Menu

Mode Gelap
Api Prometheus I Cerpen – Aldi Rijansah Puisi Ngadi Nugroho Asmara yang Tidak Diakali Waktu Puisi Maulidan Rahman Siregar Puisi Ilham Wahyudi

Cerpen · 24 Nov 2024 14:13 WIB ·

Harta Karun Pulau Senja


 Roy Lichtenstein, Figures with Sunset via WikiArt.org Perbesar

Roy Lichtenstein, Figures with Sunset via WikiArt.org

Di sebuah desa kecil di pesisir timur Indonesia, hiduplah seorang pemuda bernama Dimas yang gemar membaca buku-buku petualangan. Di balik kebiasaan sehari-harinya sebagai nelayan, Dimas selalu bermimpi menemukan sesuatu yang bisa mengubah hidupnya. Suatu hari, takdir mempertemukannya dengan sesuatu yang luar biasa.

Ketika menjaring ikan, Dimas menemukan kotak kayu tua yang terjebak di antara jaringnya. Setelah membukanya dengan hati-hati, ia menemukan sebuah peta tua yang memuat gambar sebuah pulau dengan tanda silang besar di tengahnya. Di bawahnya tertulis dalam bahasa yang hampir pudar: Pulau Senja, harta yang terkubur akan membawamu pada kebahagiaan atau kehancuran.

Meski peta itu terlihat usang dan misterius, Dimas merasa ada sesuatu yang memanggilnya. Ia pun meminta bantuan teman masa kecilnya, Nadia, seorang ahli sejarah yang kini bekerja di museum kota. Nadia yang skeptis awalnya mencoba menolak, tetapi rasa ingin tahunya yang besar membuat ia akhirnya setuju membantu Dimas.

Mereka memulai perjalanan dengan menyewa perahu kecil dan melintasi laut menuju pulau yang dimaksud. Namun, perjalanan itu tak mudah. Mereka dihantam badai besar yang hampir menenggelamkan perahu mereka. Untungnya, mereka berhasil tiba di pulau tersebut dengan selamat.

Pulau Senja tampak sunyi, dengan pasir putih dan hutan lebat di sekitarnya. Mereka segera menyusuri peta yang membawa mereka ke tengah pulau. Di sana, mereka menemukan sebuah gua yang tersembunyi di balik rimbunan tanaman merambat.

“Dimas, kau yakin ini tempatnya?” tanya Nadia sambil menyalakan senter.
“Lihat tanda ini,” jawab Dimas sambil menunjuk simbol berbentuk matahari di dinding gua, mirip dengan yang ada di peta.

Mereka melangkah masuk ke dalam gua, melewati lorong-lorong sempit yang semakin gelap. Namun, ketenangan mereka terganggu oleh suara gemuruh dari dalam. Nadia memperingatkan Dimas untuk berhati-hati, tetapi rasa penasaran mengalahkan rasa takut mereka.

Di dalam gua, mereka menemukan ruangan besar dengan dinding-dinding yang dipenuhi lukisan purba. Di tengah ruangan terdapat sebuah peti besar yang tampak berkilauan meski tertutup debu. Saat mereka membuka peti itu, cahaya keemasan memancar, mengungkapkan tumpukan koin emas, perhiasan, dan permata.
Namun, kegembiraan mereka tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, suara geraman terdengar dari sudut ruangan. Seekor ular raksasa, yang tampaknya menjadi penjaga harta itu, muncul dari kegelapan. Nadia dan Dimas segera menyadari bahwa mereka harus bertindak cepat.

“Ambil saja satu benda, lalu kita lari!” seru Nadia.

Dimas mengangguk dan mengambil sebuah medali emas berukir simbol matahari. Ular itu mendesis dan mulai mengejar mereka. Dengan napas memburu, mereka berhasil keluar dari gua dan berlari ke arah pantai, di mana perahu mereka terikat.

Saat mereka mendayung menjauh, ular itu berhenti di bibir pantai, mengawasi mereka dengan mata tajam sebelum akhirnya menghilang ke dalam hutan.

Setelah kembali ke desa, Nadia meneliti medali itu. Ternyata, medali tersebut adalah kunci untuk membuka cerita masa lalu Pulau Senja. Dengan bantuan para arkeolog, mereka menemukan bahwa pulau itu pernah dihuni oleh peradaban kuno yang hilang. Medali tersebut, meski kecil, menjadi petunjuk penting bagi penelitian lanjutan.

Dimas tidak hanya mendapatkan pengalaman yang mengubah hidup, tetapi juga berhasil mewujudkan mimpinya. Meski ia tidak mengambil semua harta itu, ia merasa kaya dengan cerita dan persahabatan yang baru terjalin lebih erat dengan Nadia.

Di bawah langit senja, Dimas memandang medali itu dengan senyum kecil. “Mungkin, petualangan ini baru awal dari segalanya.”

Beberapa minggu setelah petualangan di Pulau Senja, Dimas dan Nadia mendapati diri mereka dikelilingi oleh perhatian publik. Berita tentang medali emas bersejarah yang mereka temukan menarik perhatian para peneliti, arkeolog, dan bahkan pemburu harta karun. Sayangnya, tidak semua perhatian itu positif.

Suatu malam, saat Dimas sedang memperbaiki jaring ikannya di dermaga, seorang pria asing mendekatinya. Pria itu mengenakan jas mahal dan berbicara dengan nada tenang, tetapi ada sesuatu yang mengintimidasi dalam cara bicaranya.

“Pemuda, aku mendengar kau menemukan sesuatu yang berharga di Pulau Senja,” ucap pria itu.
Dimas mencoba berpura-pura tidak mengerti. “Saya hanya nelayan, Pak. Tidak ada yang spesial.”
Pria itu tersenyum tipis. “Jangan bermain-main denganku. Medali itu adalah kunci. Kau tahu apa yang bisa dibuka olehnya?”

Sebelum Dimas sempat menjawab, pria itu memberikan kartu namanya. “Namaku Victor. Aku kolektor barang langka. Jika kau ingin bekerja sama, hubungi aku. Tapi ingat, tidak semua orang sebaik aku.”

Dimas segera menceritakan pertemuan itu kepada Nadia. “Aku merasa dia tahu lebih banyak tentang medali ini daripada kita,” kata Dimas cemas.
Nadia mengangguk, wajahnya penuh kekhawatiran. “Kalau begitu, kita harus mencari tahu lebih banyak sebelum orang seperti dia memanfaatkan kita.”

***

Nadia dan Dimas membawa medali itu ke seorang profesor sejarah kuno bernama Dr. Arif, seorang kenalan Nadia. Saat melihat medali itu, mata Dr. Arif berbinar.
“Ini bukan sekadar medali. Ini adalah simbol dari peradaban Kalyansa, yang hilang ratusan tahun lalu. Menurut legenda, mereka memiliki sebuah artefak yang disebut ‘Matahari Abadi,’ yang dipercaya bisa memberikan kekayaan atau kehancuran tergantung siapa yang menggunakannya,” jelas Dr. Arif.
Ia juga mengungkapkan bahwa medali itu kemungkinan adalah petunjuk lokasi artefak tersebut. “Jika Pulau Senja adalah salah satu lokasi, mungkin ada tempat lain yang menyimpan petunjuk berikutnya.”
Setelah meneliti lebih lanjut, Dr. Arif menemukan pola simbol pada medali yang menunjukkan koordinat lain. Koordinat itu mengarah ke sebuah pulau terpencil di utara, yang dikenal sebagai Pulau Seribu Duri.

***

Dimas, Nadia, dan Dr. Arif mempersiapkan ekspedisi baru. Namun, perjalanan kali ini lebih berbahaya. Victor dan kelompoknya, yang tampaknya memiliki jaringan pemburu harta internasional, mulai membuntuti mereka.
Di Pulau Seribu Duri, tim menemukan reruntuhan kuil kuno yang terkubur di bawah tanaman liar. Di dalam kuil, mereka menemukan mosaik yang menggambarkan peta langit malam. Terdapat ukiran simbol matahari di tengahnya, serupa dengan medali Dimas.

Namun, saat mereka mencoba menyalin peta langit itu, Victor dan anak buahnya muncul.
“Terima kasih sudah menunjukkan jalan,” kata Victor sambil mengarahkan pistol ke Dimas.
Dalam kekacauan itu, Nadia menggunakan akalnya untuk memecahkan kode mosaik. Ia menekan simbol-simbol tertentu, dan tiba-tiba lantai kuil terbuka, mengungkapkan tangga menuju ruang bawah tanah.

“Nadia, cepat!” teriak Dimas sambil menarik Nadia ke bawah tangga.
Victor dan anak buahnya mencoba mengejar, tetapi pintu tangga tertutup otomatis, menjebak Dimas, Nadia, dan Dr. Arif di bawah.

***

Di ruang bawah tanah, mereka menemukan sebuah ruang megah dengan patung-patung emas dan simbol Kalyansa di setiap sudut. Di tengah ruangan berdiri sebuah bola kristal besar yang memancarkan cahaya hangat—Matahari Abadi.

Namun, sesuatu terasa aneh. Bola kristal itu dikelilingi oleh tulang-belulang manusia, seolah menjadi peringatan.
“Ini bukan sekadar artefak,” kata Dr. Arif dengan nada serius. “Ini mungkin memiliki kekuatan yang benar-benar berbahaya.”

Nadia mendekati bola kristal dan menemukan ukiran kecil di alasnya. “Hanya yang memiliki niat murni yang dapat menyentuh cahaya ini tanpa dihancurkan,” bacanya dengan suara pelan.

Dimas ragu, tetapi ia merasa harus mencoba. Dengan hati-hati, ia menyentuh bola kristal. Cahaya terang memenuhi ruangan, dan dalam sekejap, Dimas melihat kilasan-kilasan masa lalu Kalyansa. Ia menyaksikan bagaimana peradaban itu dihancurkan oleh keserakahan mereka sendiri.

Ketika cahaya memudar, bola kristal hancur menjadi serpihan kecil, meninggalkan simbol matahari yang bercahaya di telapak tangan Dimas.
“Ini peringatan,” kata Dimas. “Harta sejati bukan tentang kekayaan, tapi pelajaran dari masa lalu.”

***

Saat mereka kembali ke permukaan, Victor dan anak buahnya sudah tidak ada. Tanah di sekitar kuil mulai runtuh, seolah mengubur semua yang ada di bawahnya.

Mereka kembali ke desa dengan membawa cerita luar biasa, tetapi tidak ada harta fisik untuk ditunjukkan. Dimas dan Nadia sepakat untuk menjaga rahasia Matahari Abadi dan menjadikannya pelajaran bagi diri mereka sendiri dan dunia.
Namun, di malam sunyi, Dimas masih merasakan simbol matahari yang bercahaya samar di tangannya. Ia tahu bahwa petualangan ini hanyalah permulaan dari perjalanan yang lebih besar. (*)

Rayhanul Azzasri, lahir di Padang, 16 Desember 2009. Siswa SMPN 13 Padang. Tinggal di Parupuk Tabing, Koto Tangah, Kota Padang.

Artikel ini telah dibaca 92 kali

Baca Lainnya

Ssst!

1 December 2024 - 06:22 WIB

WikiArt.org

Hal-hal yang Baik

1 December 2024 - 05:24 WIB

Peliknya Kehidupan Saya

1 December 2024 - 05:16 WIB

WikiArt.org

Mengusir Syekh dari Kampung

24 November 2024 - 01:53 WIB

Frida Kahlo, via WikiArt.org

Kupon Undian Umroh

17 November 2024 - 20:33 WIB

Islam, 1965 - Carla Accardi, via WikiArt.org

Sepasang (Mungkin) Kekasih di Kafe

3 November 2024 - 20:57 WIB

Paul Gauguin, Night Cafe, Arles via WikiArt.org
Trending di Cerpen