Anda akan tiba di lokasi pada pukul 20.25, begitu kata Google Maps dan pada pukul 20.30 saya tiba di Sreca Garden, tepat di mana Climate Fest diadakan. Sesampainya di sana, Lintang Utara sudah dipersilakan tampil oleh MC? dan langsung cek sound.
Akankah demi uang, bla bla, kita korbankan. Tidak ingat benar saya liriknya, dan penampilan begini, b aja. Pada lagu kedua, Lintang Utara membawakan lagu milik Sisir Tanah ‘Bagus Dwi Danto’ dengan suasana yang nyaris sama. Anak nongkrong yang nongkrong ya nongkrong, dan mereka yang sedang menggarap art terapy, menggambar dadakan versi Dangau Studio, juga sedang lumayan.
Datang ke festival sendirian dengan minim pengetahuan soal festival dan lokasi festival memang rada taik juga. Saat lagu kedua masih dibawakan Lintang Utara, saya sampai dua kali diusir pegawai kafe, hanya karena saya sendirian. Maklum, kafe sedang ramai, dan lokasi tempat saya duduk memang diperuntukkan bagi yang datang berempat. Jika punya ilmu Naruto yang bisa membelah diri jadi 9, pasti itu aku lakukan.
Beruntung, di jeda menulis ini dan di antara lagu ketiga yang dibawakan, saya ditelpon pacar dan bikin saya bagaimana tidak harus keluar. Meninggalkan lokasi pertunjukan. Setelah memesan coffe latte dan membuat pegawai kafe ini akhirnya melempar senyum kepada saya, saya kembali ke arena festival.
Tampil di muka, Hai Suaka Kolekta, membawakan beberapa nomor reggae. Saya tidak penikmat reggae, meski suka beberapa musisi yang main di ranah ini. Ruangan festival sedikit riuh, dengan kiri kanan manusia yang mulai joged.
Reggae lokal ini rupanya belum banyak memukau umat, meski lagu terakhir lumayan nyaman didengarkan.
Musisi reggae kedua tampil, The Stuner, sudah mulai asyik nih. Beberapa pengunjung sudah mulai mengerubungi panggung. Masih turun dengan dua nomor, baru berasa ini acara musik. Asli, saya bukan penikmat reggae, tapi lumayan senang dengan keseruan tipis ini.
Yap, benar. Sudah saya tebak sebelumnya, bakalan ada yang bawain The Paps. Wkwk.
Sungguh indah kisah cinta mereka, semoga bahagia selama-lamanya. ~~~
Anjay, malah bawain dua lagu The Paps.
Akhirnya, The Venyamin, meski pembaca acara menyebutkan, The Ben nyamin, awokaawok. Asli, melihat band inilah saya datang, dan The Venyamin memainkan track-track melankolisnya.Biasanya mainnya rame, tapi kali ini solo katanya wkwk. Meski minim tepuk tangan, The Venyamin selesai dengan empat lagu yang ia bawakan.
Sesaat sebelum turun panggung, The Venyamin bilang kalau album penuh perdananya “Relic in Religion” terinspirasi dari buku “La Tahzan” karangan Dr. Aidh al-Qarni.
Setelah The Venyamin selesai main, saya tinggal festival itu, dan teringat pada sajak Deddy Arsya, kau bicara tentang revolusi agraria // sambil menjentikkan abu rokok ke asbak //
kau minum kopi tanpa gula di cafe-cafe // lalu merasa nasib betapalah pahit . (*)