MEREPET-REPET macam entok mau kawin mulut Suminah selama seharian penuh, bahkan saat menjelang mau tidur, mulut perempuan beranak dua itu tidak berhenti-henti menyumpah serapahi suaminya sendiri. Adalah hanya masalah keputusan suaminya sendiri yang menyebabkan perempuan itu marah-marah macam mandor bangunan. Kemarin sore, suaminya, Hasan yang diundang oleh seorang kiai ke acara sosialisasi umroh dan haji yang diadakan oleh sebuah perusahaan travel yang telah berpengalaman di bidang perjalanan haji dan umrah ke tanah suci Mekkah.
“Jadi orang sampeyan itu kok cek gendenge banget, Pak, Pak,” merepet mulut bebek Suminah kepada suaminya. Sementara Hasan membekukan diri meski digempur sedahsyat apa pun bentakan dari istrinya. “Malah kupon undiannya kok malah dikasihkan ke Pak Tarmuji. Apalagi kalau bukan gendeng!”
Kata istrinya, Hasan itu manusia bodoh karena kemarin undiannya malah dikasihkan ke temannya yang bernama Pak Tarmuji. Istrinya sangat menyayangkan kemurahan hati suaminya yang sungguh keterlaluan itu. Coba bayangkan! Haji dan umrah adalah impian semua umat Islam. Tidak sedikit orang yang bercita-cita ingin berziarah ke tanah suci Mekkah.
“Coba Bapak bayangkan! Kita hanya diberikan kesempatan sekali saja untuk mendapatkan rezeki agar bisa naik haji dan umrah. Dan kita ini hanya orang miskin yang tidak akan pernah bisa menunaikan ibadah haji selain melalui undian haji dan umrah. Coba lihat! Hanya orang-orang tajir selevel sultan saja yang bisa bolak-balik kesana. Sementara orang macam kita ini, jangankan berangkat haji, jalan-jalan ke ibu kota saja tidak mampu.”
Pak Hasan hanya menanggapi repetan istrinya dengan senyuman. Lelaki penyabar yang telah mempersunting perempuan bermulut bebek itu tidak pernah membalas ucapan dan bentakan istrinya dengan kemarahan. Sudah hampir seperempat abad mereka membina rumah tangga. Tapi berkat kesabaran suaminya yang adalah mantan seorang santri dan sekarang diangkat menjadi seorang muadzin di sebuah masjid kampung, biduk rumah tangga mereka jauh dari isu miring. Tak ada goncangan badai dan gempa yang bisa meluluhlantakkan rumah tangga mereka. Tidak seperti isu-isu tak sedap macam hubungan rumah tangga artis di tanah air yang hidupnya justru berlimpah harta dan takhta yang mentereng. Coba tengok saja rumah tangga para artis ibu kota yang terempas di meja hijau cuma perkara hal-hal sepele, menurut ukuran orang kampung. Padahal, pekerjaan sebagai artis itu sangat besar gajinya dan orangnya sudah pasti kaya raya.
Pak Hasan hanyalah seorang muadzin masjid yang tiap harinya berkecimpung di sawah milik seorang kiai. Mulai pagi hingga tengah hari, lelaki itu membakar tubuh kurusnya di bawah sengatan matahari dengan membanting tulang menanam jagung dan menyemprot bawang. Pendapatan per harinya hanya 40 ribu rupiah. Jadi, bila ingin berangkat haji apalagi umrah hanya sekadar cita-cita yang tak mustahil kesampaian. Sebab ada seorang tetangganya yang bernama Bu Indri yang kaya raya, tapi hingga detik ini belum bisa berangkat haji.
“Bu, haji dan umrah yang diwajibkan oleh Allah melalui Al Quran dan Hadis Nabi Muhammad bukan dinilai dari kaya miskinnya seseorang,” ujar Pak Hasan dengan lembut kepada istrinya.
“Lantas apa?!” suara Bu Suminah macam guntur yang menggelegar.
“Panggilan dari Allah. Dan panggilan dari Allah bukan karena hamba tersebut sudah dikatakan mampu secara duniawi. Banyak kok orang yang kaya raya, tapi belum haji apalagi umrah. Justru sebaliknya, tidak sedikit orang yang hidupnya pas-pasan berangkat haji. Kenapa begitu? Sebab cita-cita orang kalau sudah kaya dan dititipi harta yang berlimpah bukan ingin menunaikan rukun Islam yang kelima ini melainkan sibuk menimbun harta, membangun rumah, membeli mobil, membeli tanah, dan punya ini dan itu. Jika meninggal, semua harta yang ditinggalkannya menjadi rebutan.”
“Tapi kenapa Bapak memberikan kupon undian umrah itu kepada Pak Tarmuji? Kenapa tidak Bapak ambil agar kita bisa berangkat umroh?”
Pak Hasan senyum penuh arti mendapatkan pertanyaan itu.
***
“Orang-orang ini sungguh bodoh!” ujar seorang lelaki berambut ikal macam diaduk-aduk anak tawon yang duduk di bangku panjang warung kopi Uenak Rasane milik Pak Dul. “Setiap tahun bergantian berangkat haji ke Saudi Arabia dengan mengeluarkan uang puluhan juta rupiah. Mending mereka menabung dan uangnya dibelikan tanah, membangun rumah dan menyekolahkan anak-anak hingga kuliah biar negara ini menjadi maju. Bukan malah diberikan kepada Saudi Arabia yang justru bikin orang-orang sana kaya raya.”
Tiap malam, lelaki paruh baya itu selalu duduk di warung kopi yang berada di pinggir jalan kampung itu. Tidak sedikit orang yang mengenalnya. Orang gendut dan besar macam sebongkah patung Betara Kala di depan candi itu terkenal sebagai seorang juragan. Pekerjaannya sangat banyak. Selain sebagai juragan kopra, ia juga seorang rentenir, juragan minyak tanah, juragan pom bensin dan juragan petani. Orang-orang susah nan melarat yang lagi susah mencari pinjaman langsung datang padanya jika lagi butuh duit. Jika mereka telat membayar cicilan utang, maka bersiap-siaplah diberikan sarapan oleh orang-orang kasar. Jika lelaki itu sedang menikmati segelas kopi, ia akan berceramah dan menertawakan orang-orang Islam yang menurut dirinya tidak waras dan bodoh karena terlalu tunduk pada rukun iman dan rukun Islam.
“Coba kalian pikirkan! Berapa jumlah uang yang telah mereka hambur-hamburkan buat biaya perjalanan haji ke Mekkah? Lalu, yang diuntungkan dari perjalanan haji dan umrah itu siapa? Tentu saja penyelenggara haji yaitu pemerintah Indonesia dan Arab bukan?” lanjutnya. “Andai saja orang-orang itu cerdas, pasti mereka akan berpikir buat apa haji dan umrah cuma untuk menziarahi sebuah batu kubus yang ditutupi dengan kain hitam atau mencium batu meteor yang katanya batu dari surga?”
Menurutnya, orang-orang yang pernah berangkat haji itu tidak menyadari kalau mereka sebenarnya telah ditipu oleh Tuhan yang selama ini mereka panggil Allah dan hanya akal-akalan seorang Nabi palsu bernama Muhammad hanya untuk memperkaya bangsa Arab.
“Daripada menyembah dan meratap-ratap di dekat batu kubus mending meratap-ratap padaku. Hahaha. Daripada mencium batu meteor yang diklaim sebagai batu surga mending mencium bokong janda.”
Para pengunjung warung kopi sejak tadi tidak ada yang mau menanggapi atau mendebat kata-kata yang meluncur dari mulut lintah darat itu sebab percuma. Lagi pula buat apa menanggapi perkataan orang ngeyel yang tak jelas agamanya apa. Di ktp miliknya, lelaki gendut berwajah lebar yang hidungnya macam jambu bol kena injak itu memiliki nama mirip-mirip orang Batak yang beragama Islam. Di belakangnya ada nama marga Manurung. Tapi, ia bukan orang Batak melainkan orang kampung yang hidup di pinggir laut pulau Jawa paling timur. Apakah mungkin jika ia masih memiliki darah Batak, tak jelas. Anehnya, meski disana tertulis jelas agamanya Islam, tapi ia tidak pernah melaksanakan seluruh syariat Islam. Ia tidak pernah pergi ke masjid, puasa pun tidak pernah sama sekali, sedekah apalagi, atau menjalankan puasa Senin Kamis, juga tidak pernah. Tapi, jika Lebaran, ia akan membaur bersama keluarganya yang lain untuk bersalam-salaman dengan memakai baju koko.
Dewasa ini memang semakin aneh. Tidak sedikit orang yang mengaku dirinya beragama Islam justru membenci negara asal Islam dibawa yaitu Saudi Arabia. Mereka mengatakan jika shalat itu tidak penting karena hanya menyembah Tuhan hasil imajinasi manusia. Mereka akan mengerjakan shalat apabila ada seorang ilmuwan Sains yang berhasil menemukan keberadaan Allah melalui bukti-bukti ilmiah. Ada juga yang mengatakan bahwa selama ini mereka telah merasa dibodohi oleh ajaran Nabi Muhammad yang telah menyerukan agar manusia menyembah Ka’bah yang hanya sebuah batu berbentuk kubus. Apakah Nabi Muhammad itu waras atau tidak malah menyuruh umatnya menyembah Ka’bah dan menziarahinya dalam perjalanan haji. Bah, yang menyuruh manusia menyembah Ka’bah itu siapa? Ka’bah hanyalah kiblat arah sholat dan bukan Allah. Arah sholat. Kenapa seluruh umat Islam kalau sholat diarahkan ke sana? Agar seragam.
***
Pukul 03.00 dini hari, seperti biasanya Pak Hasan berangkat ke masjid untuk menyalakan murattal. Lelaki yang telah mengabdikan hidupnya selama puluhan tahun buat masjid kampung itu tampak bersemangat. Barusan ia telah mandi dan berwudhu di rumahnya. Sebagai seorang muadzin masjid, tiap minggunya ia diberi honor oleh pengurus takmir. Ya meski ia tujuannya beribadah kepada Allah, tapi orang itu juga berhak disejahterakan agar bisa tetap makan. Sebab tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa bila beribadah kepada Allah tujuannya adalah surga dan pahala, sedangkan urusan dunianya tidak diperhatikan. Kita hidup di dunia ini tujuannya adalah mengenal lalu mengabdikan diri kepada Allah. Zat Yang Maha Ada. Zat Yang Maha tidak membutuhkan manusia. Zat Yang Maha Berdiri Sendiri. Bukan Tuhan yang menjadi manusia.
Sesampai di depan masjid, Pak Hasan dikejutkan dengan sosok manusia paruh baya yang tampak sekarat. Tubuh lelaki paruh baya itu dipenuhi dengan luka bacok yang mengalirkan darah segar. Baju yang dipakainya juga banjir darah. Untungnya lantai masjid tidak dikotori dengan darah. Melihat hal itu, Pak Hasan berlari menuju ke arah lelaki yang sekarat itu. Ternyata lelaki itu adalah lintah darat bermarga Manurung. Ia meminta tolong dalam suara terputus-putus. Kejadiannya mirip dengan Firaun yang kelelep di Laut Merah saat ditenggelamkan karena kesombongannya.
“Pak Manurung! Apa yang terjadi, Pak?”
“Tolong bawa saya ke rumah sakit.”
Maka, Pak Hasan berteriak minta tolong pada warga yang tinggal di sekitar masjid. Setelah mereka berkumpul, muadzin masjid langsung membawanya ke rumah sakit kota. Tapi sayang, nyawa lelaki yang tak jelas agamanya itu keburu dibetot oleh Israil.
Oleh Imam Masjid, Pak Hasan yang lebih mementingkan nyawa orang lain daripada mengutamakan ibadah salat dihadiahi paket haji sekeluarga dan mereka akan berangkat tahun depan. []
2024
Khairul A. El Maliky, pengarang novel yang lahir dan besar di Kota Probolinggo. Adapun novel terbarunya yang sudah terbit antara lain berjudul Akad, Pintu Tauhid dan Kalam Kalam Cinta (Penerbit Mnc, 2024). Pengarang juga aktif sebagai guru Sastra Indonesia di salah satu Madrasah Aliyah di kota kelahirannya.