Setelah menonton video Najwa Shihab di channel Narasi ditambah tiga episode terbaik yang disuguhkan Asisi Channel yang membahas Muaro Jambi, saya tertegun dengan komplek candi yang lebih luas dari Nalanda dan Borobudur itu. Apakah Jawa sudah khatam dan ini waktunya Sumatera naik ke atas panggung pertunjukan? Saya menertawakan pikiran konyol ini berkali-kali. Penggelontoran dana yang begitu besar untuk observasi, revitalisasi, dan pengkajian ulang tentang Muaro Jambi yang digadang-gadang menjadi universitas Budha tertua di Asia Tenggara, adalah sebuah gebrakan yang tidak tanggung-tanggung.
Kesempatan untuk menilik langsung tumpukan bata kuning itu akhirnya datang juga, saya mungkin menjadi yang termuda dari ratusan peserta Borobudur Writers and Cultural Festival 2024 di Muaro Jambi (menjadi yang termuda bisa ditafsirkan menjadi yang terbodoh). Ini adalah festival kedua saya setelah Balige Writers Festival tahun lalu di Toba, dan menjadi festival budaya yang pertama.
Akhirnya saya melihat bagaimana bata itu disusun, bagaimana akar-akar pohon durian dan duku menembus dinding candi yang baru saja diekskavasi. Di Candi Kedaton, saya berkeliling bersama sastrawan Palembang, Rizki Turama, penyair Sumatera Utara, Titan Sadewo, dan penyair legendaris, Ahda Imran, yang menjelaskan tentang jam matahari yang berbentuk bunga padma dan sangat artistik. Kami berkeliling menyusuri tembok-tembok tebal kuning, kanal-kanal yang sudah kuno, dan lorong-lorong yang mungkin dulu dipakai untuk akses dari asrama menuju tempat belajar.
“Bahkan setelah ratusan tahun, bangunan ini masih saja kokoh, ini bukti kebenaran tidak akan pernah dapat disembunyikan, dia akan terus menyembul ke permukaan berapapun lamanya tertutupi.”
Di candi Koto Mahligai, akar-akar yang menembus bata kuning candi makin banyak saya temukan, dan tidak ada satupun yang dipotong. Bapak Agus Widiatmoko menjelaskan semua itu untuk menjaga keseimbangan alam. Pohon dan akar tidak ada yang dipotong meskipun sudah menembus badan candi, keselarasan antara manusia dengan alam harus terus dijaga. Dan saya setuju dengan itu, apalagi bentuk akar-akar tersebut makin indah bila tidak disingkirkan.
Ingatan saya terbang ke film terbaru Jackie Chan dan Lay Zhang yang rilis Juli 2024 lalu, mengisahkan tentang penemuan arkeologi berupa liontin giok yang menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang. Mungkin karena menjadi seorang penulis, saya begitu cepat terhubung dengan pikiran apa yang dapat saya lakukan dan tulis tentang candi yang indah dan luas ini? Apa yang harus saya lakukan agar orang-orang tak hanya tahu melalui karya ilmiah belaka, namun juga dengan narasi fiksi sejarah yang digarap sepenuhnya dan tetap menjaga fakta sejarah yang ada.
Di hari ketika saya melihat candi Koto Mahligai dan penjelasan Bapak Agus Widiatmoko yang menjadi kepala Kawasan Cagar Budaya Nasional Jambi, saya memikirkan Indonesia harus punya film sejarah yang bagus, Indonesia harus punya buku sejarah yang mempuni dan menarik. Pikiran itu saya simpan dalam-dalam untuk dijadikan bahan esok setelah pulang ke Padang.
Selanjutnya, yang saya lakukan dalam rangkaian acara adalah mendengarkan kuliah Arkeologi, simposium, podium sastra, pertunjukan musik, tari, dan pembacaan puisi dari penyair-penyair Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Saya mendapat pencerahan baru dari ceramah umum Arkeologi, tentang bagaimana menentukan sebaran peninggalan benda-benda arkeologi dengan sistem perbendingan dari temuan-temuan tersebut. Saya membaca kisah Atisa, Serling Pa Dharmakirti, dan merasa alangkah bodohnya saya selama ini.
“Mengapa saya baru tahu sekarang kebenaran ini?” (*)
Hasbunallah Haris, dilahirkan di Pinang Awan, Solok Selatan. Alumni Sastra Arab Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang. Fokus di karya berupa prosa dengan genre fiksi sejarah. Bukunya Menembus Rantau (2022) memenangkan Lokakarya Menulis Novel di Taman Budaya Sumatera Barat. Tahun berikutnya, memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (2023) dengan judul Leiden (2020-1920). Haris pernah diundang ke acara Balige Writers Festival (2023) di Balige, Toba, Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) di Jakarta (2024), Borobudur Writers and Cultural Festival (2024) di Muaro Jambi, dan sejumlah festival sastra dan budaya lainnya. Karya terbarunya berupa novel Mandulang Cinto (2023), salah satu dari sedikit novel berbahasa Minangkabau dan mendapat apresiasi dari University Leiden Library, Belanda.