa menyambut setiap hal yang disampaikan kakaknya dengan penuh semangat. Namun suatu kali, sebuah pertanyaan tampaknya telah mengusik Latifa.
“Apa ibu sudah meneleponmu?” tanya Rahma dalam sebuah percakapan telepon.
“Mungkin… ibu belum punya waktu,” jawab Latifa dengan berat.
Ia pernah mengabarkan kehamilannya lewat sebuah pesan pendek ke nomor ponsel ibunya. Pesan itu terkirim, namun tidak pernah terbalas. Ia juga pernah mencoba menelepon dengan perasaan gentar yang sulit ditanggungnya, namun usahanya itu tidak pernah bersambut. Hal itu sempat membuat Latifa berpikir bahwa mungkin ia telah mengirim ke nomor yang salah.
“Mungkin ini telah membebaninya,” ujar Rahma. “Aku selalu berdoa untukmu, Fa. Aku yakin, diam-diam ibu juga begitu… mendoakanmu.”
Setiap kali teringat percakapan itu, Latifa selalu mengelus-elus perutnya seraya berdoa semoga tidak ada hal-hal buruk yang menimpa bayinya kelak. Ia juga selalu berdoa agar ibunya dikarunia usia panjang dan sehat, sehingga kelak ketika bayi itu lahir, ibunya bisa melihatnya dan menyambutnya sebagai bagian dari keluarga. Latifa tahu—untuk dirinya dan Jame— segalanya tidak akan berjalan baik-baik saja seperti semula. Sejak ia menerima ajakan Jame untuk menikah, ia tahu segala hal yang akan ditanggungnya. Jame tidak pernah sekalipun memaksanya untuk berpindah keyakinan. Latifa sendiri tidak ingin terjebak dalam sebuah hubungan keluarga yang— dibayangkannya—lebih rumit nantinya. Lagi pula di mata Latifa, semua keyakinan mengajarkan hal-hal yang baik dan ia merasa berhak memilih atau mempertahankan kebaikan–kebaikan itu.

***

Untuk kesekian kalinya, Latifa terbangun menjelang dini hari. Ia mengulangi kebiasaannya menyeduh teh hangat dan masuk ke ruang baca. Ruangan itu telah ditata Jame sedemikian rupa dan telah menjadi tempat kerjanya selama beberapa hari. Latifa berniat melanjutkan kembali sebuah artikel tentang ‘Pengaruh Perpustakaan Terhadap Minat Baca Masyarakat Kota’ yang telah dimulainya sejak tiga hari sebelumnya. Tulisan itu tersendat-sendat karena kekurangan referensi. Oleh karenanya, Latifa merasa perlu kembali membuka-buka buku lamanya yang sempat dikoleksinya ketika kuliah di jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan. Ia berencana mengirimkan artikel itu ke sebuah harian lokal yang pernah dibacanya dalam beberapa kesempatan. Namun ketika laptop telah menyala, Latifa kembali merasa kehilangan konsentrasi. Pikirannya tertuju pada sebuah nomor tidak dikenal yang telah menghubunginya pada jam-jam seperti itu sejak beberapa hari sebelumnya dan ia selalu terlambat mengangkatnya. Malam itu ia memberanikan diri untuk menghubungi nomor tersebut. Sekali, dua kali, tiga kali, tidak ada jawaban. Lalu, saat ia ingin mengirimkan sebuah pesan pendek, tiba-tiba ponsel itu bergetar. Latifa tidak ingin kehilangan kesempatan, ia mengangkat ponsel itu dan berharap mendengar sesuatu yang baik.
“Halo…”
Di seberang, jeda beberapa saat. Lalu, dari keheningan yang jauh itu sebuah suara terdengar. Suara itu serak dan berat. Latifa merasa mengenali suara itu, namun berusaha tidak memercayainya.
“Halo, bagaimana kabarmu, Fa? Ini ibu…”
Latifa terdiam. Hening beberapa saat itu hanya terisi oleh suara napasnya sendiri.
“Oh, Ibu… kabarku baik, Bu. Ibu…”
“Tidak apa-apa, Nak. Ibu baik. Rahma yang mengabari ibu soal kehamilanmu.”
“Iya, Bu. Iya…”
Seluruh kata-kata yang ingin diujarkannya seolah lesap begitu saja di tenggorokan Latifa. Ia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Ia tidak bisa menjelaskan perasaannya sendiri. Ia hanya tahu, bahwa dini hari itu, ia telah mendengar suara ibunya kembali.
“Kalau dokter mengijinkanmu melakukan perjalanan jauh, datanglah akhir bulan ini. Rahma mengajak semua berkumpul di rumah, mumpung liburan. Ibu menunggumu…”
Latifa hanya mengangguk-angguk takzim mendengar suara ibunya, seolah-olah ibunya telah hadir di hadapannya. Ketika ibunya mengakhiri pembicaraan, mata Latifa telah basah oleh air mata. ()

Pagesangan, 15 Juni 2017

Tjak S. Parlan lahir di Banyuwangi, 10 November 1975.  Cerpen-cerpennya disiarkan di pelbagai media, antara lain Koran Tempo, Femina, Media Indonesia, Detikcom, Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan dan lain-lain. Kumpulan cerpennya Kota yang Berumur Panjang terbit Desember 2017 (Basabasi, Yogyakarta).  Mukim di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Artikel ini telah dibaca 29 kali

badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Ssst!

1 December 2024 - 06:22 WIB

WikiArt.org

Peliknya Kehidupan Saya

1 December 2024 - 05:16 WIB

WikiArt.org

Harta Karun Pulau Senja

24 November 2024 - 14:13 WIB

Roy Lichtenstein, Figures with Sunset via WikiArt.org

Mengusir Syekh dari Kampung

24 November 2024 - 01:53 WIB

Frida Kahlo, via WikiArt.org

Kupon Undian Umroh

17 November 2024 - 20:33 WIB

Islam, 1965 - Carla Accardi, via WikiArt.org

Sepasang (Mungkin) Kekasih di Kafe

3 November 2024 - 20:57 WIB

Paul Gauguin, Night Cafe, Arles via WikiArt.org
Trending di Cerpen